Lagu Lancang Kuning sudah demikian akrab di telinga orang Melayu serantau Nusantara. Di negeri asalnya Provinsi Riau dan Kepulauan Riau lagu itu bahkan seakan jadi lagu wajib pada setiap acara berbau bu-daya. Tapi siapa pen-ciptanya, banyak pendapat tentang itu. Ada yang menyebut Lancang Kuning diciptakan H. Sulaiman Sjafe'i asal Palalawan kemudian dipopulerkan Tengku Naziruddin Alfahmi sekitar tahun 1960-an. Namun karena sudah merakyat semuanya seakan sepakat menga-kui Lancang Kuning sebagai lagu rakyat.
Boleh jadi benar Lancang Kuning diciptakan seniman dari Palalawan. Maklum, lancang, berarti perahu, biduk atau sampan berukuran sedang atau setidaknya lebih kecil dari kapal dalam persepsi awam. Di sepanjang aliran Batang Kampar yang bermuara ke arah Palalawan dikenal banyak jenis sampan itu. Diantaranya disebut perahu kajang, ukuran 2 x 20 meter beratap daun palam merupakan alat transportasi dari Pelabuhan Koto Baru, pelabuhan utama Minangkabau bagian timur menuju Selat Malaka sekitar abad sekitar abad 18 hingga awal abad 20. Hasil perkebunan, hasil tam-bang dan hasil hutan Minangkabau dikum-pulkan di Sarilamak, kini ibukota Kabupaten Limapuluh Kota, kemu-dian diangkut meng-gunakan kuda beban ke Pangkalan Kotabaru. Christine Dobbin dalam buku Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Su-matera Tengah, 1784-1847 INIS, Jkt 1992 mencatat pedagang Pangkalan kemudian menggunakan perahu kajang mem-bawa komoditi tersebut melayari Batang Mahat masuk ke Batang Kampar terus ke Taratak Buluh, Kuntu, Lipat Kain, Pangkalan Kerinci, Pangkalan Kuras, Pangkalan Kapas, Pangkalan Indarung, Palalawan sampai ke Kuala Kampar di bibir Selat Melaka. Di Pangkalan Kotobaru, pelabu-han yang pernah mengalahkan pela-buhan Muara Padang, hasil hutan dijual kepada pedagang dari Arab, India, Inggris, Amerika dan Cina atau diteruskan ke Penang dan Melaka pelabuhan yang dibangun Inggris tahun 1786. Untuk mengua-sai jalur perdagangan inilah penjajah Belanda membangun jalan raya Kelok Sem-bilan dari Sarilamak ke Pang-kalan Kotobaru tahun 1932. Pem-bangunan jalan itu diteruskan ke Taratak Buluh berlanjut ke Logas mengerahkan tenaga kerja paksa. Itu sebabnya jalan pertama dari Sumate-ra Barat ke Riau tak langsung ke Pekan-baru melainkan ke Taratak Buluh. Sejarah boleh dikisahkan panjang lebar. Namun buat saya lirik lagu Lancang Kuning yang terkesan diinspirasi pelayaran dari Kuala (muara) Kampar ke Selat Malaka itu mengandung pesan universal. Simak liriknya, lancang kuning berlayar malam - haluan menuju ke laut dalam - kalau nakhoda kuranglah paham - alamat kapal akan tenggelam. Lancang Kuning perahu beru-kuran sedang tidaklah teramat perkasa untuk menghadang lautan. Apalagi berlayar malam, tentu tanpa lampu penerangan da n alat navigasi secanggih sekarang. Kemudian kata yang dipilih adalah laut dalam bukan laut luas atau laut lepas. Itu mengi-syaratkan apabila tenggalam di laut dalam tentulah akan lesap tak berbekas. Maka nakhoda lancang kuning mestilah arif, waspada dan berhati-hati sekali. Sedikit saja sempat singit, lancang kuning akan terbalik dan karam. Nakhoda mestilah arif membaca bintang, petunjuk dari langit atau gerak angin agar tak nyasar tanpa arah. Nakhoda yang tak arif membaca situasi, tak bijak meng-hadapi keadaan, tentulah kapalnya akan tenggelam. Kearifan dan hikmah adalah indra keenam bangsa Melayu . Tiap sub etnis Melayu mengung-kapkan-nya dengan berbagai sitilah. Di Minang-kabau kearifan itu disebut tahu jo ampek. Dan, seperti umum orang Melayu kearifannya selalu dilhami ajaran Islam. Seperti di Minangkabau diungkapkan dalam pribahasa syara mangato adat memakai. Lirik lagu Lancasng Kuning tampaknya diilha-mi hadits Nabi Muhammad SAW, yang me-nga-takan apabila sesuatu diserah-kan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulang kehancurannya. Kini Batang Kampar dan sungai-sungai lain di Riau tak dilayari perahu dan sampan. Lalulintas angkutan sungai sudah beralih ke angkutan darat. Sungai-sungai pun pada kering sejak hutan ditebangi dan kayu untuk dijadikan perahu kian sulit didapatkan. Meski demikian negeri ini belum kehabisan nakhoda. Kini para nakhoda adalah para pe-mimpin dan para kepala daerah. Jika mereka menghayati makna lirik Lancang Kuning tentulah mereka berhati-hati, arif dan bijaksana menjalankan jabatan dan kekuasaannya. Jiak mereka me-mahami Lancang Kuning tentulah mereka tak akan pernah lancang tangan. Sebab, sekali salah ber-tindak dan salah menentukan arah rakyat dan aset daerah taruhannya. Sekali mereka salah mengambil kebijakan, alamat kapal akan tengge-lam, dan berpuluh-puluh tahun rakyat menderita akibatnya. (*) H. FACHRUL RASYID HF Senin, 14 Februari 2011 04:56 http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=158 1:pesan-lancang-kuning&catid=12:refleksi&Itemid=82 Wassalam Nofend/34+/M-CKRG => MARI KITA RAMaIKAN PALANTA SESUAI DENGAN VISI-NYA!! Forum komunikasi, diskusi dan silaturahmi menggunakan email ini sangat dianjurkan selalu dalam koridor topik: yang berhubungan dengan Ranah Minang, Urang Awak di ranah dan rantau, Adat dan Budaya Minangkabau serta Provinsi Sumatera Barat. -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/