Salah satu tulisan Uda nasrul Azwar, nan ambo kutip dari blog baliau dan 
ambo upload di www.cimbuak.net.

Salam
Is St Marajo 39+
www.cimbuak.net
Kampuang nan jauah dimato dakek dijari
Mambaca Minangkabau, Mengurai Problem 
OLEH Nasrul Azwar 
Tradisi dalam istilah yang jeneral dimaknai kebiasaan turun-temurun 
sekelompok masyarakat (komunitas) berdasarkan nilai budaya bersangkutan: 
bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik yang bersifat duniawi, 
gaib atau keagamaan. Tradisi itu secara “alamiah” mengesankan “mengatur” 
hubungan antarindividu manusia, antarkelompok, memperlakukan lingkungan 
secara bijak, dan bagaimana perilaku masyarakat terhadap alam yang lain. 
Di tengah masyarakat seperti itu, tradisi membiak menjadi suatu sistem, 
pola, norma, dan selanjutnya masuk ke dalam pengaturan penggunaan sanksi 
dan ancaman terhadap individu yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan. 

Maka, membincangkan tradisi berarti berbicara tentang tatanan masyarakat, 
struktur sosial, nilai-nilai, regulasi dan norma-norma. Di Minangkabau, 
misalnya, norma-norma itu terkandung dalam berbagai bentuk ekspresi 
kabahasaan seperti pepatah petitih, pantun, dan cerita lisan berupa kaba. 
Tatanan masyarakatnya adalah masyarakat dengan sistem kekerabatan 
matrilineal dan bahkan dalam batas tertentu, sistem politik matriarki. 
Seni Tradisi dan Globalisasi
Dalam perjalanan studi budaya, tradisi selalu dipertentangkan dengan 
modernitas. Modernitas (isme) diartikan sebagai sebuah periode historis 
pascatradisional yang dicirikan oleh industrialisme, kapitalisme, negara 
bangsa dan bentuk-bentuk pengawasan, juga dipahami sebagai pengalaman 
kultural modernitas yang dicirikan oleh adanya perubahan, ambiguitas, 
keraguan, risiko, ketidakpastian, dan keterpecahan. 
Di sisi lain, tradisi malah berjalan berdampingan dengan modernitas itu 
sendiri, dan tampaknya kian rumit untuk dibedakan. Tradisi—dalam 
pengertian seni tradisi, misalnya—mengesankan sekali tidak bersifat 
statis, tapi cenderung dinamis: seni tradisi, taruhlah seni tradisi 
randai, melangkah pasti dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman, 
malah perubahan itu terkesan sebagai proses adaptasi yang cukup kreatif. 
Posisi seni tradisi randai mengalami modernisasi secara berlahan dan kini 
posisi randai Minang sudah berada di era posmodernisme, sebuah periode 
sejarah setelah modernitas yang ditandai oleh posisi utama konsumsi dalam 
konteks masyarakat pascaindustri, sensibilitas kultural yang menolak 
narasi-narasi besar dan lebih memilih kebenaran-kebenaran lokal yang ada 
dalam permainan-permainan bahasa yang spesifik. Dan dengan sangat 
mengesankan sekali, seni tradisi randai tetap bertahan dengan caranya 
sendiri. 
Dunia kesenian tradisi Minangkabau—barangkali sudah terstruktur dalam 
sistem budaya masyarakatnya—semenjak dulu sampai hari ini telah dengan 
sendirinya tersegmentasi atas nagari-nagari yang ada Minangkabau. Pola 
yang segmentatif ini pada batasan tertentu mempersempit ruang gerak 
perkembangan seni itu sendiri, namun tidak membatasi dirinya secara ketat. 
Rumusan adat selingkar nagari yang berlaku di Minangkabau memberikan tanda 
bahwa seni tradisi yang tumbuh di nagari-nagari diakomodasi pada batas 
nagari. Seni tradisi indang berkembang di Solok dan Pariaman misalnya, 
tidak akan dijumpai di nagari-nagari 50 Koto. Juga seni tradisi sijobang 
juga tak akan ditemui di daerah pesisir Sumatra Barat. 
Sebagai ilustrasi, jika masa dahulunya, tokoh perempuan dalam cerita 
randai tidak dibenarkan dimainkan oleh perempuan, tapi oleh laki-laki yang 
berlaku seperti perempuan. Kini, perempuan bisa tampil memainkan 
tokoh-tokoh yang ada dalam cerita randai. Cerita yang ditampilkan pun 
disesuaikan dengan era kekinian. Kemampuan beradaptasi tanpa meninggalkan 
substansi, hakikat, dan nilai-nilai seni randai Minang itu yang 
sesungguhnya perlu disikapi bersama. 
Namun kondisi seni tradisi randai sangat bertolak belakang dengan kondisi 
secara umum kebudayaan Minangkabau. Kalangan budayawan menyebut 
Minangkabau sekarang ini sudah berada di ambang kebangkrutan kultural. 
Penyebabnya, lemahnya ikatan adat dan tradisi di Minangkabau. Nagari 
sebagai basis kekuatan dialektika Minangkabau tidak berfungsi lagi. Nagari 
yang selama ini mengajarkan anak nagarinya tentang adat, budaya, dunia 
dagang, politik, dan lain sebagainya, kini hanya kenangan. Upaya 
pemerintah dengan perda kembali ke nagari, tampaknya tidak ada artinya. 
Malah kembali ke pemerintahan nagari itu cenderung membuka dan 
memperbanyak lubang-lubang korupsi di tingkat nagari. 
Berbagai tantangan dan perkembangan yang bersifat paradoksal di dalam 
kebudayaan Minangkabau akhir-akhir ini akan menentukan masa depan 
Minangkabau itu sendiri. Satu sisi, ada tantangan yang dihadapkan secara 
langsung dengan apa yang disebut dengan globalisasi. Sisi lainnya, muncul 
berbagai hambatan budaya tradisi secara internal—misalnya rendahnya atensi 
kaum cendekiawan di nagari-nagari di Minangkabau yang merupakan masalah 
tersendiri yang harus diselesaikan secara baik, kekuatan dan modal sosial 
nagari yang demikian berpotensi seolah tak ada artinya lagi. Kahadiran 
cendekiawan (katakanlah kepemimpinan informal di nagari), tentu diharapkan 
mampu dan dapat menentukan sikap nagari sebagai landasan normatif dalam 
merekonstruksi masa depan nagari itu sendiri. 
Minangkabau dan Tantangan
Selain itu, perkembangan zaman yang demikian derasnya juga jadi faktor 
membuat merosotnya nilai budaya dan bangkutnya modal sosial Minangkabau. 
Menurut Faruk HT, seorang budayawan yang cukup menaruh perhatian terhadap 
Minangkabau menyebutkan, globalisasi memberikan dampak cukup dahsyat 
terhadap kehidupan masyarakat Minangkabau, termasuk karakter individu dan 
juga perilaku sosialnya. Kecenderungan otonomisasi diri—terutama bagi 
masyarakat Minangkabau yang hidup di kota— dalam kehidupan sehari-harinya 
tampak telah melemahkan ikatan adat dan nilai-nilai tradisional. Kehidupan 
sosial mereka telah dipengaruhi kekuatan kebudayaan modern dan juga arus 
globalisasi. 
Pada saat sekarang ini, di kancah deraan arus globalisasi, pola kehidupan 
masyarakat Minang sudah bertukar dengan menyesuaikan diri dengan eranya. 
Dulu kehidupan sosial dijalani dengan keluarga besar di rumah gadang kini 
sudah diganti dengan keluarga inti, yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. 
Posisi perempuan dalam keluarga inti tidak lagi seperti di rumah gadang. 
Jika dalam sistem matrilineal yang dianut Minangkabau selama ini, bahwa 
perempuan memegang posisi terpenting di rumah gadang, tidak hanya sebagai 
penerus generasi tetapi pewaris yang memiliki hak sebagai penentu, serta 
mengelola harta keluarga tersebut, di dalam keluarga inti hal seperti itu 
tidak ada sama sekali: Laki-lakli (sebagai kepala keluarga yang menentukan 
semua kebijakan rumah tangga).
Dampak berkembangnya keluarga-keluarga inti baru di Minangkabau dan juga 
di perantauan, tampaknya memberi kontribusi yang cukup dominan untuk 
melemahkan posisi perempuan di Minangkabau dan sebagai determinatif yang 
cukup signifikans. 
Dalam makna tertentu, kebudayaan Minangkabau dapat dimaknai sebagai sistem 
nilai yang fungsinya mendorong dan membimbing masyarakatnya menjawab 
tantangan yang mereka hadapi sepanjang masa. Sistem nilai tersebut 
merupakan ciri identitas sebuah kelompok masyarakat budaya. Pada 
masyarakat Minangkabau dicirikan dengan paham egalitarian yang hidup di 
dalam nagari-nagari.
Nagari-nagari teridealisasikan dengan hadirnya ruang publik di 
tengah-tengah kehidupan nagari di Minangkabau, misalnya, galanggang 
(sasaran), yang merupakan ranah bagi anak nagari untuk mengekspresikan 
diri mereka, dapat disebut sebagai sistem nilai budaya. Di dalam 
galanggang itu akan teraktualisasikan ekspresi individu, masyarakat, dan 
komunal. 
Dalam tataran kajian budaya, Minangkabau salah satu suku yang dikenal 
sebagai masyarakat yang unik karena memadukan nilai-nilai adat (tradisi) 
dan nilai-nilai keagamaan (Islam) dalam kehidupan sehari-harinya. 
Kehidupan tradisional orang Minang adalah kehidupan bersama yang dipimpin 
oleh mamak (laki-laki) secara demokratis. Baik dalam keluarga, suku atau 
nagari. Ada mamak adat (nini mamak, pimpinan kaum), mamak ibadat (ulama) 
dan cerdik pandai.
Namun demikian, semenjak reformasi tahun 1998, lebih jauh lagi sejak 
ditetapkannya Peraturan Daerah No 9 Tahun 1999 dan direvisi lai dengan 
Peraturan Daerah No 2 Tahun 2007 tentang kembali ke nagari di Sumatra 
Barat, eforia yang cenderung romantik akan kebesaran masa lalu, kian 
terasa dan mengemuka. 
Berkembangnya semangat kembali ke nagari pascaruntuhnya rezim Orde Baru 
merupakan sebuah reaksi terhadap sifat hegemoni budaya yang melekat pada 
budaya global, berupa homogenisasi atau penyeragaman budaya secara 
kolosal, yang menyebabkan semakin sempitnya ruang gerak dan merosotnya 
pamor budaya-budaya lokal, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan 
lenyapnya budaya karena dilindas arus globalisasi. 
Nagari dan Sorak-sorai Eforia
Kekhawatiran tersebut telah mendorong munculnya berbagai bentuk perjuangan 
budaya, khususnya perjuangan representasi budaya (cultural 
repre-sentation), yang di dalamnya respeks terhadap akar-akar budaya lokal 
digunakan sebagai senjata untuk menentang kekuatan impersonal, predator 
dan anonim globalisasi. 
Menurut Yasraf Amir Piliang, globalisasi tampaknya telah menghadapkan 
kebudayaan-kebudayaan lokal pada situasi dilematis: antara tradisi dan 
perubahan, antara identitas dan transformasi. Situasi dilematis ini muncul 
akibat sosok globalisasi itu sendiri yang menampakkan ‘wajah ganda’. 
Di satu sisi, globalisasi menciptakan integrasi, homogenisasi, 
standardisasi, internasionalisasi, di dalam ‘dunia tanpa batas’; sementara 
di sisi lain, globalisasi justeru telah menguatkan semangat 
desentralisasi, penganekaragaman, pluralitas, tribalisme, sukuisme dan 
sektarianisme. 
