Assalam.
Wr. Wb…

 
Satalah mambaco-baco a nan di
lewakan Kakanda emerde,
wakatu lalu: “Ambo maraso heran kalau ado urang nan ba pandapek ABS-SBK hanyo
slogan sajo, sampai di minta untuak diuji coba sagalo macam. Apo mukasuiknyo tu
?” (Mar 26 07:05PM +0700).
Sakironyo yang di ateh hanyo
ditulis saroman itu sajo, dinda alah pulo mambaco tulisan Riwayat At-Tubani: 
Erosi Moralitas di Minangkabau: “.... ADAT BERSANDI SYARA
SYARA’ MANGATO ADAT MAMAKAI (ABS-SMAM), PADAHAL SIMBOLISASI ADALAH
EKSISTENSI DARI PENUMPUKAN FRUSTASI, KEBOSANAN, IMPIAN-IMPIAN DALAM BENTUK
LAMBANG RETORIKA, SIMBOL-SIMBOL BERUPA KATA-KATA MANIS, JANJI-JANJI PIDATO,
RETORIKA PERNYATAAN, YANG KETIKA DIUJI BUKTI PELAKSANAANNYA DAN AKSINYA HANYA
OMONG KOSONG BELAKA,” (2008: 3).
 
Dari itulah dinda barusaho marogoh
kocek dan barusaho pulo manyilami tulisan nantun, tantunyo sajauh pemahaman
nanda, jikok panjang tantu mintak diuleh, subaliknyo bilai-mambilai. 
“Apa
yang menyatakan kekuatan kata atau slogan,
Kekuatan
yang mampu menegakkan atau meruntuhkan tatanan sosial,
Adalah
keyakinan akan legitimasi kata-kata itu,
Dan
orang yang mengucapkannya.”
(Pierre
Bourdieu)
 
ABS-SMAM,
Penumpukan Frustasi, Kebosanan, dan lain-lain?
ABS-SMAM sejatinya tidaklah sama
dengan yang ditulis At-Tubani di atas. Logikanya, apakah mungkin suatu undang
yang dibungkus apik dengan isi yang bernas/ajaran filsafat tinggi serta
didukung Usul Fiqh itu dapat dikatakan sebagai penumpukan frustasi, dan
semacamnya? Hanya karena melihat latarbelakang dari beberapa peristiwa a-moral: 
setiap tahun
154 gadis diperkosa, setiap bulan kurang dari 12 gadis yang diperkosa. Menurut
AKBP Drs. Arum Priyono (Kabid Humas Polda Sumatera Barat) meningkat 50persen 
setiap tahun. Selanjutnya kejahatan seksual terjadi 42 kasus,
perbuatan cabul 35 kasus, melarikan anak gadis dibawah umur sebanyak 33 kasus,
perzinaan 13 kasus, persetubuhan dengan anak dibawah umur sebanyak 3 kasus, 
(At-Tubani:
2008: 86).
Maka, terkait dengan tulisan di
atas, di sini penulis sengaja melihatnya dengan kekuatan bahasa itu sendiri
sebagai simbol dalam mengatur tata-laku dalam kehidupan Minang. 
 
