sanak saparantauan,

Tulisan ini sudah ada di blog http://bundokanduang.  Seandainya istilah 
kesetaraan gender disamakan feminisme, maka  padusi Minang, adalah wanita yang 
paling berbahagia didunia dalam perannya sebagai padusi dan bundokanduang. Juga 
ambo kutip tulisan lain yang berjudul 
BENARKAH PERAN SOSIAL WANITA MINANG DALAM ADAT DAN BUDAYANYA SEBAGAI WUJUD 
KESETARAAN GENDER ?    
  
" Peran sosial wanita minang dalam kancah nasional saat kini, seakan tidak 
terdengar, selain peran sosial kekerabatan yang abadi, melekat kuat dalam adat 
dan budaya minang. Penyelenggataan sistem kekerabatan, wanita minang umumnya 
dilengkapi dengan dukungan ekonomi yang bersumber dari pengelolaan harta pusaka 
dan sebuah tempat kediaman yang disebut "rumah gadang". Setiap harta yang 
menjadi pusaka selalu dijaga agar tetap utuh, demi untuk menjaga keutuhan kaum 
kerabat, sebagaimana diajarkan falsafah alam dan hukum adat. Harta pusaka 
mempunyai fungsi sosial yang berada dalam penguasaan kaum wanita. Manfaat harta 
pusaka dalam sistem kekerabatan di Ranah Minang, yaitu :
  a.             penyelenggaraan mayat yang terbujur diatas rumah,
  b.            managakkan gala pusako,
  c.             Gadih gadang nak balaki,
  d.             Rumah gadang katirisan,
  Yang semuanya perlu pembiayaan yang tidak terkira, apabila tidak dikelola 
dengan baik. Demikian pula fungsi rumah gadang. Yang semua dikelola oleh kaum 
wanita. 
      Dimanakah wanita Minang itu menguasai ranah domestik dalam adat dan 
budaya, sedangkan kaum pria tidak dapat ikut campur dalam ranah domestik 
tersebut. 
Contoh : Peran induk bako dalam hubungan antara wanita minang dengan 
anak/keturunan saudara laki-lakinya (disebut dan anak pisang) yang memiliki 
hubungan emosional yang unik 
Pepatah mengatakan : "Induk bako bardaging tebal, anak pisang berpisau tajam. 
Apa maksud pepatah ini ? Tidak lain adalah begitu besar peran kaum wanita 
dimata saudara laki-lakinya. Sehingga kaum wanita yang berkedudukan sebagai " 
Bako" juga harus berperan sebagai pelindung bagi anak saudaranya, selain 
anaknya sendiri. Percayalah !  Niscaya tidak ada hubungan yang bekerlanjutan 
serupa ini, yang terjadi pada suku-suku lain di Indonesia. 
    Menurut sistem kekerabatan di Minang kabau, dalam hal tertentu, kaum wanita 
berperan sebagai atasan bagi kaum pria. Perhatikan peran induk bako seperti 
yang telah diuraikan diatas. Sebaliknya, kaum pria mempunyai kewajiban untuk 
membimbing anak saudara perempuannya yang merupakan kemenakan bagi kaum pria.  
Dengan demikian seorang anak di Minang kabau mempunyai dua pelindung, yaitu 
perlindungan dari seorang "Ayah"  dan perlindungan dari seorang Mamak" seperti 
fatwa adat yang berbunyi :
Anak dipangku, kemenakan dibimbing
  Anak dipangku jo pancarian,
  Kamanakan dibimbing jo pusako.
  Demikian pula peran  wanita dalam hubungan ipar dan besan, yang diatur dan 
ditata oleh kaum wanita. Kondisi-kondisi ini, menciptakan harmoni kehidupan, 
dimana wanita dan pria minang satu sama lain memiliki kedudukan yang sama, dan 
saling bergantungan,  sebagaimana mamangan yang berbunyi : "duduak samo randah, 
tagak samo tinggi".      
 Semoga sanak yang dirantau tetap mencintai adat budayanya yang berpihak kepada 
kaum padusinya. 

Wassalam

Evy Nizhamul    
  
anggun gunawan <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Feminisme pada Masyarakat Matrilineal 
Minangkabau                       Pengantar
 Membaca pemikiran Feminisme memang tidak mudah. Feminisme bukanlah pemikiran 
tunggal, tetapi terdiri dari berbagai macam pemikiran yang saling berbeda yang 
terpolarisasi aliran-aliran feminis. Feminisme radikal, misalnya, menganggap 
"penindasan terhadap perempuan ditandai oleh kuasa, dominasi, hirarki, dan 
kompetisi. Sistem patriarkhal tidak dapat dibentuk ulang, tetapi harus dicabut 
dari akar dan cabang-cabangnya. Bukan hanya struktur hukum dan politis 
partriarkhi saja yang harus dicabut untuk memberikan jalan bagi  pembebasan 
perempuan. Lembaga sosial dan kultural juga dicabut dari akar-akarnya" (Tong, 
1998; hal 3; ).
  Meskipun masing-masing aliran feminis berbeda dalam menganalisis sebab dan 
solusi dari ketertindasan perempuan, penulis melihat ada persamaan dalam 
"semangat perlawanan terhadap dominasi laki-laki".
 Feminisme di Indonesia, masih "barang baru" (produk Barat) di Indonesia. Dalam 
pengantar terjemahan buku "Feminist Thought", Aquarini Priyatna Prasmoro, 
seorang akademisi yang intens dengan pemikiran feminis di Indonesia, 
mengungkapkan kegelisahan yang menganggu pikirannya terkait tuduhan bahwa 
feminisme adalah Barat. "Pemikiran feminisme radikal seringkali dianggap tidak 
sesuai dengan 'budaya timur', karena perbincangan seksualitas bagi pemikiran 
Timur adalah tabu". Menurut Aquarini, "adalah asumsi merendahkan bahwa 
perempuan Timur tidak mampu melihat ketimpangan yang muncul secara jelas di 
depan  mata." (Tong, 1998; hal xv).
 Penulis termasuk orang yang sependapat dengan tesis "lokalitas harus kita 
perhatikan dalam melihat sebuah pemikiran". Feminis liberal tidak bisa kita 
lepaskan dari konteks Eropa. Sedangkan feminisme mulkultural sangat erat dengan 
kondisi diskriminasi antara kulit hitam dan kulit putih di Amerika Serikat 
(Tong, 1998).
 Terkait dengan perlawanan terhadap "patriakhal" dan "lokalitas" yang penulis 
sampai di atas, maka sangat menarik untuk melihat belahan dunia lain yang masih 
sedikit dilirik oleh para pemikir. Minangkabau, sebuah daerah di pulau 
Sumatera, yang sekarang identik dengan wilayah teritori Sumatera Barat, 
memiliki kultur budaya yang unik dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. 
Minangkabau adalah salah satu masyarakat yang masih tetap memegang matrilineal 
(sistem kekerabatan menurut garis ibu). Para Antropolog mencatat saat ini, suku 
bangsa yang masih memegang sistem  matrilineal, kurang dari 10 suku bangsa, di 
antaranya, Minangkabau (Sumatera Barat, Indonesia), Campa (Vietnam), Muangthai 
(segitiga emas Thailand), suku bangsa di India, Afrika, dan Badui (Timur 
tengah).
 Apabila feminisme kita sepakati sebagai perlawanan terhadap budaya patriakhi 
(sebagaimana yang diyakini oleh feminis liberal), maka suku-suku yang menganut 
matrilineal bisa kita jadikan sebuah pengecualian? Berangkat dari permasalahan 
tersebut, maka pada makalah ini penulis akan membahas fenomena feminisme pada 
masyarakat Minangkabau.
 Kondisi Sosial-Politik Perempuan Masyarakat Minangkabau
 Adat Minangkabau bersifat matrilineal. Dalam menentukan tempat tinggal 
suami-istri, adat Minangkabau menganut sistem matrilokal. Dalam adat 
Minangkabau, yang berkuasa dan bertanggung jawab dalam sebuah rumah tangga 
adalah ibu yang didampingi oleh mamak (saudara laki-laki ibu), sedangkan ayah 
hanya sebagai tamu. Dalam perkawinan, menurut  adat Minangkabau yang meminang 
bukan laki-laki atau keluarganya, akan tetapi pihak perempuan. Dalam pembagian 
harta warisan kaum/suku jatuh pada kepada perempuan, sementara kaum laki-laki 
tidak mendapatkan bagian apa-apa. Perempuan menempati kedudukan yang istimewa 
(Ilyas, 2006; hal 47-49).
 Garis keturunan menurut ibu, menimbulkan kecendrungan negatif bagilaki-laki di 
Minangkabau. Mereka dianggap hanyalah sebagai "pejantan", yang dinikahi oleh 
perempuan untuk menjaga eksistensi suku sang perempuan. Tapi sisi lain, 
matrilineal telah memberikan status yang jelas bagi seorang anak, bahwa ia 
adalah anak dari ibunya. Sebagaimana telah diketahui dalam masalah seksual, 
patrilineal telah menempatkan perempuan pada posisi yang rendah (belum lagi 
penderitaan dan sakit karena hamil).
 Di atas telah penulis sampaikan tentang keadaan sosial perempuan di 
Minangkabau, bagaimana dengan kedudukan perempuan di bidang politik. Dalam  
Diskusi "Memahami Sistem Matrilineal Minangkabau" 25 Desember 2007 yang lalu di 
Yogyakarta, Dr. Raudha Thaib (Budayawan Sumatera Barat), mengatakan: "Di 
Minangkabau, perempuan diperbolehkan untuk memasuki wilayah publik. Perempuan 
Minang tidak dikurung di rumah dan hanya berkecimpung di sektor domestik saja. 
Perempuan memegang peranan dalam pengambilan keputusan politik dalam kaum/suku 
dan diperbolehkan untuk menduduki jabatan publik. Dalam sejarah, Kerajaan 
Minangkabau pernah dipimpin oleh raja Perempuan, yang bernama "Bundo Kanduang". 
Hanya tiga posisi yang tidak boleh ditempati perempuan, yaitu Manti (pemimpin 
adat), Malin (pemimpin agama), dan Dubalang (pemimpin keamanan suku). Selain 
dari tiga posisi ini, perempuan dipersilahkan untuk berkiprah dan 
mendudukinya." (Diskusi Gebu Minang di Asrama Mahasiswa Bundo Kanduang
 Yogyakarta).
 Friedrich Engels: The Origin of The Family, Private Property 
 Untuk memahami hubungan matrilineal dengan  feminisme, ada baiknya penulis 
sampaikan juga di sini pemaparan Friedrich Engels tentang asal usul keluarga 
dan kepemilikan pribadi, yang sangat menginspirasi feminis sosialis. Engels 
mengatakan:
 "Sebelum keluarga, atau hubungan perkawinan, ada satu keadaan primitif 
'hubungan seksual yang permisif' yang dalam hubungan ini setiap perempuan 
adalah permainan yang adil bagi setiap laki-laki dan sebaliknya. Semua pada 
dasarnya menikah dengan semua. Dalam proses seleksi alamiah, berbagai golongan 
darah anggota keluarga perlahan dipinggirkan untuk dipertimbangkan sebagai 
patner perkawinan yang mungkin. Karena perempuan yang tersedia bagi laki-laki 
semakin lama semakin sedikit, individu laki-laki mulai secara keras menyatakan 
klaimnya atas individu perempuan tertentu sebagai hak milik mereka. Akibatnya, 
timbullah keluarga yang berpasangan, yang mengatur setiap satu laki-laki 
menikah dengan satu perempuan" (Tong, 1988).
 Engels melanjutkan:
 "Dengan menekankan bahwa ketika seorang laki-laki mengambil seorang perempuan, 
ia kemudian hidup di dalam rumah tangga si perempuan. Keadaan ini bukan sebagai 
tanda subordinasi perempuan, melainkan sebagai tanda kekuatan ekonomi 
perempuan. Karena pekerjaan perempuan adalah vital bagi kelangsungan hidup 
seluruh suku (misalnya, tempat untuk tidur, pakaian, alat-alat masak, 
peralatan) yang dapat diturunkan kepada generasi berikutnya. Masyarakat 
pasangan awal adalah masyarakat matrilineal, dengan garis hak waris dan 
keturunan ditelusuri dari garis ibu. Mungkin juga bukan hanya matrilineal, 
tetapi juga matriarkhal, masyarakat yang di dalamnya perempuan mempunyai 
kekuatan ekonomi, sosial dan politik." (Tong, 1988).
 Setelah menyampaikan tentag awal mula matrilineal dan perkembangannya, Engels 
kemudian menjelaskan proses terjadinya perpindahan matrilineal ke patriakhal:
 "Sejalan  dengan semakin dianggap pentingnya pekerjaan dan produksi laki-laki, 
bukan saja nilai dan pekerjaan dan produksi perempuan menurun, melainkan status 
perempuan dalam masyarakat juga menurun. Karena laki-laki kini memiliki sesuatu 
yang lebih bernilai daripada yang dimiliki perempuan, dan karena laki-laki, 
untuk alasan yang tidak dapat dijelaskan, tiba-tiba menginginkan anak-anaknya 
sendiri yang akan memperoleh hak milik mereka, laki-laki memberlakukan tekanan 
yang sangat besar untuk mengubah masyarakat dari matrilineal menjadi 
patrilineal. Hak ibu harus 'dihancurkan', dan dihancurkanlah hak ibu." (Tong, 
1988). 
 "Penghancuran hak-hak ibu merupakan kekalahan bersejarah perempuan dunia. 
Setelah menghasilkan dan menegaskan klaim terhadap kekayaan, laki-laki 
mengambil alih kendali rumah tangga, mereduksi perempuan menjadi 'budak' dari 
hasrat ragawi laki-laki, dan menjadi 'sekedar alat produksi anak-anak'. Dalam 
tataran keluarga baru ini,  suami berkuasa atas dasar kekuatan ekonominya. 
Laki-laki adalah borjuis, sementara istrinya merepresentasikan kaum proletar. 
Kendali laki-laki atas perempuan berasal dari fakta bahwa laki-laki, dan bukan 
perempuan, yang mengendalikan kepemilikan. Opresi terhadap perempuan akan 
berakhir hanya dengan penghancuran institusi kepemilikan pribadi." (Tong, 1988).
 Kemudian, Engels memberikan jalan keluar bagi perempuan untuk melepaskan diri 
dari kunkungan maskulin:
 "Jika istri-istri akan diemansipasi dari laki-laki, perempuan pertama-pertama 
harus menjadi mandiri dan tidak bergantung kepada laki-laki. Bahkan, syarat 
pertama bagi emansipasi perempuan adalah masuknya kembali seluruh perempuan ke 
dalam industri publik, kedua, sosialisasi pengurusan rumah tangga dan 
pengasuhan anak." (Tong, 1988).
 Setelah membaca pemikiran Engels, dapatlah kita berasumsi bahwa matrilineal 
adalah sistem masyarakat yang sangat afirmatif  memberikan ruang dan hak-hak 
kepada kaum perempuan. Namun di pihak lain, teoritisasi kontemporer, seperti 
Nozick masih memiliki perasaan pro maskulin. Dia tidak sependapat dengan 
Engels. Ia menganggap " keluarga tradisional (patriakhal) adalah adil, dan 
kemudian mengukur distribusi yang adil dalam pengertian 'pendapat rumah tangga' 
yang diterimakan kepada 'kepala rumah tangga', sehingga pertanyaan tentang 
keadilan dalam keluarga menjadi tidak mungkin." (Kymlicka, 2004; hal 331).
 Feminisme di Minangkabau
 Berdasarkan penjelasan yang disampaikan Engels, penulis melihat keadaan 
perempuan di Minangkabau telah mendapat legitimasi yang kuat dalam hal 
mendapatkan hak kepemilikan pribadi dan kebebasan berkiprah di dunia politik. 
 Meskipun asumsi Engels sangat materialistik, dengan menempatkan kekuasaan 
sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi, namun hal ini bisa 
diterima dengan melihat keadaan perpolitikan  pada saat ini terjadi, khususnya 
di Indonesia. Tak dapat dipungkiri pameo "siapa yang ber-uang, dialah yang 
berkuasa", telah menjadi "aturan dominan tak tertulis" dalam politik Indonesia. 
Kasus, banyaknya pengusaha yang menempati jabatan vital di pemerintahan dan 
partai politik semakin menguatkan realitas bahwa, terdapat korelasi positif 
antara politik dan uang.
 Engels melihat, kekalahan perempuan terletak pada kenyataan, mereka tidak 
mempunyai akses untuk memiliki property. Keluarga telah mengikat perempuan 
untuk melakukan "kewajiban moral" sebagai ibu dan istri, yang menyita sebagian 
besar waktunya bekerja di wilayah domestik (rumah. Kelelahan di rumah tidak 
memberikan peluang baginya masuk ke ruang publik.
 Kita alihkan pandangan kembali pada perempuan Minang. Perempuan Minang oleh 
adat diberikan hak property, memiliki sawah, rumah, ladang dan tanah. Dalam 
keluarga mereka sulit diintimidasi oleh suami,  karena mamak (saudara laki-laki 
dari sukunya) akan senantiasa memberikan perlindungan kepada perempuan 
tersebut. Sehingga sangat kecil kemungkinan suami bisa sewenang-wenang 
(melakukan kekerasan) terhadap istri. Jika kita hubungkan dengan solusi yang 
ditawarkan oleh Engels, bahwa perempuan harus keluar untuk memasuki industri 
