Muchlis Awwali — Dalam sebuah tulisan yang berjudul ‘Perempuan dalam Budaya Patriarki’ karya Nawal El Saadawi dikatakan, penindasan, eksploitasi dan tekanan sosial yang dialami perempuan bukan ciri bangsa Arab atau Timur Tengah atau negara-negara dunia ketiga.
Semuanya merupakan bagian yang integral dari sistem politik, ekonomi dan budaya yang berpengaruh besar hampir diseluruh dunia. Kalimat ini merupakan kesimpulan dari penulis bahwasanya ketermajinalan perempuan di Timur Tengah bukanlah disebabkan oleh pengaruh agama. Tetapi lebih disebabkan faktor kepentingan yang diciptakan suatu sistem yang mayoritas dipegang laki-laki yang diperkuat dengan kebudayaan patriakatnya. Menurut para ahli kebudayaan, kebudayaan di dunia ini dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu kebudayaan yang berdasarkan garis keturunan menurut garis keturunan laki (patrilineal) dan kebudayaan yang berdasarkan garis keturunan menurut garis perempuan atau matrilineal (dalam Alisyahbana, 1983). Selanjutnya, dikatakan, masyarakat yang keturunannya ditarik dari garis laki-laki pada umumnya hidup dari perburuan dan kemudian peternakan. Masyarakat ini biasanya bersifat dinamis, karena suka berpindah-pindah mencari makanan dan juga makanan hewan peliharaannya. Kepindahan ini sangat memungkinkan terjadinya perubahan kebudayaan. Sebaliknya masyarakat yang garis keturunannya berdasarkan garis perempuan merupakan masyarakat dan kebudayaan bersifat stabil. Tugas laki-laki melakukan perburuan dan mengumpulkan makanan, kemudian hasilnya dibawa pulang. Pada fase ini perempuan tinggal di rumah mengurusi anak-anaknya. Sambil menunggu kedatangan suami perempuan melakukan berbagai macam aktifitas, salah satunya bercocok tanam. Bibit tanaman mereka peroleh dari sisa-sisa makanan. Pola kehidupan semacam ini merupakan upaya perempuan untuk meringankan beban laki-laki dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Sementara itu, bagi laki-laki sendiri keaktifan perempuan ini memberi kelonggaran pula pada mereka untuk lebih leluasa beraktivitas di luar rumah. Dalam perkembangannya kedua kebudayaan ini memberi orientasi dalam membentuk garis keturunan sebuah masyarakat. Masyarakat yang pola kehidupannya dimulai dari masa berburu dan peternakan akan melahirkan garis keturunan patrilineal, karena laki-laki memegang peranan dalam mengatur rumah tangganya. Sedangkan masyarakat yang pola kehidupannya dimulai dengan berburu dan bercocok tanam cenderung garis keturunannya matrilineal. Masyarakat yang menganut garis keturunan laki-laki cenderung menempatkan laki-laki sebagai pengatur dalam kehidupan ini. Sebaliknya pada garis keturunan perempuan tidak dapat dikatakan bahwa perempuan dapat mengatur laki-laki. Hal ini disebabkan tidak ditemukan sistem matriakat itu berlaku seratus persen dalam garis keturunan perempuan. Berdasarkan dua bentuk garis keturunan di atas, maka salah satu etnis yang masih bertahan dengan garis keturunan perempuan adalah masyarakat Minangkabau. Menurut Hamka bahwa masyarakat Minangkabau itu bercirikan.1) Tersusun atas garis ibu. 2) Yang menjadi puncak di dalam rumah adalah nenek perempuan. 3) Harta pusaka dicari dan diusahakan untuk memperbesar harta suku. 4) Hasil usaha dan pencarian orang laki-laki adalah untuk kemenakannya. 5). Suami tidak wajib memberi nafkah kepada istrinya. 6) Penghulu hanya berkuasa menjaga harta kaum saja dan memeriksa penggunaan dan pengurusannya dengan pihak luar. 7) Mamak-mamak, tunganai-tunggai dan penghulu tidak berhak membawa hasil harta ke rumah istrinya. 8) Sumando tidak boleh campur tangan di dalam rumah istri dan anaknya. 9) Bila anak akan dikawinkan oleh mamak atau tungganai dan penghulu, orang tuanya (ayahnya) hanya diberi tahu. Merujuk pada pemikiran di atas, maka dapat diasumsikan, ciri-ciri tersebut tidak lepas dari pola kebudayaan berburu dan bercocok tanam yang membentuk sistem matrilineal di Minangkabau. Di mana peranan perempuan dalam keluarga lebih dominan jika dibandingkan dari laki-laki. Peranan ini tidak semata-mata dalam bentuk tanggung jawab terhadap keturunannya, tetapi juga menjalar sampai pada kepemilikan harta. Kepemilikan ini bersumber dari keaktifan perempuan dalam memanfaatkan sisa-sisa makanan tadi. Sebaliknya, laki-laki hanya memperoleh beban tanggung jawab untuk menjaga harta serta memperbanyak harta tersebut. Secara tradisional proses ini terus membudaya sampai ia berumah tangga. Itulah sebabnya peranan laki-laki diibaratkan seperti ‘kaluak paku kacang balimbiang, tampuruang lenggang-lenggokkan, baok manurun ka Saruaso, anak dipangku kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan, tenggang kampuang jaan binaso’. Maksudnya kehadiran laki-laki dalam sebuah kaum masih tetap dipertahankan, meskipun ia sudah berumah tangga. Tanggung jawab ini tidak saja berlaku secara sosial, tetapi juga berlaku secara finansial. Laki-laki dalam konteks ini berada pada posisi mendua, artinya ia memegang dua peranan sekaligus. Yakni sebagai kepala rumah tangga dan juga sebagai pelindung kaum. Ke depannya budaya ini mulai mengalami perubahan. Banyak faktor yang mendorong terjadi perubahan ini. Namun, salah satu faktor penyebab signifikan adalah tuntutan kebutuhan hidup yang tidak memungkinkan lagi untuk melakukan peran ganda tersebut. Bagi mereka yang status ekonominya berada pada posisi kelas menengah ke atas, peran ganda tersebut masih dapat dilaksanakan. Sebaliknya, bagi mereka yang kurang beruntung perekonomiannya maka konsekuensi yang harus diterima adalah kurangnya rasa penghargaan dari kaumnya. Fenomena sosial semacam ini yang pernah dikatakan Hamka dalam romannya Tenggelam Kapal Van der Wijk yang bunyi ‘kalau tidak ranggas ditanjung cumenak ampaian kain, kalau tidak emas dikandung dunsanak jadi orang lain’. Jika disimak dari realita kekinian apa yang dikatakan Hamka tersebut ada juga benarnya. Bahwasanya penghargaan orang lain pada diri seseorang sudah mulai beralih pada bentuk kekayaan materi. Pepatah ‘nan kuriak kundi nan merah sago, nan elok budi nan indah baso’ sudah mulai digeser oleh pepatah ‘dek ameh sagalo kameh, dek padi sagalo jadi’. Kenyataan ini tidak dapat terbantahkan, orang baik itu hanya menjadi buah bibir segelintir orang di kampungnya. Persoalan ini sering dialami laki-laki Minangkabau yang ‘hiduiknya marasai’. Di kaum ia sering mengalami nasib ‘baibo hati’ jika berhadapan dengan acara-acara yang membutuhkan banyak biaya. Perasaan ini akhirnya membuat mereka rendah diri dalam menghadapi kaumnya sendiri. Ibaratnya ia sarupo anjiang mangapik ikua dalam kehidupannya. Sementara itu, bagi mereka yang kaya di bidang materi dan berjabatan akan dikenal oleh semua orang, meskipun sipembicara sendiri tidak pernah bertemu dengan orang bersangkutan. Meskipun, sistem matrilineal Minangkabau memberikan fasilitas pada perempuan dalam masalah penggunaan harta pusaka. Namun kekuasaan untuk mengendalikan harta pusaka tetap menjadi haknya laki-laki, yakni mamak kapalo waris. Dalam rapat kaum perempuan seringkali menjadi pendengar terbaik. Kondisi ini terjadi bahkan sebelum datang dan berkembangnya Islam ke Minangkabau kehidupan. Bahwasanya perempuan tetap berada di bawah dominasi laki-laki. Malah setelah kedatangan Islam peranan dan kekuasaan laki-laki dalam keluarga dan kaum semakin kokoh. (Prodi Minangkabau, FIB Unand) | December 22, 2014 7:40 am http://hariansinggalang.co.id/laki-laki-dalam-budaya-matrilineal/ -- *Wassalam* *Nofend St. Mudo37th/Cikarang | Asa: Nagari Pauah Duo Nan Batigo - Solok SelatanTweet: @nofend <http://twitter.com/#!/@nofend> | YM: rankmarola * -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.