Top of Form
http://beritajatim.com/berita/brt236375707.jpg Bottom of Form Kamis, 08 April 2010 19:08:45 WIB Reporter : Oryza A. Wirawan Jember (beritajatim.com) - Sejarah hanya untuk para pemenang. Agaknya diktum itu tak berlaku bagi seorang Indra Jaya Piliang. Politisi cum intelektual muda Partai Golkar itu justru mendokumentasikan tiga kekalahannya dalam berpolitik dalam buku setebal 568 halaman berjudul Mengalir Meniti Ombak: Memoar Kritis Tiga Kekalahan. Buku ini berisi perjuangan Indra saat menjadi calon legislator DPR RI di daerah pemilihan Sumatra Barat, kiprahnya sebagai juru bicara dan bagian dari tim sukses Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto dalam pemilihan presiden, serta perjuangannya mengusung Yuddy Chrisnandy, politisi muda, berhadapan dengan Aburizal Bakrie dan Surya Paloh, dalam Musyawarah Nasional Golkar. "Sebetulnya yang ingin saya katakan adalah bahwa yang kalah dalam politik jauh lebih banyak dari yang menang. Dalam ketiga kekalahan yang saya ceritakan, sebetulnya yang kalah adalah Partai Golkar, JK-Wiranto dan Yuddy Chrisnandy. Saya menjadi bagian dari kekalahan itu," kata Indra dalam surat elektroniknya kepada saya. Semuanya berawal dari keisengan belaka, karena Indra dianggap berada di pihak yang kalah. "Saya bilang, 'Kalau gitu, gue nulis memoar kekalahan.' Dan saya mulai menulis," katanya. Buku ini ditulis selama enam bulan, bahkan saat Munas Golkar masih berlangsung. Indra merasa beruntung, karena terbantu dengan sejumlah catatan yang dibuatnya selama proses pemilu, yang dimuat di Facebook maupun websitenya. "Motivator yang paling baik adalah keunikan-keunikan pemilu 2009 sendiri yang mungkin tidak terulang lagi, serta perhatian saya kepada anak-anak muda usia politik yang mungkin akan masuk ke dunia antah-berantah ini," kata Indra. Buku Indra terdiri dari 27 bab, dengan prolog dari Muhammad Jusuf Kalla, epilog oleh Oryza A Wirawan (wartawan beritajatim.com) dan Yuddy Chrisnandi, sahabat Indra sendiri. Bab-bab tersebut menceritakan masa kecil dan masa remaja Indra di Sumatra Barat, masa-masa kuliah di Universitas Indonesia, masa-masa menjadi intelektual di CSIS, dan kiprahnya di Partai Golkar. Memasuki dunia politik praktis bagi Indra berarti melintasi demarkasi tabu tak kasat mata. Di negeri ini, kaum intelektual-akademisi diperhadapkan vis a vis dengan para politisi praktis. Dengan pola oposisi biner strukturalisme, mudah ditebak, yang pertama mewakili kepentingan dan suara yang lebih suci ketimbang yang kedua: idealisme versus pragmatisme, prinsip melawan dagang sapi. Saya tidak tahu bagaimana asal-muasal dikotomi ini. Barangkali para cerdik-pandai di negeri ini mengimani diktum klasik Julien Benda: bahwa kaum cendekia tak hendak mengkhianati prinsip-prinsip kebenaran untuk kekuasaan. Namun, bagaimana hendak mengharapkan perubahan: saat di satu titik kita enggan menempuh jalan pintas revolusi (menghabisi generasi tua yang sudah kadung menanamkan oligarki), namun sekaligus menampik jalur lamban dengan membiarkan kaum intelektual non partisan masuk ke dunia politik, untuk menggantikan kaum tua yang sulit berubah. "Mentalitas ketertundukan publik terhadap pemerintah sekaligus alergi terhadap politisi adalah bagian dari kelanjutan mentalitas kolonial. Soekarno, Hatta, Syahrir dan politisi quo intelektual pada zamannya juga dianggap benalu bagi pemerintahan kolonial. Padahal kita tahu kemudian bahwa jalan politiklah yang membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan," tulis Indra. Maka, orang-orang seperti Indra atau Budiman Sudjatmiko (aktivis gerakan mahasiswa kiri yang menjadi politisi PDI Perjuangan), pada titik ini menempuh jalan pedang yang sunyi dalam hidup mereka. "Politics is a war without bloodshed," kata Mao Tse Tung. Tidak ada darah yang tumpah dalam politik. Namun, ini jalan perang di mana para pendekar berjalan dalam kesendirian, seperti dalam novel-novel silat klasik. "Tidak ada yang benar-benar mengajak saya berkawan dalam kehidupan politik praktis ini," tulis Indra. Dalam adu balap kekuasaan, konsep perkawanan berubah menjadi 'persekutuan', 'aliansi' untuk membangun sebuah angkatan perang. Tak ada kasih sayang dalam sebuah persekutuan. Dalam politik, jika Anda tak bisa dicintai dan ditakuti sekaligus, kata Niccolo Machiavelli, "lebih baik untuk memilih ditakuti". "Orang tidak begitu merasa takut berbuat jahat terhadap seseorang yang membuat dirinya dicintai daripada terhadap orang yang membuat dirinya dibenci...Manusia makhluk yang lemah; ia akan memutuskan ikatan cinta, kalau itu menguntungkannya; tapi rasa takut diperkuat oleh kengerian akan hukuman yang selalu efektif," demikian risalah Machiavelli dalam Il Principe, sebuah buku kecil yang bicara tentang kekuasaan dan politik. Boleh jadi Machiavelli tepat. Ia bicara soal naluri manusia, seperti puisi Sapardi Djoko Darmono: "Dalam setiap diri kita, berjaga-jagalah/segerombolan serigala." Tapi Machiavelli tak selamanya benar. Suatu kala, dalam upaya memenangkan pemilihan umum di Daerah Pemilihan Sumatra Barat 2, Indra mengirimkan surat ke empat penjuru mata angin untuk 226 wali nagari. Mengherankan sebenarnya, kenapa Indra repot-repot mengirimkan surat di zaman modern ini, jika bisa menelpon. Namun dalam surat ada rasa hormat terhadap posisi manusia, sebuah penghargaan dan tak memandang manusia dalam bingkai nalar instrumental. Indra menampik menggunakan para makelar politik. Ia menolak untuk membeli kesetiaan pemilih dalam pemilu. Ia memilih untuk berpihak pada seorang calon presiden yang dicintai karena kejenakaan dan kecekatannya, bukan ditakuti karena kekuasaannya. Ia juga menolak menarik diri dari gelanggang Musyawarah Nasional Partai Golkar, dan tetap keras kepala mendukung seorang kandidat yang mustahil menang, karena mereka adalah generasi pelintas batas politik: sesuatu yang penting dalam proses ke-Indonesiaan. Namun Indra juga menolak bergeser dari tanggungjawab etisnya. Ketika Yuddy Chrisnandy, kawan yang didukungnya dalam Munas Golkar, melakukan pendekatan dengan Tommy Suharto, anak kesayangan mantan Presiden Suharto, ia menampik ikut. Ia tak ingin mengecewakan kawan-kawan segenerasinya. Ia tak ingin kehilangan kawan-kawan lagi. Jika politik adala sebuah perang panjang kehidupan, Indra telah terkapar di tiga medan tempur. Namun saya kira ia tak layu. Setidaknya, ia tak lemah dan telah sebenar-benarnya melawan demi prinsip-prinsip hidupnya. Rencananya, buku ini akan di-launching bersama buku lain berjudul "Bouraq-Singa Kontra Garuda", sekaligus Diskusi Publik:"Setahun Pemilu: Meretas Regenerasi Sistemik", pada Jumat (9/4/2010), di JMC Jakarta jam 19.00. [wir] http://beritajatim.com/detailnews.php/2/Gaya_Hidup/2010-04-08/60973/Indra_J. _Piliang_Dokumentasikan_Kekalahan_Golkar -- . Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama =========================================================== Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe To unsubscribe, reply using "remove me" as the subject.
<<image002.jpg>>