Assalamualaikum w.w.
Terlampir saya kirimkan dengan hormat artikel Kompas tentang acara bedah buku Christine Dobbin tentang Perang Paderi, di Medan, sebagai informasi. Sesuai dengan rencana, Gebu Minang juga akan mengadakan acara bedah buku yang sama di Gedung Bagindo Azischan, Padang, pada tanggal 18 Oktober, dari jam 09:00-14:00 WIB.
Kelihatannya para panelis di Medan tersebut hanya melihat sisi ekonomi saja dari Perang Paderi, yang setidak-tidaknya berlangsung selama 17 tahun tersebut (1821-1838), dan tidak banyak membahas aspek atau latar belakang sosio-kulturalnya. Patut dicatat, bahwa dalam acara bedah buku tersebut guru besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara Nur Ahmad Fadhil Lubis mencatat kurangnya pemahaman Dobbin tentang Islam.
Secara pribadi, walaupun saya menghargai karya Dobbin sebagai buku sejarah yang banyak memberikan informasi baru kepada kita, saya kurang bisa menerima tafsiran sejarah yang mereduksi segala peristiwa selama berlangsungnya konflik tersebut hanya pada masalah ekonomi belaka.
Secara khusus saya garis bawahi kurangnya ulasan Dobbin mengenai kompleksnya proses akulturasi antara adat Minangkabau dengan agama Islam, padahal dalam kurun Perang Paderi itulah lahirnya formula adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS SBK) yang sekarang diterima sebagai 'jati diri Minangkabau'. Hal itu bisa dimengerti, bukan hanya karena kurangnya pemahaman Dobbin tentang agama Islam, juga -- atau apalagi -- karena kurangnya pemahaman Dobbin tentang adat Minangkabau. Dobbin memang tidak memusatkan perhatiannya pada masalah sosio-kultural ini. Itu adalah bagian kita, orang Minangkabau, dalam upaya merumuskan kembali jati diri kita sebagai suatu suku bangsa, sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asas Manusia.  
Saya berharap agar bedah buku yang akan kita selenggarakan tanggal 18 tersebut melakukan pembedahan yang lebih mendalam  lagi terhadap kandungan buku ini, yang pada aspek-aspek lainnya pada dasarnya sudah bagus. Saya percaya bahwa dalam waktu yang terbatas tersebut tidak seluruh masalah dapat kita ulas, apalagi jika dikaitkan dengan ABS SBK, yang selama beberapa waktu belakangan ini menjadi topik bahasan yang lumayan hangat dalam milis RantauNet.
Sehubungan dengan itulah, bersamaan dengan acara bedah buku ini, insya Allah akan kita umumkan pembentukan sebuah 'Lembaga Kajian Gerakan Paderi, 1803-1838'.
 
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: [EMAIL PROTECTED];
[EMAIL PROTECTED]

Perang Paderi Bukan Perang Agama

Kompas, Rabu, 15 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Medan, Kompas - Perang Paderi dinilai sebagian akademisi bukanlah perang agama. Perang yang melahirkan tokoh Imam Bonjol ini terjadi semata-mata karena persoalan ekonomi. Dugaan ini juga berlaku pada penyerangan kaum Paderi ke tanah Batak yang terjadi karena kekurangan logistik.

Demikian disampaikan antropolog Universitas Negeri Medan (Unimed) Usman Pelly, Selasa (14/10) di Medan, dalam bedah buku berjudul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi karya Christine Dobbin.

”Dia berhasil mengangkat kehidupan masyarakat Minangkabau dalam bidang ekonomi, agama, dan politik, tidak saja di kalangan orang Minangkabau, tetapi dalam pergumulannya dengan berbagai bangsa dan kelompok etnis lainnya,” tutur Usman.

Membaca buku ini, tutur Usman, orang dapat memahami sikap dan bagaimana orang Minangkabau menjadi Minangkabau dalam kurun waktu itu secara proporsional. Pada masa itu, kaum Paderi mendapat sambutan positif dari kalangan petani Minang. Kalangan petani sudah ada jauh sebelum kemunculan kaum Paderi. Petani Minang berpindah-pindah dari komoditas satu ke yang lain.

”Ketika emas mulai langka di perbukitan, mereka pindah ke lembah-lembah menanam lada, kapas, dan akasia. Ketika pasaran lada mulai jenuh, mereka beralih ke tanaman kopi,” kata Usman.

Gerakan Paderi merupakan gerakan Wahabi yang saat itu berkembang di Timur Tengah. Gerakan ini merupakan gerakan puritan untuk memurnikan agama Islam. Pada saat kaum Paderi berkembang di Minang, kondisi sosial masyarakat sangat rentan. Komoditas petani di pedalaman tidak terlindungi. Kerajaan Adityawarman yang berkuasa di Minang saat itu tidak mampu mengayomi petani.

”Gerakan radikal yang ditawarkan Paderi tidak hanya mampu mengisi dan mendinamisasi perubahan sosial yang terjadi, tetapi juga menjanjikan perlindungan dan pengayoman kehidupan ekonomi baru yang mulai berkembang saat itu,” kata Usman.

Keharusan sejarah

Oleh karena itu, gerakan puritanisme kaum Paderi di kalangan Minangkabau seperti keharusan sejarah. Hal ini ditangkap para pemimpin kaum Paderi. Mereka merasa mendapat tugas sejarah untuk memulai sebuah perubahan radikal dari bawah. Gerakan Paderi kemudian membuat gerakan radikal dengan menolak pengakuan kekuasaan Istana Pagaruyung dan perangkatnya.

”Selanjutnya kaum Paderi menempakan seluruh kekuasaan kepada tokoh Paderi. Mereka bertindak sebagai imam dan pemimpin perjuangan,” katanya.

Di tempat yang sama, guru besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara Nur Ahmad Fadhil Lubis mengatakan, buku Dobbin mencoba menguraikan hubungan antara agama dan ekonomi.

Buku setebal 416 halaman ini mengungkap dasar geografis kebudayaan Sumatera tengah. Sayangnya, buku ini tidak menampilkan peta yang relevan dengan obyek bahasan.

Hanya saja, Fadhil mengkritik kurangnya pemahaman Dobbin tentang Islam.

Dugaan Perang Paderi bukanlah perang agama diperkuat antropolog Unimed Bungaran Antonius Simanjuntak.

”Dari penelitian saya, Paderi menyerang Tapanuli Selatan karena logistik di Sumatera Barat habis,” katanya. (NDY)

 

Reply via email to