assalamualaikum uda arnoldison jo sanak palanta sadonyo....
  dewi antusias bana ado bahasan ranah takah kota gadang ko..namun ado setek 
koreksi yo da...
  dak sadonyo intelek kota gadang era sebelum kemerdekaan nan otodidak,  yang 
wanita takah rohana kudus iyo karena meskipun bundo rohana ko anak  angku 
damang, tapi budaya zaman bundo alun mambuliahan wanita sekolah  lai doh...jadi 
maliek tekat jo kemampuan bundo rohana ko, ayahnyo yang  angku damang 
bainisiatif lah mambalian sagalo buku belanda untuk baraja  sorang bundo tu, 
sedangkan kakak sa ayahnyo (kalau dak salah ) sutan  syahrir, dapek sakolah 
balando, wi dak tau persis sampai setingkat ma,  yang jalh masuk sakolah 
balando...
  untuk haji agus salim ko itu juo, dia anak angku damang, dia dititipkan  oleh 
keluarganyo di keluarga balando untuk bisa mudah masuk sakolah  balando....wi 
lupo sejak umua bara persisnyo angku agus salim ko gadang  di keluarga balando, 
tapi yang paling menarik yaitu angku agus salim ko  lulusan terbaik sakolah 
balando setingkat sma di batavia/ jakarta pada  akhir abad ka 19 tu ...kartini 
yang tokoh emansipasi wanita pernah  mangirim surat ka kawannyo yang isinyo ma 
konfirmasi kalo iyo bana ado  anak pribumi dari tanah melayu bisa jadi siswa 
terbaik diantara anak  balando, yang dimaksud angku haji agus salim ko...maklum 
zaman tu bisa  dihitung jari anak pribumi yang bisa masuk sakolah itu, itupun 
bukan  anak urang sembarangan...
  sebagai siswa terbaik angku agus salim ko sabananyo dapat beasiswa  kuliah ka 
balando...tapi ruponyo dak dapek doh...ruponyo balando ko yo  mambuliahan satu 
dua pribumi sakolah samo jo inyo tapi dak rela juo doh  pribumi dibiaan sakolah 
tinggi bana apolai anak tu siswa terbaik lo lai  tu...keluarganyo lah mausahoan 
agar agus salim ko kuliah juo ka balando  ( nan iko yo salut awak mah...), 
tamasuk basadio jo biaya sorang dak  beasiswa doh...tapi tetap dak bisa 
doh...karano angku agus salim ko  kecewa bana mangkonyo angku ko dikirim 
keluarganyo ka timur tengah ka  mamaknyo yang jadi ulama gadang di sinan, niat 
keluarganyo sekalian  untuk mangurangan efek angku ko dek karano gadang di 
keluarga balando  takuik jadi kebarat-baratan...cieklah, dapeknyo indonesia 
pengakuan  kemerdekaan partamo dari salah satu negara timur tu dek karano salah 
 satu mentri pentingnyo saat tu katurunan minang, kalo dak salah  katurunan 
mamak angku haji agus salim ko...itulah caritonyo da nan wi 
 baco dari biografi haji agus salim ko, jadi bukan otodidak...maaf wi  panjang 
caritonyo...
  

Arnoldison <[EMAIL PROTECTED]> wrote:  
Koto Gadang: Nagari Kaum Intelektual

Ahmad Arif

Barangkali tak ada satu desa nagari dalam konsepsi Minang di Indonesia
yang  melahirkan  sedemikian  banyak  intelektual  terkemuka,  seperti
Nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Nagari  kecil  di  puncak Ngarai Sianok, lereng Gunung Singgalang ini,
melahirkan negarawan sekaliber Agus Salim dan Sutan Syahrir, wartawati
pertama  Indonesia Rohana Kudus, seniman terkemuka Hamid Jabar, Oesman
Effendi,  serta  sejumlah besar duta besar era orde lama dan awal orde
baru.

Ratusan, mungkin ribuan, dokter sejak era kolonial berasal dari nagari
ini,  juga  sederet tokoh intelektual lain. Emil Salim, walaupun lahir
di tempat lain, berdarah asli Koto Gadang dan hingga kini masih sering
berkunjung ke kampung leluhurnya.

Berbekal  data  seperti  itu,  kegamangan  hadir  sejak mobil menanjak
meninggalkan  Ngarai  Sianok  hingga  tiba  di simpang jalan yang amat
bersih  di  pusat Koto Gadang, Kamis (17/11) lalu. Liputan dan tulisan
macam   apa   yang   bisa  mewakili  tradisi  intelektual  dalam  desa
berpenduduk 2.339 jiwa itu?

Eloknya  Balai  Adat  berbentuk  rumah bagonjong berukir indah beratap
lengkung yang dibangun tahun 1937 rasanya tak cukup mewakili kebesaran
intelektual Koto Gadang, juga rumah- rumah warga bergaya eklektik yang
berderet di banyak gang di nagari itu.

Arsitektur  bergaya  eklektik,  campuran  berbagai elemen tanpa proses
transformasi  baku,  umumnya  dibangun  di Nusantara pada awal abad XX
hingga awal Perang Dunia I, 1914-1918. Banyaknya rumah bergaya seperti
itu  di  Koto Gadang di samping beberapa rumah bergaya Art Deco, lebih
memberikan gambaran kejayaan masa lalu.

Namun, kekhawatiran berakhir begitu kaki melangkah memasuki Balai Adat
di satu sudut simpang jalan.

Tradisi diskusi

Siang  itu,  tiga  lelaki  dan seorang perempuan berusia di atas 60-an
tahun  menyambut  hangat  dan  menghentikan  aktivitas  mereka.  Hanya
sejenak  karena  setelah itu, Kompas beruntung dapat leluasa mengikuti
kegiatan yang mereka lakukan.

Keempat  sepuh  itu  tengah  berdiskusi di Balai Adat. Mereka membahas
berbagai  tema:  politik, ekonomi nasional, pendidikan, hingga masalah
pengaturan  air  bersih di nagari mereka yang dikelola secara swadaya.
Sesekali obrolan mereka diselingi lontaran bahasa Belanda nan fasih.

Keempatnya adalah pensiunan yang telah melanglang buana di perantauan,
dan  kini  pulang  kampung  menghabiskan  masa  tua. Hera Mahzar (64),
pensiunan  pegawai  apoteker;  Tajrian  (70),  pensiunan bankir; Rusli
Marah Laut (72), pensiunan akuntan publik; dan Yuhardi (61), pensiunan
karyawan Deperindag.

Kami  terbiasa  berdiskusi  tiap  hari di sini. Menghabiskan waktu tua
agar  otak  masih  terus bisa berpikir, kata Rusli. Agaknya tak banyak
yang  berkumpul siang itu karena ada 220 jiwa yang berumur 60 tahun ke
atas di Koto Gadang atau hampir 10 persen dari populasi.

Koto   Gadang   memang   prototipe  nagari  yang  rata-rata  ditinggal
penduduknya untuk merantau, dan kini dihuni pensiunan serta pendatang,
penggarap tanah. Warga Koto Gadang sepakat tak boleh menjual tanah dan
rumah  walau  ditinggal perantau. Pendatang hanya bisa menggarap tanah
dengan sistem bagi hasil atau sewa.

Menurut  Hera,  penduduk  asli  Koto  Gadang  yang  masih  tinggal  di
nagarinya  sendiri  hanya  sekitar enam persen, sisanya di perantauan.
Berbeda  dengan  nagari  lain di Sumatera Barat, hampir semua perantau
asal Koto Gadang adalah perantau di bidang intelektual.

Hampir  tak  ada  perantau  dari  Koto  Gadang  yang menjadi pedagang.
Kebanyakan  menjadi  pegawai,  baik negeri atau swasta, dokter, dosen,
atau  guru.  Semua perantau yang berasal dari sini berpendidikan, kata
Hera yang kini menyiapkan buku tentang Koto Gadang.

Sejarah intelektual

Sejarah  intelektual Koto Gadang, setua kedatangan Belanda di Sumatera
Barat.  Kehadiran  Eropa  di  pesisir  Ranah Minang dimulai sejak abad
ke-17   lewat   maskapai  dagang  Belanda,  VOC,  yang  membangun  pos
perdagangan  di  Padang  pada  1680  dan digantikan Inggris lima tahun
kemudian.  Meski begitu, pengaruh Belanda ke pedalaman terjadi tatkala
Pemerintah  Belanda  menggantikan  peran VOC, ditandai dengan kampanye
militer 1821-1838.

Awalnya  adalah  Abdul  Gani  Rajo  Mangkuto, pemuda Koto Gadang, yang
melihat  Belanda  dari  sisi lain. Ketika itu, masyarakat Koto Gadang,
yang  mayoritas masih berprofesi sebagai perajin perak, penyulam kain,
dan petani, banyak yang ikut gerakan kaum Padri menentang Belanda.

Tetapi, Abdul Gani melihat Belanda memiliki keunggulan pada teknologi,
alat-alat   perang,  serta  intelektualitas  sehingga  diyakini  sulit
dikalahkan  begitu  saja.  Abdul  Gani  yang  terkagum  bertekad untuk
menyerap ilmu dari Belanda.

