Assalamualaikum w.w. para sanak sa palanta,
Di bawah ini saya posting dua artikel tentang kepemimpinan, yang satu di Sumatera Barat dan yang lain untuk tingkat nasional.
Sekedar untuk menjadi bahan renungan kita bersama.
 
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: [EMAIL PROTECTED];

 

Syafii Maarif Sayangkan Gamawan Enggan Jadi Gubernur Lagi

 

PadangKini.com | Sabtu, 1/11/2008, 18:06 WIB

 

PADANG--Ahmad Syafii Maarif menyayangkan keenganan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi untuk maju menjadi gubernur periode berikutnya.

"Saya sudah berkali-kali mendesak Pak Gamawan untuk menjadi Gubernur sekali lagi lah, tapi dia tidak mau, padahal dia adalah pionir dalam perang melawan korupsi secara sistematis saat masih menjadi bupati Solok 2001," kata Syafii dalam acara syukuran Penghargaan Magsaysay 2008 yang berikan Pemerintah Filipina kepadanya, di Gedung Serbaguna PT Semen Padang, Sabtu (1/11).

Syafii memuji Gamawan Fauzi yang berani menyimpang dari ‘pola umum' yang korup dan melilit Indonesia dengan melakukan terobosan birokrasi yang berani untuk melawan korupsi.

Minggu lalu, kata Syafii, ia membaca Newsweek Online yang menulis perang melawan korupsi secara terencana dan sistematis di Indonesia ternyata dimulai dari Kabupaten Solok awal abad ke-21, kemudian ditiru oleh daerah tingkat dua lainnya di Indonesia.

"Saya tidak tahu, setelah menjadi gubernur untuk menerapkan ini mungkin kendalanya banyak sekali, karena kewenangannya sudah sangat dibatasi undang-undang otonomi daerah yang banyak kelemahan itu, belum lagi dalam menghadapi raja-raja kecil di daerah, mungkin karena itu tidak mau maju lagi," kata Syafii.

Gubernur Gamawan Fauzi mengaku tidak akan maju lagi dalam Pilkada Gubernur yang akan digelar 2010.

"Saya sudah katakana kepada beliau (Syafii Maarif), tidak semua pemimpin itu punya syahwat berkuasa, saya tidak akan maju lagi, banyak konfliknya, suatu saat akan saya ceritakan," kata Gamawan.

Sebelumnya, penerima Bung Hatta Award 2005 ini sering mengeluh karena kewenangannya amat dibatasi dalam undang-undang otonomi daerah sehingga tidak punya kewenangan untuk meminta kepala daerah di kabupaten dan kota di Sumatera Barat menerapkan good government (tata pemerintahan yang baik) seperti yang pernah ia canangkan di Kabupaten Solok.

Bahkan Gamawan pernah mengatakan bahwa kewenangannya sebagai Gubernur hanya sebatas pagar kantor gubernur. (yanti)

 


 

TAJUK RENCANA

Kompas, Selasa, 11 November 2008 | 03:00 WIB

Kepemimpinan dan Kemandirian

Nasib negara-bangsa Indonesia sungguh dramatis. Ketika tangan- tangan asing pamer kekuatan dan membuat kita serba tergantung, kita justru krisis calon pemimpin.

Pernyataan mantan Ketua MPR Amien Rais mengentakkan rasa keterpurukan kita. Sejarah imperialisme berulang di Indonesia dengan bentuk yang berbeda, bahkan lebih merusak. Di antaranya 80 persen hasil minyak bumi dan setengah dari perbankan nasional dikuasai asing. Indonesia perlu seorang pemimpin nasional yang tegas terhadap neoliberalisme dan neoimperialisme.

Dari manakah pemimpin nasional dihasilkan? Dari partai politik, dari kalangan militer dan birokrat, juga dari kalangan bisnis dan dunia perguruan tinggi. Ketika kita saat ini mencari-cari, menimang-nimang atau memadik-madik calon, kita tidak bisa menyebut satu dua nama dengan mantap. Seolah-olah menghadapi pilihan serba sulit, harus menjatuhkan pilihan yang lebih baik dari stok yang tersedia. Minus malum!

Kita selalu merasakan kepemimpinan nasional dengan reserve. Benar kepemimpinan baru teruji kalau ada kesempatan, sebaliknya rekam jejak pun menjadi salah satu kriteria kepemimpinan. Tidak terpukau oleh janji-janji, pun lewat janji-janji yang bersifat advertorial.

Krisis kepemimpinan nasional pun dientakkan Prof Bernadette N Setiadi lewat pidato pengukuhan guru besarnya di bidang psikologi, 31 Oktober lalu. Mengapa pada saat kesempatan jauh lebih banyak bagi orang-orang muda kita memperoleh pendidikan, Indonesia justru sulit memenuhi kebutuhan pemimpin yang andal?

Pertanyaan itu dijawabnya dengan mengaitkan budaya Indonesia yang kolektivistis dengan power distance yang tinggi. Dalam budaya demikian, jika pemimpin dan calon pemimpin tidak memiliki integritas dan nilai-nilai yang diperlukan, mungkin ia hanya berani mengambil keputusan yang didukung kelompok-dalamnya sendiri dan bukan keputusan berdasarkan kepentingan rakyat dengan risiko kehilangan dukungan dari kelompok-dalam.

Kutipan-kutipan singkat itu menegaskan kemandirian. Untuk mandiri dibutuhkan syarat, berani mengambil risiko, tahu kekuatan dan kelemahan diri, tidak serba bergantung. Seorang pemimpin dan calon pemimpin demikian akan mendahulukan kepentingan yang lebih besar (rakyat) daripada kepentingan kelompok dan memiliki power distance yang rendah. Keberhasilan perubahan seperti ditunjukkan seorang Barack Obama, misalnya, sangat ditentukan sosoknya.

Rasa-perasaan krisis kepemimpinan nasional dalam arti kepemimpinan politik barangkali lebih rumit dibandingkan kepemimpinan perusahaan. Politik itu tidak bisa hitam putih, satu tambah satu sama dengan empat; melainkan tali-temali, penuh nuansa—dengan tetap menempatkan kemandirian sebagai batu penjuru. Dan itu tidak mudah diperoleh tanpa melihat rekam jejak sehari-hari mereka.

 ***

Kirim email ke