Sanak nn ambo hormati! Karena dia memang mempunyai potensi, dan diyakini kalau di-biarkan akan terjadi. Tidak ada cara lain kecuali sumbernya di selesaikan secepatnya dan se-tuntasnya. Misalnya dengan memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat tentang tata kelola tanah dengan segala turunannya. Setek! Alzaber.
--- Pada Sab, 17/12/11, Andiko <andi.ko...@gmail.com> menulis: Dari: Andiko <andi.ko...@gmail.com> Judul: [R@ntau-Net] Kasus Mesuji Berpotensi di Sumbar Kepada: "RantauNet" <rantaunet@googlegroups.com> Tanggal: Sabtu, 17 Desember, 2011, 8:46 PM Kasus Mesuji Berpotensi di Sumbar Padang Ekspres • Sabtu, 17/12/2011 10:29 WIB • (mg8/jpnn) • 265 klik http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=19225 Tim Pencari fakta: Menkopolhukam Joko Suyanto (kanan) dan Wakil Menkum Ham Denny Padang, Padek—Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, berpotensi terjadi di Sumbar. Apalagi, sekitar 80 perusahaan yang menggunakan lahan hak guna usaha (HGU) di Sumbar, kejelasan izinnya perlu dieveluasi. Bila pemerintah mengabaikan persoalan ini, bukan tak mungkin memicu konflik mengingat proses penyerahan lahan HGU kerap mengabaikan kepemilikan hak ulayat. ”Kita bisa melihat kasus Maligi, Pasaman Barat. Akibat pemerintah lambat bertindak, memicu terjadinya konflik,” kata Direktur Perkumpulan Qbar, Nurul Firmansyah kepada Padang Ekspres kemarin (16/12). Nurul melihat, menguatnya kasus-kasus semacam itu disebabkan ketidakjelasan pemerintah memberikan batasan-batasan mana tanah untuk masyarakat (petani), dan mana investasi. Juga, kejelasan tanah-tanah ulayat. Kadang pemerintah malah memberikan kemudahan pada investor dengan mengabaikan kepentingan masyarakat. Untuk meminimalisir persoalan ini, Nurul berharap, aparat netral menangani sengketa lahan. Pemerintah perlu segera mencari terobosan penyelesaian lahan-lahan di masyarakat. ”Harus jelas posisi tanah ulayat, dan bagaimana menjaga tanah ulayat ini tetap bertahan dengan statusnya meski bisa dimanfaatkan untuk investasi. ”Saya khawatir RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan justru akan semakin memperbesar potensi konflik lahan di Sumbar,” katanya. Sebab, sistem kepemilikan lahan di Sumbar mengenal tanah ulayat yang tidak disertifikatkan. Sehingga, klaim tanah negara juga bisa dilakukan pemerintah. Staf Divisi Pendampingan Kasus dan Paralegal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Era Purnamasari menambahkan, konflik lahan di Sumbar dipicu ketidakjelasan kontrak, hingga pelanggaran kesepakatan oleh pihak ketiga (perusahaan perkebunan) terhadap masyarakat. Celakanya lagi, kata Era, aparat kerap berpihak pada pihak perusahaan. ”Itu bukan aset negara. Itu kan punya perusahaan. Berarti aparat dibayar perusahaan, di mana netralitasnya,” tegasnya. Karena itu, LBH meminta pemerintah Sumbar menyelesaikan sengketa lahan sampai ke akar- akarnya agar tidak terus berulang. Kepala Dinas Perkebunan Sumbar, Fajaruddin mengklaim maraknya konflik perkebunan akibat kesalahan perusahaan dalam pencadangan lahan untuk plasma. Akibatnya, perusahaan tidak bisa melakukan penanaman di lahan itu. ”Seperti kasus di Pasaman Barat, lahan itu telah tersedia. Tapi setelah mau ditanam, lahan itu menjadi masalah,” ujarnya mencontohkan. Namun begitu, Fajar mengklaim sebagian besar perkebunan Sumbar adalah perkebunan rakyat dibandingkan swasta. Mencapai 80 persen dari 10 komoditi perkebunan di Sumbar, sisanya milik swasta. ”Yang terbesar hanya kelapa sawit. Persentasenya, perkebunan rakyat 47,7 persen dan milik swasta 52,3 persen,” ujarnya. Dosen Fakultas Pertanian Unand, Hery Bachrizal Tanjung melihat, pola plasma inti berjalan baik sepanjang dilaksanakan sesuai kesepakatan sebelum tanah-tanah itu disulap menjadi kebun plasma. Biasanya, permasalahan muncul jika aturan tidak dijalankan dengan baik. ”Penyebabnya, apakah ketika inti (perusahaan, red) terlalu banyak mengeluarkan modal, sehingga tidak lagi merealisasikan aturan itu. Ataukah, saat aturan dibuat, harga di pasaran tinggi. Mungkin saja, ketika plasma hampir jadi, harga sawit turun,” katanya. ”Atau sebaliknya, bisa saja masyarakat tidak patuh terhadap konsep teknis dari budidaya yang ditetapkan inti sehingga kualitas sawit rendah. Makanya, untuk pengembangan berikutnya, inti enggan memberikan lagi. Atau bisa jadi inti tidak mau memberikan atau merealisasikan janjinya, walau masyarakat sudah memberikan tanahnya,” ungkapnya. Tak kalah penting, harus ada peran pemerintah. Dalam perjanjian antara perusahaan dan masyarakat, harus melibatkan pihak ketiga baik sebagai saksi maupun fasilitator. ”Pemerintah harus berada di tengah-tengahnya. Jika aturan disepakati kedua belah pihak, pemerintah sebagai pemegang regulasi harus menegakkan aturan. Pemerintah juga berkewajiban membimbing masyarakat untuk patuh terhadap aturan inti yang diberlakukan,” paparnya. Lain lagi pandangan Sukardi Bendang dari Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumbar. Dari data BPS, untuk aset 18 juta petani hanya 8 juta hektare lahan, sementara satu pengusaha sawit bisa memiliki lahan seluas 300.000 hektare. ”Ini monopoli kalangan bermodal, harus ada perhatian serius pemerintah,” katanya. Dia mencontohkan Pasaman Barat, setiap tahun lahan masyarakat terus tergerus. ”Sebelum tahun 1990-an lahan petani berkisar sekitar 27.000 hektare. Merosot tajam pada tahun 2007, sekitar 14.300 hektare. Harus ada peruntukan lahan-lahan abadi untuk petani,” katanya. Tim Pencari Fakta Kemarin (16/12), Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kasus pelanggaran HAM berat di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel resmi terbentuk. Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Denny Indrayana yang ditunjuk menjadi ketua tim berjanji segera menuntaskan kasus tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama. ”Tidak sebentar, tetapi tidak terlalu lama. Apalagi Komnas HAM sudah punya data awal. Jadi, sebenarnya bekerja bukan dari informasi nol,” kata Denny di Kantor Presiden, kemarin (16/12). Komnas HAM yang pernah menerima laporan terkait pembantaian di Mesuji memang ikut terlibat dalam TGPF Mesuji. Selain Komnas HAM yang diwakili ketuanya, Ifdhal Kasim, TGPF diisi oleh beberapa unsur. Antara lain dari Kementerian Polhukam, Kementerian Kehutanan, Polri, pemda Lampung dan Sumsel, dan tokoh- tokoh masyarakat dari dua provinsi tersebut. Denny menuturkan, mekanisme investigasi TGPF sama dengan kerja Tim Delapan. Menko Polhukam Djoko Suyanto mengatakan, selain menyelesaikan persoalan hukum kasus Mesuji, TGPF juga memiliki tugas untuk jangka menengah dan panjang. Hal itu terkait dengan seringnya terjadi sengketa wilayah perkebunan atau kehutanan. Nantinya akan ada rekomendasi yang dikeluarkan tim. Bisa Merembet Di bagian lain, konflik horizontal seperti di Mesuji berpotensi meluas ke 16 juta hektare area perkebunan lainnya. Sebab, status area perkebunan itu masih abu-abu. Antara klaim penduduk adat dan kepemilikan pemerintah. Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional Mukri Friatna di Jakarta kemarin (16/12) menjelaskan, pemicu pembantaian di area perkebunan adalah ketidakjelasan status kepemilikan tanah. ”Penduduk adat ini sudah turun-temurun mengelola area perkebunan tadi untuk mata pencaharian sehari-hari. Dari silang sengkarut pertanahan di area perkebunan tadi, Mukri mengatakan bisa memicu konflik horizontal. Konflik ini melibatkan masyarakat adat, pekerja perkebunan sawit, dan PAM Swakarsa,” tandasnya. Dari investigasi Walhi, aparat kepolisian kerap tidak objektif mengawal konflik tersebut. Aparat lebih condong memihak perusahaan perkebunan sawit. Dalam menangani konflik, masyarakat adat kerap menjadi korban kriminalisasi. ”Jika tanahnya diserobot perusahaan sawit, malah masyarakat yang dijadikan tersangka. Alasannya, mereka telah menghalang-halangi usaha dan perusakan aset perkebunan. Jadi masyarakat adat lapor, disusul perusahaan juga lapor. Tapi, posisi yang diunggulkan selalu perusahaan,” tutur Mukri. (mg8/jpnn) [ Red/Redaksi_ILS ] -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/