Dia kemudian belajar membaca dan menulis dengan tekun, sampai kemudian
diangkat  menjadi  juru  tulis  pada  perusahaan  kopi Belanda. Karena
kecakapannya  bernegoisasi,  Abdul  Gani  mendapatkan kepercayaan dari
Belanda  menjadi agen utama yang memonopoli pengumpulan kopi dan hasil
bumi Sumatera Barat lainnya untuk dijual kepada Belanda.

Jadilah  Abdul  Gani  sebagai salah satu konglomerat terkaya di Minang
pada  eranya.  Saat  Belanda  mendirikan  Sekolah Rajo di Bukittinggi,
Abdul Gani â  memonopoliâ  dengan membeli bangku sekolah untuk dipakai
anak-anak Koto Gadang.

Sikap  Abdul  Gani  yang memonopoli pendidikan untuk warga Koto Gadang
itu  membuat  pihak lain meradang. Pada tanggal 8 Oktober 1876, sebuah
artikel  di  media  massa  lokal saat itu, Sumatra Courant, mengkritik
Abdul Gani, â  Kita minta perhatian pada pers di Hindia Belanda maupun
di  Negeri  Belanda  sendiri  tentang adanya suatu perkumpulan rahasia
Koto   Gadang,   yang   dengan   segala   upaya  berusaha  mendudukkan
pemerintahan keluarga di Sumateraâ  .

Walau  demikian,  sejak  saat itulah Koto Gadang terbiasa dengan iklim
intelektualitas. Kesadaran membaca dan menulis warganya sangat tinggi.
Pada  tahun  1916,  orang-orang  Koto Gadang sudah menerbitkan majalah
Berita Koto Gadang dan membangun perpustakaan serta sejumlah sekolah.

Hingga kini majalah itu masih tetap terbit dengan nama Canang. Tradisi
membaca  dan  menulis  inilah  yang  agaknya  memunculkan  sosok-sosok
intelektual otodidak di masa itu, seperti Agus Salim dan Rohana Kudus.

Di  samping  suburnya  tradisi  pendidikan  otodidak  dengan  membaca,
diskusi,   dan   menulis,   masyarakat   Koto   Gadang  juga  berlomba
menyekolahkan  anak  mereka tinggi-tinggi dari hasil menjual kerajinan
perak dan sulaman yang terkenal. Hasilnya, para lulusan sekolah dokter
pertama  di  Hindia  Belanda,  Stovia,  banyak  yang berasal dari Koto
Gadang.

Menurun

Seiring waktu, kekayaan intelektual Koto Gadang meredup. Meski tradisi
intelektualitas  tetap  dijaga,  seperti  yang  terlihat dari kelompok
orang  tua  yang  tetap berdiskusi di Balai Adat. Koto Gadang dan juga
nagari-nagari  lain  di  tanah  Minang kian meredup pascapemberontakan
PRRI yang menyebabkan banyak tokoh keluar, kata Hera.

Menurut   Rusli,   saat  pemberontakan  PRRI  era  1959-1961,  terjadi
gelombang  eksodus  besar-besaran  warga  Koto  Gadang ke luar Minang.
Dulu,  banyak  warga  sini yang ikut PRRI sehingga banyak yang menjadi
sasaran  kecurigaan  pascapembubaran PRRI tahun 1962. Akhirnya, banyak
warga yang memilih keluar daerah, kata Rusli.

Koto Gadang pun ditinggal tokoh-tokoh pemegang otorita intelektualnya.
Nagari  ini  menjadi  sunyi dan hanya dihuni pensiunan tua yang hampir
kehabisan energi. Majalah Canang sekarang pun diterbitkan dari Jakarta
sehingga tradisi intelektual tak lagi berkembang di Koto Gadang.

Orangtua  di  Koto  Gadang  kebanyakan memang masih berorientasi untuk
menyekolahkan  anaknya  tinggi-tinggi.  Tetapi, kualitas pendidikan di
negeri  ini  pun  sekarang  juga  kurang bagus. Paling banter sekarang
orang  sini  jadi pegawai biasa. Jarang yang menjadi tokoh intelektual
yang  menonjol.  Memang  saat  ini  sulit mencari tokoh intelektual di
negeri  ini  yang  berasal dari pendidikan otodidak sebagaimana pernah
terjadi di Koto Gadang dulu, kata Hera. (YNS/NAL)
 

 Kompas,Jumat, 16 Desember 2005







       
---------------------------------
 Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist.   Download sekarang juga.
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke