Demokratis dalam mendidik anak-anak, Natsir selalu menyampaikan
pesan-pesannya dengan tersirat.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127
679.id.html

"Orang yang pakai jilbab itu adalah sebaik-baiknya muslimah. Tapi yang tidak
pakai jilbab jangan dibilang enggak baik."

Pernyataan itu datang dari Mohammad Natsir. Pejuang Islam yang gigih itu
menyampaikan pandangannya tentang jilbab kepada sejumlah pelajar yang datang
ke kantor Dewan Dakwah pada awal 1980-an. Ketika itu pemerintah melarang
murid mengenakan jilbab di sekolah. Sejumlah pelajar menentang aturan itu
dan berujung ke pengadilan. Yusril Ihza Mahendra, bekas Menteri Sekretariat
Negara, yang dijuluki Natsir Muda, menjadi pembelanya.

"Mereka berkeras soal jilbab. Kalau tidak berjilbab dianggap tidak baik,"
Yusril berkisah kepada Tempo. Natsir pun menegur para pelajar yang
dinilainya cenderung meremehkan orang Islam tak berjilbab. "Saya tidak
melihat manusia dari jilbab," kata Natsir seperti dituturkan Yusril.

Natsir, sang pejuang. Dia dikenal sebagai pendidik yang keras, tapi moderat
dan demokratis dalam menerapkan ajaran Islam. Dia tidak mewajibkan jilbab
kepada istri dan anak-anaknya. Nurnahar, istri Natsir, seperti laiknya orang
Melayu dan umumnya warga Masyumi. Sehari-hari dia tampil berkebaya panjang
atau baju kurung tanpa kerudung. Ketika menghadiri acara keluarga atau
melayat, Natsir baru mengingatkan Nurnahar agar berkerudung.

Mengingatkan pun, menurut Sitti Muchliesah atau Lies, putri sulung Natsir,
tidak dalam bentuk perintah. Aba, panggilan anak-anak kepada ayahnya, cukup
berkata, "Kamu kan muslimah." Kalimat pendek ini langsung dipahami keempat
anak perempuan Natsir.

Dalam berpakaian, Natsir hanya mengharuskan anak-anaknya berbusana santun.
Itu artinya, tidak bercelana pendek dan berbaju you can see alias baju tak
berlengan. Satu kali, Lies mengenakan blus pendek tanpa lengan. Aba tak
menegur langsung. Dia hanya berpesan kepada Ummie, panggilan istrinya, "Beri
tahu Lies jangan pakai yang kependekan."

Masih soal pakaian, ada kenangan yang berkesan bagi Anies, putri Lies, cucu
pertama Natsir. Satu kali, sepulang kuliah, Anies mampir ke rumah kakeknya
di Jalan Cokroaminoto. Dia datang mengenakan rok mini yang sedang jadi mode.
Tatkala hendak pulang, Natsir memberinya uang sambil berkata, "Ini untuk
beli celana panjang." Teguran halus.

Sekalipun keempat putrinya telah menunaikan ibadah haji, Natsir tak memaksa
mereka mengenakan jilbab. "Menurut Aba, berjilbab itu harus dari diri kita,"
tutur Lies, yang kini berusia 72 tahun.

Natsir juga tidak melarang keluarganya bergaul dengan non-muslim. Bergaul
dengan teman-teman lelaki pun diizinkan sang ayah. "Kami boleh nonton
bioskop asal rame-rame, paling telat pulang pukul 10 malam."

Dalam salah satu surat kepada anak-istrinya, Natsir mendorong kelima anaknya
aktif di organisasi kepemudaan. Misalnya Himpunan Mahasiswa Islam atau Pandu
Islam. Organisasi, menurut dia, dapat menjadi taman pendidikan yang
melengkapi apa yang tidak didapat di sekolah. "Aktif berorganisasi akan
memberi bekal masa depan," begitu pesan Aba dalam surat yang dia tulis tepat
pada usianya yang ke-50, 17 Juli 1958.

Sikap demokratis Natsir tampak jelas di meja makan. Dia mengizinkan
anak-anaknya berdebat apa saja, meskipun kadang Ummie tidak berkenan karena
perdebatan mengganggu suasana makan. "Aba suka tersenyum menyimak perdebatan
kami," kata Lies. Suasana seperti ini tanpa disadari telah membentuk dan
mempengaruhi cara berpikir kelima anak Natsir. "Khususnya menghadapi
tantangan hidup," Lies melanjutkan.

Pada masa penjajahan Jepang, sekolah Pendidikan Islam (Pendis) yang
didirikan Natsir di Bandung ditutup. Dia lalu membentuk madrasah di rumah
adik iparnya di Jakarta. Selain anak-anaknya, masyarakat di sekitar madrasah
ikut serta menjadi murid. Natsir juga mengajak teman-temannya menjadi ustad
dan ustadzah. "Setiap sore kami mengaji dan belajar tentang Islam," kata
Lies, yang dikaruniai tiga putra-putri.

Bagi Natsir, pesantren atau madrasah bukanlah satu-satunya sistem pendidikan
yang bisa menghasilkan orang beriman. Pesantren, menurut Natsir, dapat
menelurkan orang berakhlak tetapi buta terhadap perkembangan dunia. Padahal,
Islam mendorong umat mencapai kemajuan lahir batin, dunia dan akhirat.

Itu sebabnya dia tidak melarang anak-anaknya aktif berkesenian. Lies
diizinkan mengikuti pementasan sandiwara di sekolahnya, SMA 1 Boedi Oetomo.
Entah kenapa, ketika sandiwara yang disutradarai Koentjoroningrat itu hendak
dipertunjukkan untuk umum di Gedung Kesenian Jakarta, Aba melarang Lies ikut
serta. "Saya kecewa tapi berusaha memahami keputusan Aba," tutur Lies, yang
bersuamikan Agus Alwi yang juga berasal dari Minang, Sumatera Barat.

Di mata anak-anaknya, ia selalu menyampaikan pesan secara tersirat. Dia juga
orang yang berpikiran jauh ke depan. Sewaktu tinggal di Jakarta, Aba
melarang anak-anaknya belajar berenang. "Kami memahami, pakaian renang
selalu minim," kata Lies. Tapi, ketika tinggal di Maninjau, Sumatera Barat,
Aba menyuruh anak-anak belajar berenang di danau. "Belakangan kami mengerti,
di danau kami sekaligus belajar menghadapi bahaya yang tidak akan ditemui di
kolam renang," kata Aisyahtul Asriah, putri keempat Natsir.

Natsir, sang pendidik. Dia tak begitu setuju anak-anaknya bekerja di
perusahaan milik negara maupun swasta. Natsir lebih suka anak-anaknya
menggeluti dunia pendidikan. Toh, dia tak bisa berbuat banyak ketika Hasnah
Faizah, putri ketiganya, berganti haluan dari asisten dosen di Jurusan
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia, menjadi staf
sebuah badan usaha milik negara.

Di kemudian hari, keluarga paham mengapa Natsir tak begitu suka anak-anaknya
bekerja di perusahaan. "Aba khawatir, sifat kami berubah karena bekerja di
perusahaan yang mengutamakan keuntungan," kata Aisyah. Menurut Aba, hal itu
bisa mempengaruhi hubungan di rumah. Waktu bersama keluarga menjadi
berkurang. Padahal, bagi Aba, Aisyah mengenang, makan sebaiknya bersama
keluarga setidaknya sekali dalam sehari.

Sebagai Vice President World Muslim Congress, yang bermarkas di Karachi,
Pakistan, dan anggota Majelis Ta'sisi Rabithah Alam Islami, yang berpusat di
Mekkah, Natsir bisa berangkat haji setiap tahun. Tapi tak sekali pun dia
memanfaatkan fasilitas tersebut untuk memberangkatkan anak-anaknya berhaji.
"Fasilitas itu hanya untuk mengajak Ummie sekali," papar Abi-sebutan akrab
Aisyah. Walhasil, kelima anaknya berhaji dengan biaya sendiri.

Selama menjadi pejabat pemerintah, hampir tak ada kemewahan yang dinikmati
anak dan istrinya. Rumah pribadi pun baru dimiliki setelah Natsir bebas dari
penjara pada 1967, jauh setelah penggemar biola ini tak lagi berpangkat.

Suatu ketika Fauzi, anak bungsu Natsir, meminta dibelikan sepeda motor
kepada Aba. Sang ayah menolak dengan berkata, "Memangnya tidak ada bus atau
kereta api?" Natsir amat mempedulikan pendidikan. Beberapa kali Lies meminta
bantuan ayahnya untuk membayar biaya kuliah anak-anaknya. "Tanpa ragu Aba
turun tangan," tutur Lies.

Natsir juga membebaskan putra-putrinya memilih jurusan sekolah dan tempat
bekerja. Lies, misalnya, memasuki Jurusan Sastra Inggris Universitas
Indonesia. Karena banyak faktor, termasuk biaya dan kondisi politik yang
belum aman, Lies harus meninggalkan bangku kuliah di semester kedua.

Natsir memutuskan, Lies dan adiknya, Asma Faridah, sebaiknya konsentrasi
saja pada urusan rumah tangga. Tapi adik-adik Lies, yakni Aisyah, Hasnah,
dan si bungsu Ahmad Fauzi Natsir, menyelesaikan kuliah.

Selain Fauzi, ada lagi satu anak lelaki Natsir, yakni Abu Hanifah, yang
meninggal pada usia 13 tahun karena tenggelam di kolam renang. "Aba menangis
sendirian ketika Hanif wafat. Sebelum pergi, almarhum sempat memijat-mijat
kaki Aba," kata Lies. Sebuah buku memoar berjudul Aba Sebagai Cahaya
Keluarga kini sedang disiapkan Lies.

Tangisan itu berulang ketika Natsir kehilangan sang istri. Nurnahar
meninggal pada Juli 1991, dalam usia 86. Lima puluh tujuh tahun, Ummie
mendampingi Aba dengan setia.

Dalam salah satu suratnya, Natsir menulis: Ummie sadar jalan hidup yang Aba
tempuh sama sekali tidak memberi jaminan hasil yang tetap. Tapi Ummie rela
dan berani naik perahu Aba yang oleng itu, sama-sama menempuh samudera hidup
yang penuh risiko. Tak terlukiskan betapa bersyukurnya Aba kepada Allah SWT
dan terima kasih kepada Ummie atas kebahagiaan hidup yang Aba rasakan."

Sebelum jenazah sang istri diberangkatkan ke makam, Natsir sendiri yang
menyampaikan pidato pelepasan. Dua tahun kemudian, Natsir dimakamkan di
samping makam Nurnahar. Kata Lies, "Seperti keinginan Aba."

-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/



Kirim email ke