Curhat Keluarga Mr Syafruddin Prawiranegara di Hari Bela Negara

 Padang Ekspres • Rabu, 19/12/2012 11:59 WIB • FAJAR RILLAH VESKY -
Limapuluh Kota

[image: Keluarga Syafruddin Prawiranegara bersama AM Fatwa dan pengurus YPP
PDRI.]

*Keluarga pahlawan nasional Mr Syafruddin Prawiranegara jelas mensyukuri
ditetapkannya PDRI sebagai Hari Bela Negara dan diakuinya Mr Syafruddin
Prawiranegara sebagai pahlawan nasional. Biar begitu, masih ada kerisauan
dirasakan keluarga pencetus PDRI ini, seperti apa?*



*Kerisauan *itu terlihat jelas ketika *Padang Ekspres*bertemu de­ngan
Aisyah Prawiranegara, putri su­lung Mr Syafruddin Prawiranegara, di
Payakumbuh, Selasa (18/12) malam.



”Kami bersyukur, dengan telah ditetapkannya PDRI sebagai Hari Bela Negara
dan diakuinya Mr Syafruddin Pra­wiranegara sebagai  pahlawan na­sio­nal.
Namun kami juga memohon se­­­kali, meminta pemerintah, mer­e­habi­li­tasi
pejuang PDRI yang kemu­dian ter­libat dalam PRRI,” kata Aisyah.



Saat menyampaikan permo­honan­nya kepada pemerintah suara Aisyah ter­dengar
bergetar. Bola matanya ber­kaca-kaca. Mantan Wakil Ketua MPR 2004-2009 Andi
Andi Mapetahang Fat­wa atau AM Fatwa yang berada di sam­pingnya, bersama
tokoh mas­yara­kat Sumbar Brigjen (Purn) Purn Adi­tiawarman Thaha dan
Sekretaris YPP PDRI Nur­berita Ben Yuza, nampak ter­diam.

Seakan tidak puas, Aisyah Prawira­negara yang akrab disapa Teh Icah
kem­bali menegaskannya pernya­taan­nya. “Kami, keluarga Mr Syafruddin
Pra­wiranegara, memohon kepada pe­merintah.



Tolonglah, tolong dilihat PDRI dan PRRI itu dengan jernih. Mohon kembalikan
hak-hak mereka yang terlibat PDRI dan PRRI,” ujarnya dengan nada



Tidak lama, nada suara Teh Icah terdengar keras lagi. Dia menyebut, sangat
zalim jika para pejuang dan masyarakat yang terlibat PDRI ataupun PRRI
tidak direhabilitasi oleh pemerintah. “Tolong, kembalikan hak-haknya.
Terutama hak-hak para tentara yang dipecat karena terlibat PRRI. Ini
negara, negara apa. Negara hukum loh ini. Kasihan mereka yang telah
berpuluh tahun dipecat sebagai TNI karena terlibat PRRI,” ujarnya.



Menurut Teh Icah, para tokoh atau masyarakat yang terlibat PRRI, terutama
para prajurit TNI, sebenarnya hanya mengikuti komandan. “Kalau komandannya
PRRI, anak buah otomatis PRRI. Oleh karena itu, sekarang waktunya
merehabilitasi mereka. Bukan hanya membikin monumen,” ujar Teh Icah yang
datang ke Payakumbuh bersama adiknya Rasyid Prawiranegara dan putrinya
Jasmine.



Teh Icah melanjutkan, kalaupun saat ini dibangun Monumen Nasional Bela
Negara atau Monumen PDRI, jangan terlalu memporsir anggaran negara.
“Uangnya itu, janganlah *gede-gede*. Karena saya yakin, Pak Syafruddin
tidak menghendaki itu. Yang paling penting saat ini adalah kesejahteraan
rakyat. Pemerintah, lihatlah nasib rakyat Sumatera Barat,” timpalnya.



Saat menyebut nasib Sumatera Barat, suara Teh Icah kembali terdengar
bergetar. “Saya pernah pergi ke Kabupaten Solok Selatan. Saya lihat, gedung
sekolah, Ya Allah, lihat tahun 1950-an kayak gitu, sekarang juga kayak
begitu. Bangunannya belum diperbaiki. Komputernya tidak ada. Bagaimana mau
bersaing dengan sekolah-sekolah di pusat,” tukuknya.



Selain di Solok Selatan, Teh Icah juga melihat, daerah-daerah basis PDRI
lainnya di Sumbar, seperti Sumpurkudus, Halaban, Padangjopang, Kotokociak,
Kototinggi juga belum mendapat sentuhan dari pemerintah. “Makanya, selain
meminta agar hak-hak pengikut PDRI dan PRRI direhabilitasi. Kami juga
minta, orang-orang yang tadi memberi makan kepada pejuang PDRI atau PRRI,
juga sama-sama kita rehabilitasi,” ujarnya.



Soal adanya kajian atau analisisi menyebut PRRI sebagai pemberontakan,
sehingga sulit merehabilitasi para pelakunya, Aisyah tidak yakin, PRRI
sebagai pemberontakan. “Ayah saya, tidak pernah menandatangani
pemberontakan. Itu koreksi atas ketimpangan pembangunan. Tolonglah dilihat
dengan jernih,” kata Teh Icah.



Menimpali Aisyah Prawiranegara, politisi nasional AM Fatwa yang merupakan
salah satu ’murid’ Syafruddin Prawiranegara dan sama-sama pernah dibui
rezim Soeharto, menilai, persoalan merehabilitasi pelaku PDRI yang terlibat
pergolakan PRRI dan masuk meluruskan sejarah PRRI, merupakan tugas
pemerintah dan para sejarawan.



“Untuk persoalan PRRI ini, sebenarnya tugas sejarawan untuk meluruskannya.
Karena persoalan PRRI ini bukan masalahnya pemerintahan SBY sebagai kepala
negara, tapi pada masa Pak Harto juga belum bisa diluruskan. Ini merupakan
beban bagi kepala negara dan bagi kita semua,” kata bekas Staf Khusus
Menteri Agama tersebut.



Diakui AM Fatwa, sampai sekarang, memang masih ada diskusi antara para
sejarawan dengan ahli hukum, terkait pergolakan PRRI di Sumatera Barat, di
mana para pelakunya mayoritas adalah pejuang PDRI. Am Fatwa sendiri juga
pernah terlibat ’debat kusir’ dengan TB Silalahi yang pernah bertugas di
Dewan Gelar dan Tanda Jasa Kehormatan.



“Waktu itu, ada penganugerahan gelar pahlawan di Istana Negara, sebelum
Natsir mendapat anugerah pahlawan nasional. Saya tanya soal Natsir dan
PRRI. TB Silalhi keberatannya praktis saja. Dia bilang kepada saya,
senior-senior saya yang dulu ditugaskan negara untuk menumpas PRRI dapat
tanda jasa atau bintang, dikemanakan tanda jasa atau bintang itu (kalau
PRRI diakui, red). Apakah dibuang atau dicabut,” ujar Fatwa menirukan TB
Silalahi.



Mendengar itu, Fatwa menjawab, tidak perlu dicabut. Sebab, siapa pun tidak
dapat membantah, kalau saat itu mereka yang dapat tanda jasa dan tanda
bintang karena menumpas PRRI, juga menjalankan tugas negara. Kini,
meluruskan sejarah PRRI juga menjadi tugas negara.



“Begitu saya mengatakan demikian, TB Silalahi menyebut, kalau begitu akan
menjadi beban sejarah dan beban negara. Saya katakan, ya, akan menjadi
beban negara. Tapi saya yakin, setelah PDRI ditetapkan sebagai Hari Bela
Negara, Syafruddin dan Natsir sebagai pahlawan nasional. Persoalan PRRI
ini, nantinya juga akan terang,” ulas AM Fatwa.



Di sisi lain, sejarawan dari Universitas Negeri Padang Profesor Mestika Zed
kepada *Padang Ekspres*beberapa waktu lalu mengatakan, PRRI yang dicetus Mr
Syafruddin Prawiranegara dan sering dianggap sebagai pemberontakan oleh
pemerintah, sebenarnya reformasi *avant le latere *alias reformasi yang
kelewat dini.



“Klaim PRRI terhadap pusat ternyata dibenarkan oleh sejarah yang lebih
kemudian. Buktinya, tuntutan PRRI agar PKI dibubarkan, baru terlaksana pada
masa Orde Baru. Sedangkan tuntutan PRRI soal otonomi yang lebih luas,
terlaksana pada era reformasi,” kata jebolan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta dan Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda tersebut.



Terkait fakta sejarah apakah PRRI, pemberontakan atau bukan. Mestika yang
asli putra Batuhampar, Limapuluh Kota mengatakan, hal itu tergantung pada
pengertian dan titik pandang yang digunakan.  Kalau pemerintah, memang
sejak semula menggunakan kata “pemberontakan” terhadap PRRI. Karena itu
dipandang inkonstitusional dan bahkan dituduh sebagai gerakan saparatis dan
petualangan pribadi.



“Namun pandangan semacam itu, menurut Yamin, kecuali ’dangkal tetapi juga
menyesatkan’. Negara ini, negara hukum (Rechtstaat) dan bukan negara
undang-undang (Wetstaat). Antara keduanya terdapat perbedaan tajam. Yang
pertama mengandung penilaian kepantasan (Waardeeringsordeel) dan kesadaran
hukum tak tekrulis (Rechtsbewustzijn). Sementara yang kedua, legal-formal
dan *procedural *yang semata-mata bersandar pada teks yang tertulis,” kata
Mestika.



Berdasar bukti-bukti yang tersedia, sambung Mestika yang merupakan Direktur
Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi UNP, tidak ada maksud PRRI untuk
mendirikan negara dalam negara. Juga tidak ada tuntutan untuk menggulingkan
pemerintah, kecuali mengajukan pemerintahan tandingan di Jakarta yang
dianggap sudah inkonstitusional.



“Daerah bergolak tetap menghormati Soekarno sebagai Presiden RI. Tidak ada
satu pun lambang negara yang diubah. Bagaimana pun juga daerah bergolak
merasa berhak memberi peringatan terhadap pusat meskipun ilegal. Tetapi
demi perubahan ke arah yang lebih baik demi kepentingan nasional,
adakalanya tindakan ilegal dapat dibenarkan sebagaimana terjadi dalam
banyak kasus sejarah bangsa kita,” kata Mestika.



Mestika menilai, representasi ketidakpuasan nasional yang dimunculkan di
daerah bergolak, yang didukung pemimpin nasional dan lokal dari berbagai
aliran, sipil dan militer, pemuda dan rakyat kebanyakan. PRRI, koreksi
untuk bangsa atas perlakukan yang tidak adil. “Jika mau, bangsa ini tak
perlu menyebut PRRI sebagai pemberontak,” tegasnya.



*PDRI Award*

* *

Di sisi lain, kehadiran putra-putri Syafruddin Prawiranegara, yakni Aisyah,
Rasyid, Farida dan Chalid ke Sumatera Barat pada Minggu ini, dilakukan atas
undangan pengurus YPP-PDRI di Payakumbuh dan pengurus YPP-PDRI di
Bukittinggi, untuk menghadiri acara penganugerahan PDRI Award dan simposium
di gedung Tri Arga Bukittinggi.



“Kami membagi kekuatan. Saya dan Rasyid ke Payakumbuh, menghadiri acara YPP
PDRI. Tapi saya tidak hadir ke acara peletakan batu pertama Monumen
Nasional PDRI di Kototinggi, karena tidak diundang. Sedangkan Chalid dan
Rasyid, menjadi pembicara simposium yang digelar Pemko Bukittinggi dan
pengurus YPP PDRI di sana,” kata Aisyah.



Terkait acara YPP PDRI Award, Aisyah menilai, acara tersebut pantas
didukung untuk menggemakan Hari Bela Negara. Hal serupa juga disampaikan Am
Fatwa. “Awalnya, saya sempat bingung juga dengan PDRI Award. Saya pikir,
diberikan oleh Pemprov Sumbar, ternyata oleh yayasan. Tapi tidak apa-apa,
itu kan juga hak yayasan untuk memberikan penghargaan, dengan klasifikasi
dan penilian yang mereka tentukan,” kata Am Fatwa.



Sementara, Sekretaris YPP PDRI 1948-1949 Nurberita Ben Yuza dan Ferizal
Ridwan menyebut, penyerahan PDRI Award akan dilakukan pihaknya di Hotel
Bundo Kanduang, Payakumbuh, Rabu (19/12) siang ini. Semula, memang
direncanakan, PDRI Award akan diberikan, selepas upacara militer peringatan
Hari Bela Negara di Kototinggi. Namun karena kondisi cuaca dan waktu tidak
memungkinkan, akhirnya lokasi acara dipindahkan.



“Atas nama YPP PDRI, kami mohon maaf atas perubahan agenda penyerahan PDRI
Award ini. Namun, kami dapat pastikan, PDRI Award akan diserahkan langsung
oleh putra-putri Mr Syafruddin Prawiranegara. Sejumlah tokoh penerima PDRI
Award, sudah mengonfirmasi kehadirannya kepada kami. Kalau tidak hadir,
kami akan antarkan langsung kepada mereka,” ulas Ferizal.



Selain PDRI Award, peringatan Hari Bela Negara di Sumbar juga akan diwarnai
dengan peletakan batu pertama pembangunan Monumen Nasional Bela Negara di
Kototinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, pada Rabu
(19/12) pagi ini. Peletakan batu pertama itu, direncanakan dihadiri
sejumlah menteri. *(**)*



[ Red/Administrator ]

*http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=38399*

-- 
*
*
*Wassalam

*
*Nofend St. Mudo
36Th/Cikarang | Asa Nagari Pauah Duo Nan Batigo - Solok Selatan
Tweet: @nofend <http://twitter.com/#!/@nofend> | YM: rankmarola
*

-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/



Kirim email ke