Di Opini Harian Lokal (Serambi Aceh) yang mana biasanya sering dimuat tentang kritik dan berbalas kritik serta Budaya Lokal yang kental menjadi selalu hangat dan mendapapat sorotan, tapi kok suatu hari kemaren, Opininya 100% membahas tentang Budaya Minangkabau berdasarkan beberapa Novel yang disebutkan dalam Artikel.
Membacanya, saya agak tergelitik, apa iya?? seperti itu masyarakat Minangkabau? walau penulis dengan jelas juga mengatakan bahwa aksi dan reaksi yang tertuang dalam dunia sastra cerita asli ataupun rekaan, tidak begitu saja dapat dianggap sebagai gambaran sikap keseharian manusia, tetapi apakah itu juga semata-mata fiksi? Rasanya, tidak dasar itu juga penulis menoreh tulisannya????? Entahlahh.... ============================= Penulis: Restoe Prawironegoro Ibrahim Benarkah wanita Minang suka menyeleweng, tidak setia, dan gemar kawin-cerai seperti tergambar dalam novel-novel dan lakon Indonesia dengan muatan warna lokal Minangkabau seusai Perang Dunia Kedua? Pertanyaannya sekarang, benarkah ketidakpercayaan akan kebenaran sebuah cerita dalam novel dan naskah-naskah lakon yang dipilih AA. Navis sebagai objek penelitian, mengingat karakter seperti itu dianggap tidak melekat pada orang Minang yang identik dengan Islam? Sungguh pun, menyebutkan orang Minang bersifat terbuka, seperti terungkap dalam karya sastranya, AA Navis yang menulis roman Robohnya Surau Kami itu sebenarnya tampak hati-hati. Ada dua argumen di sini, pertama, bahwa bila perilaku seperti yang ditunjukkan janda muda Maimunah dan Farida yang bersuami, rela dan bangga tidur seranjang dengan Rafilus dalam novelnya Wasiran. Memang ada, mungkin hanya menyangkut individu yang kebetulan terlahir sebagai orang Minang. Bila jumlahnya cukup banyak, itu mungkin bersifat sektoral dan tidak meliputi orang Minang secara keseluruhan. Kedua, terkesan lebih menarik. Sungguh pun diberi penekanan bahwa hanya terjadi pada masa lalu, kebiasaan itu memang ada dalam masyarakat Minangkabau. Dari kelima novel dan satu naskah yang berbentuk lakon banyak bermuatan warna lokal pikiran Minangkabau yang dipilih AA. Navis sebagai objek penelitiannya, ternyata penyelewengan bukan satu- satunya "borok" dari masyarakat Minangkabau pada karya-karya sastranya yang ditulis. Seperti, Dan Perang pun Usai (Ismail Marahimin), Hati Nurani Manusia (Idrus), Hilanglah Si Anak Hilang (Jasjah Jamin), Warisan (Chaerul Umam) dan Tidak Menyerah (Motinggo Busye), sedangkan naskah-naskah lakon Putri Bungsu (Wisran Hadi), menggambarkan ditemukannya penyakit sosial lain seperti sifat egois dan licik, rapuhnya lembaga perkawinan dan kesombongan. Masalahnya, bila memang yang digambarkan novel-novel dan naskah lakon tersebut dianggap oleh AA Navis sendiri bermuatan warna lokal Minangkabau merupakan penggambaran dari karakter manusia Minang, berapa besarkah kaitan antara dunia rekaan itu dengan dunia keseharian masyarakat Minang. Konsep ketinggian hargadiri Minang Mengutip buku Sastra dan Ilmu Sastra yang ditulis Prof A Teew, dikatakan, dunia nyata dan dunia rekaan selalu sejalan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Bahkan, dalam roman realis pun, ada kesan penulis (pengarang) rela untuk bersusah payah mendeskripsikan sesuatu agar diperoleh kesan penulis (pengarang) mengetahui persis keadaan itu. Sungguh pun demikian, realisme mutlak dalam karya sastra atau roman manapun tidak pernah ada, jelasnya pada bagian lain. Bagaimana pun, dalam menulis roman, penulisnya mau tidak mau harus melakukan kegiatan kreatif; pertama-tama ia harus menyeleksi bahan- bahan dari keseluruhan kenyataan yang tak terhingga, kemudian ia juga menentukan struktur naratif dengan menentukan point of view untuk mengarahkan dan membatasi kebebasannya selaku penggambar kenyataan. Lebih tegas lagi, bagaimana pun dunia roman mendekatiaspek-aspek kenyataan tertentu, ia tetaplah sebuah rekaan yang terikat pada konvensi bahasa, sosio budaya, dan sastra sendiri. Sebagai dokumen sosial, roman atau karya sastra jelas bukan penyedia fakta dan data yang dapat dipercaya. Hal ini disebabkan tidak pernah tahunya pembaca kapan fakta berakhir dan rekaan dimulai. Lalu bagaimana dengan penggambaran "bopeng" wajah manusia Minang oleh penulis novel dan naskah lakon yang kebetulan putra daerahnya sendiri ini harus disikapi? Upaya memahami persoalan itulah, AA Navis maupun Taufik Abdullah mencoba mengajak orang di luar Minang untuk melihat budaya Minang sebagai suatu kebulatan. Hanya dengan cara ini kebudayaan Minang dapat dilihat secara jernih. Bagi orang luar akan sulit sekali memahami bagaimana seorang ayah di Minang mengajari anaknya bahwa lebih baik mencuri dari pada meminta, atau sahnya "mancido" (memukul orang dari belakang) saat berhadapan dengan musuh yang lebih besar, seperti yang ada dalam novel AA Navis. Orang baru akan mengerti perihal tersebut, bila juga memahami konsep ketinggian harga diri yang dipegang teguh manusia Minang. Bagi orang Minang, berposisi rendah apalagi direndahkan adalah sesuatu yang sangat memalukan. AA Navis sendiri sudah menjelaskan dalam novelnya bahwa standarisasi nilai-nilai atau norma dari masyarakat yang berbeda adalah sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu, dalam mengamati orang Minang haruslah dipakai ukuran nilai yang memang berlaku pada masyarakat tersebut. Dengan demikian, orang akan mengerti bahwa orang Minang bukanlah buruh yang baik sebab terlalu panjang akal seperti yang ada dalam Dan Perang pun Usai. Di bagian lain dalam novel yang sama juga disebutkan bahwa "Sedang dalam bersama pun orang Minang ingin hidup sendiri, tidak ingin diganggu orang lain, sebab masing-masing ingin menjadi seorang raja kecil yang berkuasa penuh atas dirinya." Budaya Matrilincal Dengan pemahaman budaya Minang yang baik pula pembaca akan mengerti mengapa Bagindo Tahar tidak mau tinggal di rumah yang didominasi istrinya, sekalipun ia sudah sakit-sakitan (Warisan). Tentu tidak semua upaya pemeliharaan harga diri manusia Minang dicapai dengan tindakan yang mungkin dianggap "tidak baik" dari ukuran nilai yang berlaku pada masyarakat lain. Keadaan itu ditunjukkan oleh tokoh wanita, Centani, dalam novel Hilangnya si Anak Hilang. Dalam mempertahankan harga diri dan kebebasan pribadinya, Centani, mengancam bunuh diri jika dipaksa menikah dengan orang yang tidak disukainya. Demikian pula dengan tokoh Mariatun dalam Tidak Menyerah. Mariatun yag sangat suka pada Palimo lebih memilih memelihara rasa malu dari pada terlihat sebagai wanita murahan. Satu hal yang sangat menarik dari kebudayaan Minangkabau adalah sistem kekerabatan yang mereka anut, yakni matrilincal dengan menjadikan ibu adalah tokoh sentral yang menyebabkan orang lain, baik laki-laki atau perempuan, berhimpun di sekitarnya. Lebih jauh lagi, Umar Junus dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan Indonesia, mengatakan bahwa dalam budaya Minangkabau posisi ayah berada di luar keluarga anak dan istrinya. Tapi lain lagi dengan Teew, katanya, betapa pun sebuah karya sastra adalah dunia rekaan, nafas matrilincal itu juga muncul dalam novel dan naskah lakon yang bermuatan warna lokal Minangkabau. Hal itu disebabkan warna lokal bukanlah lahir dari pemilihan lokasi cerita, melainkan dari latar budaya pelaku ceritanya. Dalam cerita lakon Putri Bungsu (Wisran Hadi), tokoh Malin Kundang, Malin Deman, dan Malin Dauno memusatkan masalahnya di sekitar ibu mereka. Demikian pula halnya dengan tokoh-tokoh lain dalam novel yang lain. Tokoh Anis, yang demikian menderita hidup di rantau, pulang ke kampung untuk berlindung pada ibunya (Dan Perang punUsai), Kuning dan Centani datang pada ibu mereka untuk memperoleh dukugan moral dalam memecahkan masalah yang tengah mereka hadapi (Hilang si Anak Hilang). Sidi Badaruddin, sungguh pun mempunyai istri, memilih mati di rumah ibunya (Warisan), dan yang lebih tragis lagi, tokoh Palimo, yang tidak punya saudara perempuan, memilih hidup menyendiri di pondok untuk menghabiskan hari-harinya (Tidak Menyerah). Selain itu, peran mamak yang begitu besar dalam masyarakat Minangkabau yang matrilincal, juga mencuat dalam cerita-cerita tadi. Sungguh pun, bahwa aksi dan reaksi yang tertuang dalam dunia sastra cerita asli ataupun rekaan, maka tidak begitu saja dapat dianggap sebagai gambaran sikap keseharian manusia Minang, bahwa hal itu bukan semata-mata fiksi. Penulis adalah budayawan, cerpenis, dan penyair berdomisili di Jakarta. *) http://serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1131 05/08/2007 10:08 WIB --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== Sukseskan Pulang Basamo se Dunia, bulan Juni 2008. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Website: http://www.rantaunet.org =============================================================== UNTUK SELALU DIPERHATIKAN: - Harap memperhatikan urgensi posting email, yang besar dari >200KB. - Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply. - Email attachment, tidak dianjurkan! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui jalur pribadi. =============================================================== Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id&cd=US&service=groups2. ========================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---