Tradisi Jahiliyyah Yang Mengatasnamakan Ibadah Ritual  
Rabu, 14 Mei 2008  
Oleh : Afrinaldi, Dosen STAIN Bukittinggi

Untuk konteks daerah Minangkabau kebiasaan rutinitas menjelang datangnya bulan 
puasa biasanya diiringi dengan tradisi (adat) lokal seperti acara "balimau" 
yang diyakini sebahagian banyak orang sebagai sebuah prosesi perhelatan pesta 
ramadhan. Menariknya tradisi seperti ini bukan hanya diminati kalangan 
muda-mudi saja tapi juga sudah menjadi prilaku sebahagian kalangan kaum tua. 
Secara simbolis tradisi ini memang tidak mengurangi makna hadirnya bulan 
ramadhan. Namun kehadiran ramadhan seolah-olah menguntungkan kawula muda untuk 
menghabiskan waktu dengan dalih pergi "balimau".

Amat disayangkan  tradisi "balimau" itu justru banyak merusak siar datangnya 
bulan suci ramadhan. Karena prilaku berpacaran alias kencan ditempat-tempat 
wisata seperti pantai, ngarai, kebun binatang dan objek wisata lainnya, justru 
dianggap biasa-biasa saja dalam menyonsong datangnya ramadhan. Kehadiran 
ramadhan tidak diiringi dengan proses penyadaran mental dan upaya mempersiapkan 
diri agar bisa mendapatkan keberkahan, pengampunan dan pembakaran dosa-dosa. 
Setelah ramadhan berjalan tradisi "balaimau" berganti label dengan perilaku 
sosial sering dikenal dengan istilah "asmara subuh"  yang hampir disetiap 
daerah dan kota di Minangkabau punya kemiripan dengan perilaku "balimau". 
Sehingga tak jarang perilaku sosial ini salah kaprah dan membabi buta dalam 
memaknai hadirnya ramadhan, pada gilirannya dapat merusak aktivitas rutinitas 
ibadah puasa selama ramadhan berlangsung. 

Kalau puasa hanya diyakini sebagai rutinitas ibadah tahunan pada bulan 
ramadhan, puasa tak ubahnya seperti ibadah mahdah lain seperti sholat, zakat 
dan haji. Kalau demikian, tentulah makna puasa bisa menjadi kabur karena hanya 
dianggap sebagai pesta ritual dalam mengisi semaraknya siar ramadhan. Momentum 
ramadhan sebagai bulan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) yang dihiasi dengan 
berbagai bentuk kegiatan ibadah ritual seperti ceramah agama, tadarrus 
Al-qur'an, pesantren kilat, lomba pidato keagamaan hanyalah sebagai simbol 
tradisi lokal daerah yang berpenduduk muslim. 

Artinya orang awam akan memandang ibadah ritual selama bulan ramadhan ialah 
aset lokal yang mesti dibudayakan dan dilestarikan dari tahun ketahun. Karena 
orang awam tidak melihat dari aspek substansi (isi) makna dan pesan yang bisa 
ditangkap dari keberkahan bulan suci ramadhan. Hal ini diperkuat oleh Fadhil 
Bin Asyur dalam bukunya Spirit Peradaban Islam (Ruh al-Hadharah al-Islamiyah), 
bahwa umat Islam sedang menagkap isi tetapi melupakan kulit, atau sebaliknya 
menangkap kulit dan melupakan isi. 

Berangkat dari dua pandangan di atas, maka perlu kiranya kita mendefenisi ulang 
makna puasa dengan pendekatan tafsir sosial bagi generasi Minang hari ini, 
penulis berkeyakinan perbenturan pemahaman makna siar ramadhan diakibatkan oleh 
rapuhnya sistem sosial umat Islam yang dibangun akhir-akhir ini. Mayoritas umat 
kita masih dibungkus oleh simbol-simbol ibadah ritual seperti tadarus Al-quran, 
ceramah ramadhan, pesantren kilat, tim ramadhan dan sejenisnya, ketimbang 
mencari format yang tepat mempelajari, menganalisis, mengkritisi materi, metode 
dan pengamalan (praktek) apa yang diterapkan umat  terhadap ibadah ritual di 
lapangan. 

Sebahagian kita juga masih sibuk dengan isu perdebatan fikih (hukum Islam) 
seperti melihat bulan atau tidak, sholat tarawih dua puluh tiga rakaat atau 
sebelas rakaat, baca shalawat setelah selesai sholat tarawih atau tidak, baca 
qunut atau tidak, bacaan basmallah di sir (dilunakkan) atau dijahar 
(dikeraskankan) atau tidak, sehingga memicu terjadinya konflik  paham yang 
tajam antara satu aliran dengan aliran yang lain. Bahkan lebih sadisnya lagi 
perbedaan aliran juga berpotensi untuk tidak sama-sama satu Surau, maknanya ada 
sebahagian umat yang tidak mau satu Surau karena alasan perbedaan paham. Hal 
ini tentulah amat disayangkan karena tidak mencerminkan perilaku saling harga 
menghargai dalam beribadah. 

Islam mengajarkan umatnya bahwa beda pendapat itu ialah rahmat (ikhtilafi 
ummati rahmah), tentu hikmah ini hanya bisa ditangkap oleh orang-orang yang 
berfikir bukan untuk mereka yang awam. Pertanyaan mendasar yang mesti kita 
jawab ialah perdebatan fikih yang tak kunjung selesai itu justru sudah 
terkalahkan oleh isu tradisi lokal seperti "balimau" dan "asmara subuh". Sadar 
atau tidak perilaku sosial umat hari ini dalam menghiasi siar ramadhan di pagi 
hari seperti kota dan daerah pesisir pantai dan pegunungan telah membuktikan 
pergeseran nilai (value) serta pemahaman makna puasa telah lari dari pengertian 
yang sesungguhnya. 

Lain lagi halnya tradisi lokal Pariaman dalam merayakan kemenangan bulan 
ramadhan (idul fitri) bagi penganten baru yang ingin mengajak masyarakat 
kampungnya "barayo"  ke rumah sang istri. Dalam praktek yang kita temukan 
dilapangan hampir merata prosesi "barayo" dimeriahkan dengan pesta makan-makan 
plus dengan minum-minuman keras. Bahkan lebih jahiliyahnya tradisi itu, 
sebahagian tamu yang diundang tidak akan mau menghadiri acara "barayo" kalau 
tuan rumah (penganten baru) tidak menyediakan minum-minuman keras. Prosesi adat 
"barayo" kalau tidak dilaksanakan bisa mengancam interaksi sosial sang 
penganten baru dengan masyarakat kampungnya. 

Sehingga bisa berakibat kepada "pengucilan sosial" karena dianggap tidak loyal 
kepada rekan-rekan mereka sekampung. Hal ini berlaku bagi mereka yang nikah 
dikampung dan pada hari raya idul fitri juga sedang berada dikampung, tapi 
tidak berlaku bagi sang penganten baru yang sedang berada diperantauan. 
Fantastis, idul fitri sebagi simbol kemenangan ramadhan justru dinodai dengan 
perilaku kotor yang mengatasnamakan prosesi ibadah ritual dibungkus dengan 
tradisi "barayo". 

Dari perilaku sosial yang menjangkiti generasi Minang hari ini bermula dari 
tradisi "balimau" sebagai upaya penyambutan ramadhan, kemudian diganti dengan 
tradisi "asmara subuh" dalam bulan suci ramadhan dan dilanjutkan dengan tradisi 
"barayo" di Pariaman ialah merupakan tradisi lokal jahiliyah yang sarat dengan 
perbuatan bid'ah bahkan sudah terang-terangan melegalkan perbuatan maksiat. 

Sudah saatnya kita sadar dan tidak lagi mempertajam perdebatan soal fikih, tapi 
yang mesti diperdebatkan kedepan ialah bagaimana menyelamatkan aset tradisi 
lokal Minang tanpa harus mengatasnamakan ibadah ritual keagamaan sebagai simbol 
pelegallan tradisi sosial menyimpang alias tradisi jahiliyyah ini tetap exis 
dan bisa langgeng dari tahun ketahun. Kiranya perlu kita para alim ulama, 
mubaliqh, ilmuwan dan cendikia, cadiak pandai, pemuka masyarakat, tokoh adat 
dan pemerintah daerah (Pemda) duduk bersama untuk merumuskan konsep/panduan 
bagi umat agar tidak terjebak oleh siklus setan yang mengatasnamakan tradisi 
jahiliyyah sebagai prosesi ibadah ritual menyambut, mengisi dan merayakan 
kemenangan bulan suci ramadhan. Wallahu a'lam bissawaab. (***) 

© 2008 PADANG EKSPRES - Koran Nasional Dari Sumbar 

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Hindari penggunaan reply utk topik/subjek baru
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]

Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke