Assalmualikum WW.
Pak Arnoldison.
Dari samulo ambo lah sampaikan ka pak Arnoldison bahaso ambo suko tentang 
pembahasan2 mengenai agamo, tapi carito dibawahko. mungkin bisa ambo toloang 
dipajalehkan kanapo dalilnyo.maka  hendaklah  kamu  bersikap lebih takabur 
lagi kepada mereka.
Dan  apabila kamu temukan di antara umatku orang yang
bersikap  takabur,  maka  hendaklah  kamu  bersikap lebih takabur lagi
kepada mereka.
Tarimo kasih,
Darius Nurdin
Wassalmualikum WW

----- Original Message ----- 
From: "Arnoldison" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <RantauNet@googlegroups.com>
Sent: Saturday, April 14, 2007 12:17 AM
Subject: [EMAIL PROTECTED] Aku Lebih Baik dari Dia



Aku Lebih Baik dari Dia

Oleh : KH. Jalaluddin Rakhmat

Suatu  hari,  Allah SWT berfirman kepada Nabi Musa as,  Hai Musa, bila
nanti   kau  akan  bertemu  dengan-Ku  lagi,  bawalah  seseorang  yang
menurutmu  kamu  lebih  baik daripada dia.  Nabi Musa as lalu pergi ke
mana-mana;  ke  jalanan,  pasar,  dan  tempat-tempat ibadat. Ia selalu
menemukan  dalam  diri  setiap orang itu suatu kelebihan dari dirinya.
Mungkin  dalam beberapa hal yang lain, orang itu lebih jelek dari Nabi
Musa,  tetapi  Nabi  Musa selalu menemukan ada hal pada diri orang itu
yang  lebih baik dari dirinya. Nabi Musa tidak mendapatkan seorang pun
yang terhadapnya Nabi Musa dapat berkata,  Aku lebih baik dari dia.

Karena  gagal  menemukan  orang  itu, Nabi Musa masuk ke tengah-tengah
binatang.  Dalam  diri  binatang  pun ternyata selalu ada hal-hal yang
lebih  baik  daripada  Nabi  Musa. Seperti kita ketahui, burung Merak,
misalnya,  bulunya jauh lebih bagus dari bulu manusia. Sampai akhirnya
Nabi Musa melewati seekor anjing kudisan. Nabi Musa berpikir,  Mungkin
sebaiknya  aku  pergi  membawa dia.  Ia pun lalu mengikat leher anjing
itu  dengan  tali.  Namun  ketika  sampai  ke  suatu tempat, Nabi Musa
melepaskan anjing itu.

Ketika  Nabi  Musa  datang untuk bermunajat lagi di hadapan Allah SWT,
Tuhan  bertanya,   Ya  Musa,  mana orang yang Aku perintahkan kepadamu
untuk  kaubawa?   Nabi  Musa  menjawab,   Tuhanku, aku tidak menemukan
seseorang  pun  yang  aku  lebih  baik darinya.  Tuhan lalu berfirman,
 Demi  keagungan-Ku  dan  kebesaran-Ku, sekiranya kamu datang kepadaku
dengan  membawa seseorang yang kamu pikir kamu lebih baik darinya, Aku
akan hapuskan namamu dari daftar kenabian.

Kata  ana  khairun  minhu  atau  Aku lebih baik dari dia  pertama kali
diucapkan   oleh   Iblis   untuk   menunjukkan  ketakaburannya.  Tuhan
menyuruhnya  untuk  sujud  kepada  Adam  as  tapi  Iblis tidak mau. Ia
beralasan,  Aku lebih baik dari dia. Kau ciptakan aku dari api dan Kau
ciptakan  dia  dari  tanah.  Takabur yang dilakukan oleh Iblis pertama
kali itu adalah takabur karena nasab, takabur karena keturunan.

Menurut  Al-Ghazali,  di antara beberapa faktor yang menyebabkan orang
menjadi takabur dan berfikir,  Aku lebih baik dari dia,  adalah nasab.
Iblis  adalah  tokoh takabur karena nasab yang paling awal. Kebanggaan
atau  kesombongan  karena  nasab  ini pernah menjadi satu sistem dalam
masyarakat   feodal.  Feodalisme  adalah  sistem  kemasyarakatan  yang
membagi   masyarakat  berdasarkan  keturunannya.  Sebagian  masyarakat
disebut berdarah biru dan sebagian lagi berdarah merah.

Ada  sebuah  buku  yang  dengan  secara terperinci mengkritik sebagian
sayyid  atau  keturunan  Rasulullah saw yang merasa bahwa mereka lebih
utama  dari  orang  yang bukan sayyid. Sebagian sayyid itu berpendapat
bahwa    jika    ada   orang   bukan   sayyid   yang   beramal   saleh
sebanyak-banyaknya,  derajatnya  akan  tetap lebih rendah dari seorang
sayyid  yang  beramal  maksiat. Menurut penulis buku tersebut, seorang
sayyid yang berpendapat seperti itu pastilah seorang sayyid yang ahmaq
atau  tolol.  Dalam  salah  satu buku itu, ia memberikan contoh sayyid
yang   berpikiran  seperti  itu  sebagai  orang  yang  takabur  karena
nasabnya.  Ternyata,  penulis  buku  itu  pun  adalah  seorang sayyid.
Namanya Al-Sayyid Abdul Husain Asghai.#

Penulis  itu  mengingatkan  saya  kepada Imam Ali Zainal Abidin as. Ia
pernah  menangis  terisak-isak  di hadapan Baitullah. Thawus Al-Yamani
mendekatinya dan bertanya,  Wahai Imam, mengapa engkau harus beribadat
seperti  ini?  Bukankah kakekmu Rasulullah saw dan ibumu Fathimah as?
Lalu  Imam  dengan  marah  menjawab,   Jangan sebut-sebut di hadapanku
ibuku dan kakekku, karena Allah SWT akan memberikan surga kepada siapa
saja  yang  taat  kepada-Nya,  walaupun  ia  adalah seorang budak dari
Afrika.  Dan  Allah  akan memasukkan ke neraka siapa saja yang maksiat
kepada-Nya walaupun ia adalah seorang sayyid dari bangsa Quraisy.

Berbangga sebagai keturunan Rasulullah saw saja adalah suatu perbuatan
takabur,  apalagi  berbangga  sebagai  keturunan bukan Rasulullah saw.
Orang  yang  berbangga  karena  keturunannya yang bukan Rasulullah saw
adalah  seperti orang miskin yang takabur. Hal itu bukan berarti orang
kaya  boleh  takabur.  Orang  kaya yang takabur pun akan dimasukkan ke
neraka.

Kehormatan  dalam  Islam  tidak  ditegakkan  berdasarkan  nasab. Tuhan
berfirman,   Innâ  akramakum   indallâhi  atqâkum.  Sesungguhnya  yang
paling  mulia  di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa.
(QS.  Al-Hujrat  13  ) Pernah pada suatu hari, seseorang datang kepada
Rasulullah  saw  dengan  membanggakan nasabnya. Di kalangan masyarakat
Arab  waktu  itu,  kebanggaan  suatu nasab didasarkan pada jumlah jasa
yang  dilakukan  nasab  itu. Karena itu, mereka sering menyebut-nyebut
jasa  orang  tua  mereka.  Orang  itu  memperkenalkan  dirinya  dengan
menyebut silsilah orang tuanya sampai keturunan kesembilan. Rasulullah
saw  hanya  menjawab  pendek,  Wa anta  âsyiruhum fin nâr. Dan engkau,
keturunan   yang   kesepuluh,  di  neraka.   Ia  masuk  neraka  karena
ketakaburannya.

Ketika  berhadapan  dengan  orang  yang  takabur karena nasabnya, yang
membanggakan  kehebatan  orang  tuanya,  Sayidina Ali berkata,  Ucapan
kamu benar. Tapi alangkah jeleknya yang dilahirkan oleh orang tuamu.

Al-Ghazali  membagi  takabur kepada dua bagian. Pertama, takabur dalam
urusan  agama  dan  kedua,  takabur  dalam urusan dunia. Takabur dalam
urusan  agama dibagi lagi menjadi dua; takabur karena ilmu dan takabur
karena  amal.  Menurut  Al-Ghazali,  yang  banyak  takabur karena ilmu
adalah  para  ilmuwan,  filusuf, dan ulama. Apa tanda-tanda orang yang
takabur  karena  ilmunya? Ia tidak mau mendengarkan nasihat dari orang
yang  lebih  bodoh  darinya. Ia merasa dirinya paling pintar dan tidak
memerlukan bantuan orang lain.

Daniel  Goleman,  dalam  bukunya  Emotional Intelligence, menceritakan
kisah dua orang yang lulus bersamaan dari perguruan tinggi. Satu orang
di  antaranya  luar  biasa  pintar  dan  lulus  dengan nilai tertinggi
sementara  seorang  yang  lain lulus dengan nilai pas-pasan. Dua tahun
kemudian,  diselidiki  nasib  kedua  orang  itu. Orang yang pintar itu
ternyata  menganggur  sementara  orang yang tidak pintar telah menjadi
manajer  di  sebuah  perusahaan. Selidik punya selidik, ternyata orang
pintar  itu  tidak tahan bekerja di satu tempat, karena dia tidak bisa
bekerja  sama  dengan  orang  lain.  Ia merasa dirinya pintar sehingga
tidak memerlukan bantuan orang lain.

Takabur  yang  kedua di dalam urusan agama adalah takabur karena amal.
Jika  seseorang  banyak beramal, ia bisa menjadi sombong. Dalam sebuah
hadis  diriwayatkan  seseorang  yang datang ke majelis Nabi. Orang itu
dipuji  para sahabat karena kebagusan ibadatnya. Tapi Nabi mengatakan,
 Aku melihat bekas tamparan setan di wajahnya.  Nabi kemudian menyuruh
sahabat  membunuh orang itu. Orang itu merasa amal dirinya paling baik
di  antara  orang  lain. Di waktu lain, Rasulullah saw bersabda,  Jika
ada seseorang yang berkata,  Manusia ini semuanya sudah rusak, (dan ia
merasa  bahwa  hanya  dirinya  yang tidak rusak) maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya dia yang paling rusak.

Ada  orang  yang  merasa  amalnya sudah bagus sehingga dia merendahkan
orang  lain.  Ada juga orang yang merasa dirinya amat saleh dan segera
menganggap  rendah  orang  lain  yang  tidak salat berjemaah di masjid
seperti  dirinya.  Ia  pun  mengecam orang lain yang salatnya dijamak.
Orang-orang seperti itu termasuk orang yang takabur karena amalnya.

Sayidina Ali mengajarkan kepada para pengikutnya,  Kalau kamu berjumpa
dengan  orang yang lebih muda, berpikirlah dalam hatimu: Pasti dosanya
lebih sedikit dari dosaku. Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih
tua,  berpikirlah  dalam  hatimu:  Pasti  amalnya  lebih  banyak  dari
amalku.    Setiap  orang  pasti  ada  kelebihannya.  Kita  juga  punya
kelebihan,  tetapi  hal itu tidak menyebabkan kita menjadi lebih mulia
daripada  orang  lain.  Begitu  kita merasa diri kita lebih mulia dari
orang   lain   dan  ingin  diperlakukan  sebagai  orang  mulia  secara
diskriminatif, kita sudah jatuh kepada takabur. Takaburnya bisa karena
ilmu atau karena amal.

Takabur  bagian  kedua  menurut Al-Ghazali adalah takabur dalam urusan
dunia.  Takabur  dalam  urusan  dunia  disebabkan  oleh  beberapa hal.
Pertama, karena nasab, seperti telah dijelaskan di atas. Kedua, karena
harta  kekayaan. Ketiga, karena kekuasaan. Keempat, karena kecantikan.
Kelima,  karena  banyaknya  anak  buah  dan  pengikut.  Penyakit  yang
terakhir ini biasanya diderita oleh para ulama.

Rasulullah  saw  bersabda,  Tidak akan masuk surga orang yang di dalam
hatinya terdapat takabur walaupun hanya sebesar biji sawi.  Kita dapat
mengukur hati kita, apakah terdapat sebutir takabur atau tidak, dengan
menjawab   beberapa   pertanyaan.  Pertanyaan-pertanyaan  itu  sebagai
berikut:  Ketika  Anda masuk ke dalam sebuah majelis dan melihat kawan
Anda  yang  setara  dengan  Anda  duduk  di  tempat  yang lebih mulia,
sementara  Anda duduk di tempat yang lebih rendah, apakah ada perasaan
berat   dalam   diri  Anda?  Ketika  Anda  akan  memilih  menantu  dan
memperhatikan  keturunan calon menantu itu, lalu ternyata keturunannya
tidak  sebanding  dengan  Anda,  apakah Anda merasa berat menerimanya?
Apakah Anda merasa berat menerima nasihat dari orang yang lebih rendah
daripada  Anda?  Apakah  Anda  merasa berat untuk memakai pakaian yang
jelek ketika menghadiri pengajian? Jika Anda menjawab  ya  untuk salah
satu  dari  pertanyaan  di atas, ketahuilah, Anda sudah jatuh ke dalam
takabur.

Saya  akhiri tulisan ini dengan sebuah hadis. Rasulullah saw bersabda,
 Pastilah  orang  yang  takabur  itu punya cacat dalam dirinya yang ia
sembunyikan.   Hadis  itu  saya  kira sangat modern. Menurut Psikologi
mutakhir, orang-orang yang arogan atau sombong di dunia ini sebetulnya
adalah orang yang menderita cacat tertentu yang tidak kita ketahui dan
mereka berusaha menutupinya.

Kita  dapat  mengobati  perasaan takabur dengan istighfar dan bersikap
tawadhu.  Tidak  ada  obat  bagi  takabur selain bersikap rendah hati.
Rasulullah  saw  bersabda,   Jika  kamu temukan di antara umatku orang
yang bersikap tawadhu, maka hendaklah kamu bersikap lebih tawadhu lagi
kepada  mereka.  Dan  apabila kamu temukan di antara umatku orang yang
bersikap  takabur,  maka  hendaklah  kamu  bersikap lebih takabur lagi
kepada mereka.

(Ceramah  KH.  Jalaluddin  Rakhmat  pada  Pengajian  Ahad,  tanggal  5
September  1999,  di  Masjid  Al-Munawwarah,  Bandung. Dengan beberapa
perubahan redaksional, ceramah ini ditranskrip oleh Ilman Fauzi R.)






--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet
Tapi harus mendaftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount dengan 
email yang terdaftar di mailing list ini.
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke