Kompas Selasa, 28 Februari 2012 OLEH RIKI DHAMPARAN PUTRA
Nagari-nagari ataupun kota-kota dengan tradisi dan kesenian yang megah hingga hari ini bermula dari satu budaya sederhana yang di wilayah Sumatera Barat atau Melayu disebut taruko (teroka), yakni budaya merambah hutan sebagai wilayah permukiman baru ataupun untuk kepentingan bercocok tanam. Kalau teori evolusi masyarakat mengurut perkembangan masyarakat dari masyarakat pemburu ke masyarakat bercocok tanam, budaya taruko dapat dikatakan sebagai budaya yang lahir pada evolusi kedua setelah masa berburu. Artinya, budaya meneroka merupakan monumen awal dalam dua transisi, yakni dari budaya memburu ke budaya masyarakat agraris dan seterusnya. Dari agraris menuju masyarakat kota yang memiliki beragam hasrat dan kegilaan sebagaimana ciri kita hari ini. Dalam pola agraris, tanah hasil taruko tersebut diwariskan sebagai tanah pusaka secara turun-temurun. Tanah ini bersifat informal dan milik bersama yang dalam satu ungkapan adat disebutkan: "Airnya yang boleh diminum, buahnya yang boleh dimakan, tanah tetap tinggal". Tanah dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando" (tidak boleh dijual dan tidak boleh digadaikan). Terlihat adanya komitmen lingkungan yang kuat di sini terhadap tanah-tanah yang diperoleh dari hasil merambah hutan. Dan biasanya batas-batas perambahan itu ditetapkan pula dalam aturan-aturan adat yang tak boleh dilanggar. Dalam perkembangannya kemudian, tanah-tanah "taruko" itu tidak hanya menjadi tanah ulayat perladangan, tetapi juga berkembang menjadi hunian yang ramai, menjadi nagari, desa atau kota: dari teratak menjadi koto, lalu berkembang menjadi nagari. "Tebang musnah" Sejalan dengan waktu, aspek agraris dari budaya taruko itu mengandung pula dimensi-dimensi politis di dalamnya. Seperti fungsi pengelolaan konflik yang diakibatkan oleh persaingan kekuasaan sebagaimana tecermin dalam banyak hikayat ataupun legenda yang menceritakan asal-usul suatu negeri. Namun, hal yang menarik dalam budaya taruko ini adalah karena mengisyaratkan pula mentalitas pembangunan budaya kontinental kita yang "tebang musnah". Sebagaimana pernah disitir oleh sastrawan (alm) Umar Khayam dalam sebuah esainya, mentalitas pembangunan "tebang musnah" ini sudah menjadi mentalitas warisan yang tecermin dalam kisah pewayangan. Dalam babad alas Wanamarta, misalnya, diceritakan penolakan makhluk halus penghuni alas Wanamarta terhadap rencana Pandawa yang hendak menjadikan rimba itu sebagai kota besar. Penolakan itu tentu didasari atas pertimbangan-pertimbangan keseimbangan ekologi, keselamatan flora fauna, dan penghuni habitat hutan lainnya. Sayangnya, dalam babad alas Wanamarta ini, perlawanan ekologi itu tiada berarti. Alas Wanamarta yang tadinya begitu kaya dengan flora dan fauna serta jutaan penghuni habitat hutan lainnya harus musnah digantikan oleh tempat pembuatan senjata, kamp tentara, dan sumber-sumber logistik untuk mendukung rencana Pandawa merebut kembali Hastina Pura dari tangan Kurawa. Puak yang penebang Menurut Umar Khayam, watak "Tebang Musnah" dalam Babad Alas Wanamarta itu merupakan ciri mental dari pembangunan modernisme Indonesia semenjak zaman kolonial, yang terus menguat sampai Orde Baru. Oleh karena itu, kita tidak heran manakala pembangunan banyak sekali menyebabkan kerusakan dan kehancuran budaya. Dan anehnya, mentalitas seperti itu semakin mengental di masa reformasi ini. Berubahnya tanah ulayat menjadi tanah bersurat (kepemilikan pribadi), dan hutan lindung menjadi hutan perkebunan berskala besar adalah sebagian bukti saja, yang menunjukkan bahwa dalam kebijakan pembangunan kita, aspek kebersamaan dan keselamatan ekologi tak pernah menjadi pertimbangan. Dalam model pembangunan "tebang musnah" ini, tentu tak ada beda lagi antara Pandawa dan Kurawa. Karena semangat pembangunan itu sendiri telah menjadikan setiap puak sebagai kaum "penebang" dan selalu ada yang dikorbankan dalam proses itu. Masalahnya, apakah masyarakat mempunyai suatu mekanisme budaya untuk memelihara akibat-akibat pembangunan itu? Inilah pertanyaan yang kerap muncul dalam wacana "pembangunanisme" di era kontemporer ini. Pada saat reformasi berlangsung menggantikan Orde Baru, banyak orang berharap akan lahirnya kebijakan-kebijakan pemulihan setelah pembangunan. Namun, harapan itu sirna manakala proses-proses politik dalam masa reformasi ternyata malah memperparah keadaan. Alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) kian tak terbendung. Sebagai contoh, untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit saja, hingga saat ini sudah mencapai lebih dari 25 juta hektar, yang alih-alih menciptakan perbaikan ekonomi rakyat kecil, sebaliknya melahirkan konflik agraria yang berkepanjangan dan merugikan rakyat jelata. Monopoli negara atas hutan ini mendapat saingan dari rakyat yang juga merasa mempunyai hak. Kelompok-kelompok perambah pun bermunculan dan melakukan klaim atas wilayah-wilayah yang telah diklaim oleh pengelola perkebunan atas izin negara. Masalahnya bukanlah siapa yang benar, melainkan dalam proses rebutan klaim itu, perhatian terhadap kelangsungan ekologi dan budaya terabaikan sehingga apa pun akhir dari cerita ini, lingkungan dan kebudayaan tetap menjadi korban. RIKI DHAMPARAN PUTRA Penyair dan Pemerhati Masalah Sosio-Budaya, Menetap di Jakarta http://cetak.kompas.com/read/2012/02/28/02281085/hikayat.peneroka.dan.tanah. puak -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/