1.
Semiotika
Semiotika sebagaimana dijelaskan
Saussure, adalah “ilmu yang mempelajari peran tanda sebagai bagian dari 
kehidupan
sosial.” Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, serta
relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat. Oleh sebab itu,
semiotika mempelajari relasi antara komponen-komponen tersebut dengan
masyarakat penggunanya.
Dalam hal ini,
ada berbagai prinsip yang sangat mendasar pada pemikiran Saussure mengenai
teori semiotika: Pertama,  prinsip struktural. Saussure
memandang relasi tanda sebagai relasi struktural, yang di dalamnya tanda dilihat
sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material, yang oleh Roland
Barthes—sebagai penerus Saussure—disebut penanda (signifier) dan sesuatu yang 
bersifat
konseptual, yang disebut petanda (signfled). Dalam kaitan inilah,
semiotika yang dikembangkan Saussure bisa disebut semiotika struktural dan
kecenderungan ke arah pemikiran strukturini disebut strukturalisme.
Strukturalisme dalam semiotika
tidak menaruh perhatian pada relasi kausalitas antara suatu tanda dan causa 
prima-nya,
antara bahasa dan realitas yang direpresentasikannya, melainkan pada relasi
secara total unsur-unsur yang ada di dalam sebuah sistem (bahasa).
Sehingga yang diutamakan bukan lah unsur itu sendiri, melainkan relasi di
antara unsur-unsur tersebut. Apa yang disebut makna tidak dapat ditemukan
sebagai bagian intrinsik dari sebuah unsur, melainkan sebagai akibat dari
relasi total yang ada dengan unsur-unsur lain secara total.
Kedua, prinsip kesatuan. Sebuah tanda merupakan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara bidang penanda yang bersifat
konkrit atau material (suara, tulisan, gambar, objek) dan bidang penanda
(konsep, ide, gagasan, makna) seperti dua sisi dari
selembar kertas yang tak mungkin dipisahkan. Meskipun penanda yang abstrak dan 
non-material
tersebut bukan bagian intrinsik dari sebuah penanda, akan tetapi bagi Saussure
ia dianggap hadir (present) bersama-sama penandanya yang konkrit, dan
kehadirannya adalah absolut. Dengan demikian, ada kecenderungan metafisik pada
konsep semiotika Saussure, di mana sesuatu yang bersifat non-fisik
(petanda, konsep, makna, kebenaran) dianggap hadir di dalam sesuatu yang
bersifat fisik (penanda).
Ketiga, prinsip konvensional.
Relasi struktural antara sebuah penanda dan petanda, dalam hal ini,
sangat bergantung pada apa yang disebut konvensi, yaitu kesepakatan
sosial tentang bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas bahasa. Hanya
karena adanya konvensi yang memungkinkan tanda memiliki dimensi sosial, dan
dapat digunakan di dalam wacana komunikasi sosial. Sebab, tanpa konvensional 
tidak
akan ada komunitas bahasa, dan tidak akan ada komunikasi. Tanda disebut 
konvensional,
dalam pengertian, bahwa relasi antara penanda dan petandanya disepakati sebagai
sebuah konvensional.
Keempat, prinsip sinkronik.
Keterpakuan pada relasi struktural menempatkan semiotika struktural sebagai
sebuah kecenderungan kajian sinkronik, yaitu kajian tanda sebagai sebuah
sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap konstan, stabil dan
tidak berubah. Semiotika struktural yang dengan demikian, mengabaikan dinamika,
perubahan, serta transformasi bahasa itu sendiri di dalam masyarakat. Penekanan
semiotika struktural pada apa yang disebut Saussure langue (atau
sistem bahasa) oleh beberapa pemikir dianggap telah melupakannya pada sifat
berubah, dinamis,
produktif, dan transformatif dan parole (penggunaan bahasa
secara aktual dalam masyarakat).
Kelima, prinsip representasi.
Semiotika struktural dapat dilihat sebagai sebuah bentuk representasi, dalam
pengertian sebuah tanda merepresentasikan suatu realitas, yang menjadi rujukan
atau referensinya. Sebuah tanda bunga, misalnya, mewakili sesuatu
di dalam dunia realitas, sehingga hubungan tanda dan realitas lebih bersifat
mewakili. Dengan perkataan lain, keberadaan tanda sangat bergantung pada
keberadaan realitas yang direpresentasikannya. Realitas mendahului sebuah
tanda, dan menentukan bentuk dari perwujudannya. Ketiadaan realitas berakibatkan
logis pada ketiadaan tanda.
Keenam, prinsip kontinuitas.
Ada kecenderungan pada semiotika struktural untuk melihat relasi antara sistem
tanda dan penggunaannya secara sosial sebagai sebuah continuum,
yang dalam konteks semiotika dapat disebut sebagai semiotik continuum, yaitu
sebuah relasi waktu yang berkelanjutan dalam bahasa, yang di dalamnya berbagai
tindak penggunaan bahasa selalu secara berkelanjutan mengacu pada sebuah sistem
atau struktur yang tidak pernah berubah, sehingga di dalamnya tidak
dimungkinkan adanya perubahan radikal pada tanda, kode dan makna. Perubahan
hanya dimungkinkan secara sangat evolutif, yaitu perubahan kecil pada berbagai
elemen bahasa, sebagai akibat logis dari perubahan sosial itu sendiri,
(Pillang, 2003: 45-46).
Agaknya inilah yang dimaksud Lacan sebagai
‘penanda utama.’ Cara-cara penanda itu berfungsi sebagai pembawa identitas
kita, agar bisa dengan mudah dilihat dari reaksi kita saat seseorang mencoba
untuk merusak salah satu penanda pembawa identitas
kita (misalnya mengecilkan sebuah penanda yang membawa identitas keluarga, 
nasional,
etnis atau rasial kita), (Bracher, 2009: 34). 
Penanda utama adalah salah satu
unsur utama yang membuat suatu diskursus berminat pada suatu subjek. Karena
penanda utama adalah penanda yang diletakkan subjek pada identitasnya—pada
setiap penanda diidentifikasikan seorang subjek (atau melawannya) dan dengan
demikian membentuk nilai-nilai positif (negatif)—maka hal-hal ini lah yang
membuat sebuah pesan menjadi bermakna, yang membuat mereka bisa memberikan
dampak, bukannya menjadi seperti bahasa asing yang tidak mereka pahami.
Seperti yang dikatakan Lacan,
penanda utama mampu memberikan kekuatan sebesar itu di dalam pesan karena
peranan yang mereka mainkan di dalam menstrukturkan subjek—khususnya dalam
memberikan perasaan tentang identitas dan arah kepada subjek. Akan tetapi,
fungsi pemberi identitas pada sebuah penanda utama pada akhirnya
secara kualitatif tidak berbeda dengan fungsi-fungsi penanda lainnya.
Karena papar Lacan, sebuah penanda adalah sesuatu yang mewakili suatu
subjek bagi penanda lainnya.
Konsekuensi yang diberikan
pengertian tentang penanda bagi telaah kebudayaan ini cukup besar. Saat kita 
bertemu
dengan subjek manusia lainnya, jika ini memang benar-benar wakil kita, penanda 
kita yang
melakukan komunikasi dan melakukan negosiasi satu sama lain, jika perwakilan ini
berjalan bersama, maka dari satu sisi nasib saya sebagai
seorang subjek sedang dipertaruhkan. Yaitu, bahwa yang terjadi pada rasa
mengada atau identitas kita banyak ditentukan oleh hal-hal yang terjadi pada
penanda yang mewakili kita—penanda utama kita—khususnya persekutuan yang mereka
bentuk dengan dan pertarungan yang mereka lakukan dengan penanda lainnya.
Sebab itu, sebuah hasrat dasar yang
memberikan motivasi kepada semua subjek dalam upaya mereka menerima budaya
adalah hasrat narsistik pasif agar penanda pembawa identitas ini
bisa diulang. Upaya-upaya mengulangi penanda utama kita berlangsung secara
terus-menerus, bukan hanya di dalam semua diskursus verbal kita, tetapi juga
dalam perilaku kita. Kita bisa melihat dengan jelas upaya untuk melakukan
pengulangan ini saat kita berperilaku dalam
berbagai cara yang mengejawantahkan penanda-penanda utama ini
(seperti ‘maskulin’ atau ‘feminin’, ‘adil’, jujur’, ‘cerdik’, ‘cantik’, atau
‘kuat’) dan dengan demikian mengungkapkan, baik secara tersirat maupun tersurat
pengakuan dari Liyan.
Sedangkan
dalam diskursus agama, penanda utama kolektif lainnya adalah kata-kata seperti
‘Tuhan’, ‘setan’, ‘dosa’, ‘surga’, ‘neraka’, dan dalam diskursus politik
dipakai istilah-istilah seperti ‘orang Amerika’, ‘kebebasan’, ‘demokrasi’, dan
‘komunisme.’ Penanda-penanda
semacam itu, serta nama diri kita, memberi kita semacam rasa substansial,
bermakna dan nyaman saat kita berupaya untuk bergaul (atau melawan mereka) di
mata Liyan dan memuaskan hasrat narsistik pasif dalam tatanan simbolik.
Dengan demikian, penanda utama
terkait dengan sebagian besar kekuatan pendorong, baik yang bersifat instan
maupun yang bertahan lama, yang datang dari diskursus cara utama yang dilakukan
budaya saat bekerja dalam hasrat tatanan simbolik, adalah dengan cara
memberikan kesempatan atau mencegah kita menikmati pemuasan narsistik pasif di
dalam lingkungan diskursus yang dikendalikan oleh penanda utama kita. Seperti
yang telah kita lihat, yang kita cari adalah dominasi berulang semua penanda
yang mewakili kita.
Diskursus yang menawarkan dominasi ini biasanya
adalah yang memberi kita rasa aman dan nyaman, bahwa eksistensi kita itu
penting. Sebaliknya, diskursus yang tidak mampu menjamin adanya pertemuan yang
memberi keyakinan membangkitkan perasaan terasing dan cemas serta tanggapan
agresi—termasuk penolakan diskursus atau sikap tidak peduli terhadapnya.
Pengaruh ini
paling jelas kelihatan dalam tanggapan kita terhadap hinaan yang sampai pada
kita yang sering
mengena langsung pada identitas seksual, ras, etnis, agama, atau politik kita,
(Bracher, 2009: 35-37).
Sepanjang yang dipaparan di atas, masihkah kita beranggapan seperti
yang digambarkan saudara RAT terdahulu? Namun jika kita masih bertanya-tanya
dengan simbol atau tanda dan penanda tersebut, bersambung di ‘episod’ yang
akan datang…
 
 


________________________________

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://rantaunet.wordpress.com/2011/01/01/tata-tertib-adat-salingka-palanta-rntaunet/
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.


Kirim email ke