Berkunjung Ke Museum POLRI, Membuat Anak-anak Enggan Beranjak Pulang
Awal mengajak anak-anak ke Museum POLRI bersama komunitas Wikimu, sempat terlontar protes dari Sisco (salah satu dari anak kembar saya), “Males ah, nanti kami sendiri yang anak-anak…” Tapi setelah dibujuk akan berkenalan dengan polisi dan polwan, mereka agak antusias. Pada hari H, tiba-tiba keponakan saya Harrison juga muncul, dia ingin mengajak anak-anak saya bermain ke mal. Diajak ikut ke museum tidak menarik baginya. Tapi kali ini semua orang dewasa yang ada di rumah Opa lebih mendukung kami pergi ke museum. Ketika tampaknya dia terpaksa harus tinggal di rumah sendirian, ia lalu menelpon orang tuanya minta izin ke museum. Tentu saja disetujui… Sebenarnya agak takut juga membawa anak-anak ke Museum POLRI, apalagi anak model si kembar yang tidak bisa diam itu. Apalagi saya sendiri belum pernah mengunjungi Museum tersebut sehingga tidak memiliki bayangan apa yang bisa saya ceritakan di sana. Jadilah saya berjanji kalau kami tidak akan lama di sana. Begitu memasuki Museum POLRI, di sebelah kiri pintu masuk tampak sebuah mobil patroli polisi yang berisi tiga anak bule. Dua anak yang duduk di depan menggunakan seragam polisi lengkap dengan topinya. Mulailah anak-anak saya merubung mobil tersebut, dan entah bagaimana asal mulanya…tiba-tiba tiga anak itu berkejar-kejaran dengan anak saya. Rupanya Sisco menjadi target operasi “polisi” yang berseragam itu. Jadilah dia dikejar dan dipojokkan di sudut ruangan. Acara kejar-kejaran masih berlanjut sampai akhirnya dua orang pria yang ternyata menemani mereka, memanggil anak-anak itu untuk berganti pose. Melihat teman-teman barunya bergaya di atas motor Harley Davidson keluaran tahun 1943, anak-anak saya juga sudah mau memanjat motor tersebut. Takut kalau benda pamer yang boleh dinaiki terbatas pada mobil sedan di depan itu, saya minta izin dulu kepada beberapa polwan muda yang berjaga di meja penerima tamu. Rupanya museum ini memang ingin menerapkan suasana interaktif dengan anak-anak, jadilah anak-anak bebas bergaya di sana. Saya sendiri sangat tertarik pada patung dari Dolorosa Sinaga yang berdiri di tengah lobi penerima tamu. Patung ini disebutkan sebagai perlambang semangat dan citra baru profesionalisme polisi Indonesia untuk mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat. Om Bayu tampaknya cukup pandai menerangkan isi museum ini, mulai dari peralatan rahasia ala James Bond 007 sampai keberadaan uang palsu sitaan. Dia juga menemani anak-anak yang masih ingin kembali ke lantai tiga tapi agak seram dengan suasana benda pamer yang banyak bom tersebut. Sayang sekali ruang audio visual sedang tidak memutarkan film, sehingga mereka hanya memasuki ruang kosong. Ketika menemui area Kid’s Corner di lantai dua, anak-anak saya segera berebut tempat di depan komputer. Ray menemukan permainan detektif Sherlock Holmes and segera sibuk bermain. Harrison, dengan tidak terduga, tampak jauh lebih antusias dengan segala benda pamer dan banyak bertanya kepada Om Bayu. Terus terang saya agak heran, dan terpikir apakah hal itu karena dia berasal dari sekolah internasional, bukan dari sekolah nasional seperti anak-anak saya. Memang dari pengalaman saya menjadi relawan pemandu di Museum Nasional, anak-anak dari sekolah internasional lebih kritis dalam bertanya di museum daripada anak-anak dari sekolah nasional plus ataupun dari sekolah nasional. Bisa jadi anak saya juga terlalu sering mengikuti saya ke museum-museum sehingga beberapa hal mereka persepsikan sendiri. Hal ini terpikir ketika dalam perjalanan pulang mereka berdebat bahwa polisi yang ada di sana palsu semua (memang ada patung-patung seukuran manusia, tapi yang dimaksud adalah beberapa polisi yang sedang berkunjung). Harrison lalu menjawab, “Tidak, polisi yang tadi benar-benar polisi. Tadi saya tanya, dan katanya sudah bertugas selama sepuluh tahun sebagai polisi.” Mungkin juga anak-anak saya terkecoh karena pada acara di Museum Bank Mandiri dan Museum Sejarah Jakarta mereka biasa bertemu dengan "petugas" bersepeda onthel yang menurut mereka memakai seragam polisi zaman dahulu. Di Kid’s Corner saya menemukan banyak buku menarik, beberapa bacaan merupakan bacaan bagi remaja yang bisa juga dinikmati oleh orang dewasa. Sayang penempatan buku-buku ini kurang teratur, tetapi mungkin juga bila terlalu rapi akan berkesan seperti perpustakaan dan membuat anak-anak sungkan untuk mengambil dan membacanya. Menurut salah seorang polisi yang ada di sana, ada juga Kid’s Corner yang lebih besar di bilangan Jakarta Barat. Tampaknya pojok untuk anak-anak ini memang bisa digunakan untuk memperkenalkan sisi lain dari polisi, dan bisa jadi menjadi awal ketertarikan anak-anak ini untuk mengabdi kepada bangsa di kemudian hari. Anak saya juga terheran-heran karena melihat bahwa polisi juga memiliki kapal seperti yang pernah mereka naiki ketika berkunjung ke KRI Tanjung Nusanive 973. Wah rupanya mereka tidak tahu kalau AURI dulu juga punya kapal laut. Akhirnya justru anak-anak yang tadinya setengah terpaksa ikut perjalanan saya ini yang tidak mau pulang. Mereka masih betah dan ingin berpose lagi (hm….korban facebook nih!), bahkan semua ruangan mereka periksa termasuk Ruang RS Soekanto di lantai satu yang namanya diambil dari nama Kapolri pertama. Ruang ini dahulu merupakan ruang menerima tamu, tampak ruang tersebut dan toiletnya terawat rapi dan bersih. Si kembar tertarik pada mesin ketik tua yang ada di atas meja. Mereka juga terpukau melihat keris yang ditempatkan berpasangan dengan boomerang, terdapat di salah satu meja kecil di ruangan ini. Museum yang berdiri atas inisiatif Kapolri Jendral Polisi Drs. Bambang Hendarso Danuri, M.M. dan diresmikan pada tanggal 1 Juli 2009 itu agak sulit pencapaiannya dengan kendaraan pribadi karena posisi pintu masuk di jalur lambat dan kurang menonjol gerbangnya. Tetapi sambutan petugas jaga sangat baik, dan mempermudah masuknya kendaraan, sehingga tidak ada sedikitpun kesan menakutkan untuk mengunjungi museum ini. Satu hal lain yang sebenarnya tidak mengganggu bagi rombongan saya, tapi bisa jadi dibutuhkan bagi pengunjung yang berkebutuhan khusus atau lansia adalah bantuan ramp ataupun elevator. Hal ini masih sangat umum dilupakan oleh museum-museum di Indonesia, terutama karena biasanya museum merupakan pengalihan fungsi bangunan tua. Walaupun rekan-rekan Wikimu yang bergabung hari itu sangat sedikit, tapi acara kali ini sangat berkesan bagi anak-anak dan keponakan saya. Mudah-mudahan di kesempatan yang lain lebih ramai lagi… -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/