publik, maka untuk konteks matrilineal Minangkabau ini tidak diperlukan lagi.
 Karena telah memiliki property yang bisa ia sewakan atau dikelola, maka 
property tersebut semakin bertambah (paling tidak tetap jumlahnya seperti 
semula). Perempuan Minang tidak mesti harus mengolah sendiri, tapi ia cukup 
menjadi manajer dari pengelolaan pertambahan asset yang dimiliki. Biasanya yang 
difungsikan sebagai pekerja untuk menambah asset tersebut adalah suami, yang 
"dijemput" oleh pihak/keluarga perempuan. Pengalaman sebagai manajer ini, bisa 
membentuk karakter kepimpinan yang pada level lebih tinggi bisa dia gunakan 
dalam wilayah  kepemimpinan politik.
 Penutup
 Ketika adat Minangkabau, telah menempatkan posisi perempuan "lebih penting" 
dari laki-laki, apakah bisa kita katakan "feminisme tidak berlaku untuk 
masyarakat Minangkabau"? Mungkin, banyak yang akan mengatakan "tidak perlu".
 Namun, menurut hemat penulis, feminisme sebagai sebuah spirit dan gerakan 
penyadaran akan posisi perempuan yang subordinat dari laki-laki, masih 
dibutuhkan oleh perempuan Minang. Ada beberapa kondisi yang menguatkan penulis 
untuk berpendapat seperti ini: (1) Perempuan Minang, karena telah diberikan 
perlakuan istimewa oleh adat, cendrung untuk bermalas-malasan, tidak memiliki 
sebuah visi menatap masa depan, kecuali keinginan untuk mendapatkan suami kaya 
dan berpangkat sehingga semakin membuat dirinya 'larut' dalam "kebahagiaan 
materi", (2) Seperti kategorisasi Engels bahwa ada perempuan borjuis dan 
proletar, maka di Minang ada juga kelas perempuan miskin  (karena sukunya 
miskin), yang tidak memungkinkan ia untuk memperoleh hak-hak property dan 
kedudukan politis istimewa di masyarakat. Bagi mereka ini, pemikiran feminisme 
masih diperlukan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya, (3) Karena 
dininabobokkan oleh hak istimewa, banyak perempuan yang merasa cukup dengan hak
 istimewa itu. Kenyataan ini membuat mereka nyaman berperan hanya di wilayah 
domestik (rumah tangga) saja, sehingga jarang yang mau berkiprah di wilayah 
publik. Hal ini dapat kita lihat pada minimnya perempuan Minang berkiprah di 
bidang politik maupun perusahaan.
 Oleh karena itu, penulis berkesimpulan, ketika kita memahami feminisme, maka 
kita tidak bisa melepaskan faktor lokalitas. Feminisme lahir bukan tanpa ada 
latar belakang sosio-historis. Kita harus secara cermat dalam membawa feminisme 
yang lahir di Barat masuk dalam pemikiran perempuan di Indonesia. Sebagai 
bentuk pemikiran brilian, feminisme harus diberikan apresiasi dengan  tetap 
kritis dalam pengimplementasikannya, terutama dalam konteks kebudayaan 
Indonesia.
 Daftar Pustaka
  
   Ilyas, Yunahar. 2006. Ketaraan Jender dalam Al Qur'an: Studi Pemikiran Para 
Mufasir. Penerbit Labda Press; Yogyakarta.
   Kymlicka, Will. 2004. Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus 
atas Teori-Teori Keadilan. Terjemahan Agus Wahyudi. Penerbit Pustaka Pelajar; 
Yogyakarta.
   Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought: Pengantar Paling 
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Terjemahan Aquarini 
Priyatna Prabasmoro. Penerbit Jalasutra; Yogyakarta.
http://grelovejogja.wordpress.com
 
  




  3vy niz
http://hyvny.blogspot.com
http://bundokanduang.wordpress.com

  

 
  

  


 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet.
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting.
- Hapus footer & bagian tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur 
pribadi.
- Posting email besar dari >200KB akan dibanned, sampai yg bersangkutan minta 
maaf & menyampaikan komitmen mengikuti peraturan yang berlaku.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]

Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke