Selasa, 20 September 2011 04:11

Setiap tahun, kita me­nyak­sikan fenomena yang sama di Indonesia,
yakni orang-orang kembali ke kampung halaman masing-masing. Istilah
yang dipakai adalah mudik. Yang terjadi adalah perpindahan sejumlah
ma­nusia dalam jumlah besar untuk sementara, dari kota (rantau) ke
desa (ranah). Perpindahan yang tak mudah, justru di era kemajuan
sarana trans­portasi. Kalau benar-benar tidak beruntung, perpindahan
itu juga berarti perjalanan menuju kematian atau minimal cacat seumur
hidup.

Sudah banyak ulasan kenapa mudik menjadi bagian dari tradisi
masyarakat Indonesia. Menurut data Kementerian Perhubungan RI, jumlah
pemudik tahun 2011 diperkirakan 15,4 Juta jiwa. Tidak semua berhasil
mudik, karena meninggal di jalanan atau masuk rumah sakit. Angka yang
tewas lebih dari 500 orang, setengah dari korban gempa Sumbar 2009.
Ada juga yang meninggal setelah balik ke kota, akibat kelelahan
menempuh perjalanan panjang.

Tradisi mudik juga membawa berkah bagi daerah. Uang yang mengalir
diperkirakan mencapai Rp. 61 Trilyun. Atau hampir 100 kali lipat APBD
Kab Padang Pariaman yang berjumlah Rp. 795 Milyar. Dengan cara seperti
ini, sekali dalam setahun terjadi proses pengembalian uang ke daerah,
setelah sepanjang tahun uang daerah disedot pusat. Keunikan ini tentu
diluar transfer yang dilakukan para perantau kepada keluarganya di
kampung.

Sumatera Barat menjadi salah satu daerah yang memiliki kesibukan
istimewa dalam setiap kali lebaran. Orang-orang di rantau biasanya
akan pulang, sekalipun kurang dari seminggu. Kerinduan akan ranah
disimpan sepanjang tahun, bahkan bertahun-tahun. Kegagalan atau
keberhasilan di rantau menjadi ukuran dari seberapa sering pulang
kampung. Siapapun anak rantau yang pulang dijadikan panutan, apalagi
kalau berhasil membawa sejumlah anak kampung lain untuk ikut merantau.
Tali kekerabatan yang kuat membuhul hubungan-hubungan ekonomi yang
khas.

Sudah lama diketahui bahwa perantau Minangkabau menguasai pasar-pasar
tradisional di sejumlah daerah, misalnya Medan, Pekanbaru dan Jakarta.
Masalahnya, secara nasional, pasar-pasar tradisional mengalami
penyusutan jumlah dan besaran. Super market dan mini market kini
menguasai hampir setiap pengkolan jalan. Tidak salah kalau ada yang
mengatakan bahwa orang Minang itu selangkah lebih maju dari orang
Tionghoa. Kenapa? Di depan ruko atau toko orang-orang Tiong­hoa,
terdapat dagangan kaki lima orang-orang Minang.

Semula, hanya dengan menjadi pedagang, perantau Minang bisa mengisi
sektor pekerjaan yang tidak semua suku bangsa Indonesia mampu
melakukannya. Daerah-daerah baru biasanya menarik para perantau untuk
betul-betul beradu untung. Lama-kelamaan, proses ini berlanjut dengan
menetap di daerah-daerah itu, membentuk komunitas, bahkan
melangsungkan perkawinan dengan penduduk setempat. Orga­nisasi para
perantau berkembang dengan baik, sebagai bagian dari upaya
mem­pertahankan soliditas kelompok.

Dalam era demokrasi, para perantau ini masuk ke lembaga-lembaga
demokrasi, terutama di daerah-daerah yang memang mayo­ritas. Jadi,
semakin banyak anggota legislatif di suatu daerah di luar Sumbar yang
diisi oleh orang-orang Minang. Kemampuan dalam adu argumentasi di
pasar-pasar, beralih ke lembaga-lembaga demokrasi. Sebagian yang lain
masuk dalam komunitas keagamaan, sehingga terkenal sebagai alim-ulama
yang mumpuni. Perkembangan ini terjadi dalam jalinan tahun dan abad.

Minang tidak lagi sekadar Mi­nang, melainkan Minang menjadi bagian
(penting) keindonesiaan. Sejumlah politisi, sekaligus intelektual,
asal Minang muncul sebagai pemberi saham atas bangunan keindonesiaan
awal. Sekarang, mereka berada di banyak daerah, sebagai bagian dari
komunitas keindonesiaan yang sedang terombang-ambing dalam pertaruhan
demokrasi melawan otoritarianime.

Dari paparan itu, terlihat bahwa Minang tidak (lagi) hanya sebagai
komunitas ekonomi, melainkan juga politik, keagamaan, bahkan
mengha­silkan banyak negarawan besar. Orang Minang tidak hanya sekadar
mencari kehidupan duniawi berupa keber­hasilan secara ekonomi,
melainkan ju­ga menggali terus kehidupan ke­negaraan dan akherat.
Sekalipun adat tidak bisa dibawa ke rantau, dalam bentuk yang sama
persis, namun sebagai identitas kultural terus di­per­tahankan dalam
bentuk kegiatan se­ni dan budaya di rantau masing-masing.

Dan semua hal itulah yang dibawa kembali ke ranah, ketika mudik. Ada
yang positif, ada juga yang negatif. Yang negatif, misalnya, membawa
minum-minuman keras dan bahkan narkoba untuk dikonsumsi di area-area
publik seperti tepi pantai. Ada juga yang tipis telinganya, sehingga
mudah menunjukkan “Siapa Saya” (Sia Aden) dalam senggol-senggolan di
acara kendurian (baralek).  Yang positif, tentu menebarkan ilmu
pengetahuan yang didapat di rantau untuk dicerna masyarakat di ranah,
dengan beragam tafsiran masing-masing.

Ranah kini haus dengan beragam informasi dari rantau. Tidak sekadar
informasi, tetapi juga ilmu penga­tahuan dan metode-metode baru dalam
menyelesaikan begitu banyak masalah di ranah. Ranah yang dihantam oleh
beragam serbuan informasi mentah, setengah mentah ataupun mengada-ada
lewat media televisi, memerlukan nilai-nilai tersendiri untuk
menyaring dan mengendalikannya. Ranah yang dahaga ini layak diberikan
kesegaran baru, berupa air minum ilmu pengetahuan yang tak lekang oleh
panas, tak lapuk oleh hujan.

Kenapa terbalik? Bukankah selama ini ranah menyediakan segalanya? Nah,
kita perlu mere­nungkan baik-baik. Bukankah rantau juga sedang
kemarau, dengan sema­kin marginalnya pasar-pasar tradi­sional,
misalnya? Di titik ini terdapat esensi perlunya sinergi ranah dengan
rantau yang sama-sama dahaga, sama-sama kekeringan, agar ranah tak
hilang, rantau tak mela­yang, dilamun oleh tsunami krisis
multi-dimen­sional dalam skala yang lebih luas. Semoga…


INDRA J PILIANG
(Ketua Ikatan Alumni SMA 2 Pariaman)

http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8674:dahaga-ranah-kemarau-rantau&catid=12:refleksi&Itemid=82
-- 



Wassalam
Nofend/34+ CKRG

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke