PEREMPUAN MERANTAU Oleh: Pelangi Febrian setiap orang, terutama anak muda akan senantiasa didorong dan ditarik agar pergi merantau oleh kaum kerabatnya dengan berbagai cara (A.A. Navis). Dalam sistem kekerabatan matrilineal yang di anut oleh masyarakat Minangkabau, mendorong pemuda untuk merantau, mengadu nasib di negri orang, hal ini diperkuat dengan pantun;
Karatau madang di hulu Babuah babungo balun, Marantau bujang dahulu Dirumah baguno bulan. Dalam sebuah rumah gadang, anak laki-laki yang masih bujang atau belum menikah tidak mempunyai peranan dalam adat. Pengambilan keputusan dalam keluarga pun tidak bisa diputuskan oleh anak tersebut karena dia dianggap belum berpengalaman, oleh sebab itu si anak harus mencari pengalaman dengan pergi merantau, disamping juga si anak pergi untuk mencari pekerjaan, untuk membantu ekonomi keluarga dikampung halaman. Meski begitu tidak terdapat faktor paksaan dalam merantau, ini lah yang membedakan merantau dengan migrasi lainnya, karena biasanya keputusan untuk pergi merantau lahir dari diri anak laki-laki tersebut untuk mencari pengalaman dan ajang pembuktian diri kepada masyarkat bahwasanya dia bukan anak-anak lagi. Menurut Naim merantau merupakan kegiatan meninggalkan kampung halaman dan pergi kedaerah lainnya dalam waktu yang lama dengan niat kembali pulang. Seseorang yang pergi keluar daerah tempat tinggalnya dan bahkan budayanya dengan kemauan sendiri dapat dipandang sebagai perbuatan merantau, dan ini selanjutnya mengandung makna bahwa orang yang merantau tersebut, bukan lagi berinteraksi hanya dengan kaum kerabatnya atau anggota kelompok etnisya, melainkan juga dengan orang yang latarbelakang etnisnya berbeda-beda. Namun dalam perspektif commonsense, kegiatan berpindah dan menetap ke kota atau daerah terdekat dari kampungnya dengan tujuan tertentu, dengan niat kembali pulang, dalam jangka waktu yang panjang, telah dianggap sebagai merantau, tanpa harus pergi jauh melewati batas-batas Minangkabau,. Sebagai contoh seorang anak yang baru lulus Sekolah Menengah Atas akan melanjutkan study di salah satu perguruan tinggi di kota Padang, meski si anak hanya berasal dari kota dekat dengan kota padang, seperti Kota Bukittinggi maupun kota Solok yang hanya berjarak 2 – 4 jam, si anak akan menganggap dan dianggap sebagai perantau oleh orang tua, masyarakat dan dirinya sendiri. Pada awalnya, orang Minangkabau merantau dilatarbelakangi untuk mencari daerah tempat tinggal yang baru karena tidak memadainya lagi daerah asal orang Minangkabau di pedalaman Sumatera Barat (Luhak Nan Tigo) untuk menunjang kehidupan meraka. Dengan semangat itulah orang Minangkabau memasukkan daerah Pantai Barat sebagai lingkungan wilayah mereka. Dalam realita saat ini, tidak dapat kita pungkiri bahwa kegiatan merantau tidak lagi hanya dilakukan oeh kaum laki-laki saja. Namun juga dilakukan oleh perempuan, bukan hanya perempuan menikah yang ikut suami merantau, kegiatan ini juga dilakukan oleh perempuan yang belum menikah. Mereka pergi merantau pada usia yang bervarian dengan tujuan yang juga berbeda. Kegiatan yang tampak lumrah beberapa tahun belakangan ini, menimbulkan pertanyaan, Kenapa perempuan minangkabau merantau, bukankah perempuan sudah menjadi pewaris dan penjaga harta pusaka kaum? Serta pertanyaan lainnya, akan terlintas dalam pikiran kita. Kegiatan merantau yang dilakukan oleh perempuan pada dasarnya masih dengan alasan yang tidak jauh dengan alasan anak laki-laki hari ini pergi merantau. Naim menyatakan, terdapat motivasi ekonomi yang instrinsik melekat pada pengertian merantau, kecendrungan akan menjadi lebih terasa apa bila keadaan ekonomi di kampung tidak lagi sanggup menahan mereka disebabkan karena efek Malthus. jika bagi laki-laki merantau dianggap sebagai ajang pembuktian diri kepada masyarakat bahwa dia sudah cukup dewasa, maka untuk perempuan kita dapat menyelipkan alasan untuk mencari jodoh di rantau. Karena anak laki- laki dikampung yang sudah banyak merantau, mengakibat kesulitan perempuan Minangkabau untuk mencari jodoh yang sesuai dengan keinginan. Naim mengatakan, banyak orang tua kini mendorong anak gadisnya untuk merantau baik dengan alasan ekonomi maupun pendidikan, tetapi sebenarnya hanya untuk mencari jodoh, karena memang dirantau lah anak-anak muda layak bersua. Pendidikan juga ikut andil dalam meningkatnya perempuan Minangkabau yang merantau. Banyak anak gadis yang pergi dari rumah meninggalkan keluarga untuk menuntut ilmu di daerah/kota yang cukup jauh maupun dekat dengan kampungnya. Pada masa sesudah perang kemerdekan perempuan yang merantau adalah perempuan yang ikut suami. Menurut Kato sesudah tahun 1961 menunjukkan angka perempuan merantau meningkat 26 persen dibanding masa Belanda. Alasan banyak perempuan merantau dewasa ini ialah adanya berbagai alasan bagi mereka untuk merantau pada masa sekarang jika dibandingkan dengan masa lampau. Perempuan muda biasanya merantau untuk mencari pendidikan yang lebih tinggi, perempuan yang telah tua, biasanya yang berstatus janda merantau bersama anak-anaknya. dewasa ini perempuan merantau tidak hanya karena untuk memperoleh pendidika, terdapat juga alasan lainnya, seperti yang telah saya tuturkan sebelumnya. Hanya saja yang membedakan perantauan laki-laki dan perantauan perempuan ialah dalam pemilihan tempat perantauan perempuan, biasanya keluarga cenderung mendorong anak gadisnya merantau ke daerah yang sudah terdapat keluarga, kerabat, atau saudaranya. Kebanyakan dari orang tua akan sulit memberi izin jika daerah yang dituju tidak terdapat kerabat atau keluarga yang akan menanti anak gadisnya disana. Meski perempuan merantau ini sudah sangat lumrah kita temukan dalam masyarakat Minangkabau, yang juga menurut penulis dapat disebut sebagai perubahan yang signifikan dalam kegiatan merantau masyarkat Minangkabau, namun masih sedikit dapat kita temukan penelitian-penelitian yang memfokuskan pada fenomena ini. Penelitian tentang kegiatan merantau dewasa ini emang cukup sulit dilakukan karena tidak cukupnya data kuantitatif terbaru yang dapat mendukung penelitian tersebut, dengan kata lain tidak banyak dapat kita temukan jumlah perantau Minangkabau dewasa ini. Setiap penelitian tentang perantau data kuantitatif yang sering digunakan adalah data penelitian yang dilakukan oleh Mochtar Naim dalam buku Merantau; Pola Migrasi Suku Minangkabau, serta buku Tsuyoshi Kato yang berjudul Adat Minangkabau dan Merantau. Sensus penduduk berdasarkan suku bangsa terkahir kali dilakukan pada sensus tahun 1930, namun dihapuskan pada sensus tahun 1961. Sehingga selain data yang dipaparkan Mochtar Naim dan Tsuyoshi Kato sulit untuk mendpatkan data terbaru mengenai jumlah perantau Minangkabau. Namun kini telah terdapat Biro Administrasi Pembangunan dan Kerjasama Rantau Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Barat, dari informasi yang saya peroleh, biro ini telah merencanakan melakukan pendataan perantau guna membangun sinergitas antara rantau dan ranah sejak 2014 silam. -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.