Situasi dilematis tersebut juga dihadapi oleh gerakan-gerakan ‘budaya 
lokal’ di Indonesia, khususnya dalam upaya revitalisasi budaya. Di satu 
pihak, semangat reformasi, otonomi, dan demokratisasi telah memunculkan 
berbagai sentimen lokal (kesukuan, keagamaan, ras, dan kedaerahan), yang 
bahkan pada titik yang ekstrim telah menyulut berbagai bentuk konflik dan 
kekerasan. 
Di pihak lain, kehidupan sehari-hari masyarakat lokal justru sangat 
dipengaruhi oleh pola-pola kehidupan masyarakat global dan budaya global. 
Pengaruh tersebut telah merubah cara hidup, gaya hidup bahkan pandangan 
hidup mereka, yang pada titik tertentu justru mengancam eksistensi warisan 
adat, kebiasaan, simbol, identitas dan nilai-nilai budaya lokal. 
Dalam situasi dilematis tersebut, upaya-upaya bagi revitalisasi 
budaya-budaya lokal dalam konteks perkembangan budaya global, tampaknya 
harus didukung oleh pemikiran, filosofi, visi dan strategi budaya yang 
cerdas dan kreatif, sehingga globalisasi dapat dijadikan sebagai peluang 
bagi pengkayaan budaya lokal di dalam kancah budaya global, tanpa ha-rus 
meninggalkan nilai-nilai kunci budaya lokal itu sendiri 
Menarik jika kita mencermati lebih dekat tentang apa yang terjadi antara 
pemerintahan kabupaten/kota dengan pemerintahan provinsi, dan pemerintahan 
terdepan, yaitu nagari. Hubungan pemerintahan itu seperti tidak lagi 
“mesra”. Masing-masing berjalan dengan niat dan strategi masing-masing 
daerah. 
Gagasan menghapus pemerintahan provinsi yang pernah disampaikan Gamawan 
Fauzi, Gubernur Provinsi Sumatra Barat, beberapa waktu lalu, dapat 
dimaknai sebagai indikator adanya hubungan yang tak sedap dengan 
pemerintahan kabupaten dan kota. Mereka dengan caranya masing-masing 
memiliki gaya sendiri dalam menyikapi otonomi dan demokratisasi. Dan semua 
itu membuat pemeritahan provinsi tak ada artinya sama sekali. Demikian 
juga dengan pemerintahan nagari, yang dengan caranya sendiri bisa 
mementahkan keputusan pemerintahan di atasnya dengan alasan masyarakatnya 
tidak menerima. Misal, keinginan investor untuk mengembangkan usahanya di 
sebuah nagari. 
Para pengamat berpendapat, semua itu bermula dari krisis moralitas sebagai 
dampak dari krisis kepercayaan, saling pengaruh timbal balik terhadap 
krisis kepemimpinan hampir di semua sektor, terutama kepemimpinan politik. 
Dampak dari krisis kepemimpinan memberi pengaruh terhadap otoritas 
pemimpin, tokoh dan figur yang selama ini dipercayai sebagai pembawa 
amanat. 
Krisis otoritas menjalar pada otoritas hakim, pengadilan dan kepolisian 
sebagai penegak keadilan, bahkan otoritas ninik mamak dan ulama. Kepastian 
hukum dan ketidakadilan, amat dirasakan oleh rakyat atas kebijakan hukum 
yang berlaku. Tingginya tingkat pengaduan masyarakat nagari ke pihak 
polisi untuk menyelesaikan berbagai perkara, membuktikan bahwa pemimpin 
informal di tengah kaum (masyarakat) sudah tidak dipercaya lagi. ***
Diposting oleh Nasrul Azwar   


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
Website: http://www.rantaunet.org 
=============================================================== 
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN: 
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply. 
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku. 
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: 
[EMAIL PROTECTED] 

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe 
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

<<image/gif>>

Kirim email ke