http://www.padangekspres.co.id/content/view/12942/55/
Minang dan Pemilu 2009 Sabtu, 19 Juli 2008 Oleh : Indra J Piliang, The Indonesian Institute, CSIS dan Alumnus SMA 2 Pariaman Kampanye pemilu legislatif 2009 telah dimulai. Gempitanya sudah sampai di ranah Minang. Akan bertebaran gambar-gambar para calon anggota legislatif, lengkap dengan tanda gambar parpolnya masing-masing, di parak, jalanan, pasar, sampai tempat-tempat yang strategis seperti lapau. Pertanyaan sekarang, apa arti dari hiruk-pikuk pemilu 2009 ini bagi ranah Minang? Akankah ia hanya lewat begitu saja, seperti banjir di bendungan yang tidak mengubah tepian? Konsolidasi demokrasi yang sekarang berjalan membutuhkan sumberdaya manusia yang baik. Sejak awal kemerdekaan, Sumatera Barat menyumbangkan banyak manusia terbaik, baik dalam artian kadar intelektualitas, moralitas, idealisme, sampai ideologi politik yang terukur. Suku bangsa Minang adalah sedikit dari suku bangsa Indonesia yang paling banyak merenung. Perdebatan menjadi ciri, dari tingkat paling sederhana di dalam keluarga, kaum, nagari, sampai kepada aspek sosial lain. Sehingga, menjadi suatu kemunduran sejarah apabila kontribusi suku bangsa Minang menjadi kian minimal. Ini bukan suatu tangisan atas masa lalu yang gemilang atau masa kini yang kurang beruntung. Tetapi lebih sebagai lecutan bagi arah yang hendak dituju, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap ini juga bukan bagian dari primordialisme yang sempit, melainkan menjahit lagi baju kebangsaan yang robek, membuhul lagi benang kenegaraan yang putus. Sebagai pembuka pintu, pemilu 2009 akan menyediakan segala jenis panorama kehidupan politik. Setiap orang akan mengetuk rumah individu-individu yang mempunyai hak pilih, lalu menitipkan stiker, baliho, spanduk atau leaflet. Tentu, rumah akan semarak, sebagaimana juga jalanan. Tetapi, adakah dalam perhelatan demokrasi ini, setiap individu menitipkan harapan pada setiap pilihan? Rasa-rasanya, pemilu bagi sebagian besar orang hanyalah bagian dari rutinitas lima tahunan untuk saling berkumpul dan berapat. Pemilu 2009 menjadi strategis untuk mengukur seberapa jauh Indonesia bertahan sebagai negara demokrasi. Nilai lain yang tersedia adalah berkecamuknya kehendak untuk melakukan regenerasi politik. Pada 2014, lapisan kepemimpinan baru diharapkan lahir dan terbentuk, tentu tidak dalam keadaan instan. Lapisan itu ditempa dengan pengalaman panjang dalam denyut perubahan demi perubahan, sehingga menyebabkan sesuatu yang stagnan menjadi goyang. Stabilitas akan kembali hadir, ketika keseimbangan terjadi pada lapisan kepemimpinan baru ini. Arah Indonesia ke depan akan sangat ditentukan oleh seberapa lancar proses regenerasi ini. Ibarat badan yang terkena begitu banyak makanan berlemak, sumbatan-sumbatan terkecil pada aliran darah akan berdampak fatal. Bisa-bisa kematian. Tugas setiap orang adalah bagaimana bangsa ini tidak segera menemui ajalnya, ketika beragam kepentingan justru membuat apa yang dinamakan AA Navis sebagai "Robohnya Surau Kami" menjadi kenyataan. Setiap orang selayaknya dilarang untuk meruntuhkan satu demi satu dari bangunan surau, melainkan memberikan sumbangan nyata, entah sepotong papan, sebongkah batu, atau hanya delapan kerat tulang untuk bekerja memperbaiki surau yang hendak roboh. Suku bangsa Minang sudah menunjukkan kerja yang serius, berkeringat, bahkan juga dengan tumpahan darah, ketika menjadikan Indonesia dari sebuah ide menjadi sebuah negara. Hanya saja, Sumatera Barat sebagai satu teritorial politik juga menyaksikan kedatangan tentara-tentara pusat untuk menegaskan identitas keindonesiaan. Konflik yang terjadi di masa lalu itu membekas dalam ingatan, mengingat apa yang disebut sejarah itu ada dalam pikiran. Mentalitas sebagai suku-bangsa yang dikalahkan menyebabkan banyak wajah disurukkan dan identitas keminangan dimalin-kundangkan. Padahal keindonesiaan sendiri adalah ramuan dari gado-gado suku dan bangsa. Indonesia bukanlah Indonesia apabila ia menghilangkan unsur Aceh, Bugis, Batak, Minang, Jawa, Ambon, Flores, Merauke, dan lain-lain. Indonesia justru mengering apabila lapisan kepemimpinan hanya dihuni oleh satu kumpulan suku atau warna kulit. Sifat multi-kultural Indonesia ini terbangun dari sejarah yang jauh lebih lama, daripada kehadiran sebuah negara merdeka. Maka, tidak pada tempatnya meratapi kehilangan pengaruh orang-orang Minang, apabila Minang sendiri tidak memberikan sumbangan dalam pentas keindonesiaan. Kembali ke soal Minang, saya merasa tidak harus ada perbedaan mutlak dari kehadiran 34 partai politik. Mungkin tidak seluruh parpol itu memiliki cabang di Minang. Yang lebih penting adalah apakah masing-masing parpol itu berkehendak untuk memajukan Sumatera Barat dengan segala kekurangan dan keunggulan yang dimiliki? Sebuah pertemuan antara para pelaku politik di Minang layak digagas, agar terlihat kesamaan agenda perjuangan, sekalipun berbeda pilihan parpolnya. Identitas kepartaian akan laku ketika berada dalam bingkai nasional. Tetapi dalam masyarakat homogen seperti Sumatera Barat yang lebih dari 80% penduduknya adalah etnis Minang, identitas itu selayaknya dibelakangkan dan dibangkucadangkan. Agenda-agenda besar di bidang kebudayaan, kesenian, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial layak dijadikan sebagai patokan, ketimbang garus ideologi politik di tingkat nasional. Kita layak belajar dari keberhasilan para tetua di ranah Minang ketika mampu berbicara di tingkat nasional dan internasional. Tetapi kita juga harus berbesar hati untuk membuang jauh segala kegagalan yang pernah dilakukan. Paradigma konstruktuvisme menjadi bagian yang tidak terelakkan untuk dikedepankan, dengan metode developmentalisme sebagai pilihan. Sesuatu yang menampar angin kalau kita terus berpikir untuk melakukan penggantian dari A ke B atau sebaliknya. Yang perlu terjadi hanya semacam restorasi dalam skala kecil. Restorasi Meiji di Jepang mengalami keberhasilan ketika struktur masyarakat diubah dengan mengedepankan kaum tani, nelayan dan pekerja. Sementara revolusi kebudayaan di China malahan memakan korban kemanusiaan ketika begitu banyak kaum intelektual kampus dan non-kampus disuruh melakukan perjalanan jauh untuk menjadi petani di pedesaan. Pena digantikan oleh cangkul dan linggis. Saya tidak tahu apa rumusan paling tepat untuk melakukan itu. Yang saya percayai adalah demokrasi akan memberikan tempat yang layak bagi suku bangsa Minang, ketimbang satu pemerintahan yang sentralistik dan totaliter. *** --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting - Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi - Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau dibanned - Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---