Precedence: bulk hersri setiawan: surat dari negri Kincir ke negri Danton: "berani, berani, sekali lagi berani!" Tentang Yang Telanjang untuk adikku J.J. Kusni Jabat tanganku! Terimakasih untuk hadiah sajakmu yang kubaca pagi ini - sebelum minum kopi! Judul sajakmu yang bagus ini "Hari Ini Orang-Orang Kian Banyak Telanjang". Makna kalimat ini tentu lain dengan, misalnya, "Hari Ini Kian Banyak Orang-Orang Telanjang". Jika yang tersebut belakangan itu berarti pemberitaan darimu, bahwa pada hari ini jumlah Orang Telanjang kian banyak; maka pada yang tersebut dahulu berisi berita, bahwa pada hari ini telanjangnya Orang-Orang itu kian banyak. Yang pertama, jumlah Orang Telanjang yang bertambah. Yang kedua, taraf ketelanjangan Orang yang meningkat. Yang pertama, tentang orang bugil atau, dalam istilah Jawa, "nglegena" alias tanpa sandangan; yang kedua, tentang derajat pembukaan diri. Barangkali sudah sampai taraf "nglegena", tapi bisa juga belum sampai taraf "nglegena", melainkan masih mengenakan "pakaian Tarzan" ... Jadi begitulah Kusni, adikku, kesibukan pertama kepalaku ketika beberapa kali membaca sajakmu barusan tadi. Kupikir, begitu kesimpulanku, kalimat judul itu benar. Karena yang ingin kaukisahkan kepadaku ialah proses adaptasi Orang-Orang terhadap suasana baru, yang terlahir dari pendapatan persepsi mereka atas suasana itu. Proses itu, di mana dan ke mana pun pangkal dan juntrungnya, selalu membutuhkan keberanian. Bukan? Ya, sama saja, hai kau Didien. Jangan diam dong! Ayo ikut bicara! Bukan untuk menjadi Danton saja dituntut keberanian - l'audace, l'audace, encore l'audace! Tapi juga untuk menjadi Datong Sudiarto, perlu keberanian. Kau masih ingat, Didien, siapa itu Datong? Itu lho, si Denmas dari Jeron Beteng Jogya yang jadi cecunguk Satgas Intel Pusat (AD) klas kakap itu! Juga untuk punya Semangat Surabaya (10 November 1945) dituntut keberanian! Kata Pak Sumarsono, Jendral 10 November itu, terheran-heran sendiri sekarang: "Lho! Saya dulu kok berani begitu ya?" Bukan saja untuk bersemangat Surabaya dituntut keberanian, tapi juga untuk mengikuti jejak Sura Bledhèg, gembong MMC itu, diperlukan nyali yang besar dan menyala- nyala. Karena itu tulisanku untuk menerimakasihi hadiah sajakmu pagi ini kujuduli seperti tertulis di atas, dan selanjutnya aku pun ingin menuturkan kembali dua cerita pendek tentang "telanjang". Nanti simpulkanlah sendiri, mau ke mana juntrung - kalau istilah Al Kitab: "nas"-nya - dari kisah-kisahku di bawah ini. *** Alkisah. Dahulu kala, jauh sebelum aku jatuh hati sama Lekra, aku membaca sebuah brosur. Bersampul hijau berformat tanggung, tapi buah tulisan seniman yang tak tanggung-tanggung: S.Sudjojono. Judulnya pun tak tanggung-tanggung: sangat meyakinkan. Meyakinkan diri si Penulis, meyakinkan bakal para pembacanya. Judul brosur ini ialah, "Kami tahu, ke mana seni lukis Indonesia hendak kami bawa." Panjang sebagai judul. Tapi jelas dan tegas. Orang tidak akan berwayuh-arti membacanya. (Kupakai istilah "wayuh-arti", karena "ambigu" buat telingaku kok terlalu asing dan tidak sedap! Boleh kan, aku mengusulkan istilah baru? Semangat Demokrasi kan tidak hanya harus hidup dalam pembangunan dunia politik, tapi juga dalam pembangunan kebahasaan?). Tipis brosur itu, tapi kaya isinya. Selain mengkaji jejak langkah perjalanan sejarah senilukis Indonesia yang telah liwat, lalu mengantisipasi yang bakal datang - seperti judulnya sudah menjanjikan - juga berisi uraian sederhana tapi meyakinkan tentang filsafat keindahan. Seniman kampiun ini menyimpulkan, dalam kata- kataku, "apa yang bagus menurut tangkapan pancaindera, tidak selalu indah." Ia lalu ajukan contoh yang polemis: Tidak usah jadi Orang* untuk bisa memilih bunga indah, jadilah serangga saja tak akan salah pilih! Selanjutnya S.Sudjojono tiba pada kesimpulan akhir: "Yang indah tidak selalu benar, tapi yang benar selalu indah." Untuk menunjang dalilnya itu, ia lalu berkisah sebagai contoh: Ia biasa melihat pemandangan: Bocah laki-laki sekitar 4 tahun didandani pakaian jendral, lengkap dengan pet dan pedang serta sepatu lars. Apakah itu indah? Itu pertanyaan oratoris yang dijawabnya sendiri: Tidak! Keindahan bocah 4 tahun, ialah katanya, jika ia justru bertubuh kotor berlumpur, ingus sentrap-sentrup keluar-masuk lubang hidung, dan berlarian bebas di pelataran dengan telanjang bulat. Mengapa itu indah? Karena itulah kebenaran anak umur empat tahun! Ketelanjangan yang indah. Ketelanjangan yang benar. Ketelanjangan yang polos, yang lahir dari jatidiri sendiri. Sebaliknya "keindahan" di balik busana sang jendral adalah buah rekayasa dari luar, siapa atau apa pun dia itu bentuknya. Di sini rasa "berani" atau "tidak berani" tidak ikut tampil sebagai unsur pernyataan. Tapi yang terjadi ialah: kesalahan persepsi yang membawa akibat kesalahan artikulasi, dan semua itu bersumber pada jatidiri yang kosong. Itulah kisah pertama. Kisah berikut kuangkat dari timbunan ingatan pengalaman sendiri. Ikutilah. Syahdan. Belum terlalu tua. Baru dari sekitar tahun 1970 abad lalu. Sebagai tapol aku diciduk oleh Ops. "Ikan Paus", dan diamankan di tempat penahanan operasional Paskoarma II di Cilandak Jakarta Selatan. (Perhatikan istilah "ciduk" dan "aman" yang oleh kebahasaan Orba didistorsikan dari jatidiri masing- masing. Kalau kalian teringat istilah-istilah semacam itu, yang ada kaitannya dengan Peristiwa G30S, aku akan sangat senang kalau itu dicatat dan dikumpulkan!) Di tempat penahanan operasional Paskoarma II itu ada sepuluh sel saja, dengan tapol penghuni paling banyak 40 tahanan. Di salah satu ujung deretan sel ada satu kamar mandi dan satu wc yang tertutup. Hanya satu. Tapi, bagaimanapun, dalam ruang tertutup dan dengan satu bak mandi penampung kucuran air leding. Kami mandi bergantian di kamar mandi itu. Kemudian aku dipindah ke RTC Salemba, 1970. Mula pertama menjadi penghuni Blok C. Di halaman blok itu tidak ada bak mandi, dan juga apa lagi kamar mandi. Yang ada hanya satu sumur dengan satu timba kerekan. Waktu mandi sore, menjelang salat asar, diberikan oleh penguasa penjara selama 60 menit, sekaligus untuk sekitar 150 tapol bersama-sama. Maka, sementara yang lain "berolahraga" berjalan mondar-mandir di halaman blok, rombong demi rombong sekitar 10 tapol mandi bersama-sama. Seorang nimba dan yang lain terkadang jongkok untuk diguyur, terkadang pula berdiri untuk menggosok badan (tanpa sabun tentu saja!) . Begitu ganti-berganti. Semua di bawah langit terbuka. Semua dengan telanjang bulat. Entah bagaimana pergumulan perasaan tapol-tapol lain, aku tidak tahu dan juga tidak bertanya. Tapi pergumulan di batinku sendiri bukan main hebat kurasai. Ketika itu juga aku teringat pada dalil S.Sudjojono tentang keindahan dan kebenaran tersebut di atas. Ya, kesimpulanku, ini nilai tatasusila baru yang tiba-tiba di depanku dan harus aku terima tanpa bertanya. Inilah kebenaran baru. Maka inilah, menurut teori Sudjojono, keindahan baru - bagi Orang yang tidak terpenjara oleh mata dan segala rasa indrawi belaka! Tapi Kusni dan Didien, adikku, ternyata berhari-hari aku perlu menumbuhkan keberanian agar bisa menerima Kebenaran baru itu. Selama keberanian itu belum datang, aku hanya selalu membasuh muka dan "awak-awak" alias "pasfoto", yaitu hanya membasahi tubuh sebatas pinggang ke atas. Jadi, perlu waktu perjuangan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan suasana baru - walaupun lingkungan dan suasana Kebenaran sekali pun! Kesimpulanku sekarang ialah: bahwa telanjang bulat harfiah, bagi aku, masih bisa aku menerima dan melaksanakannya. Tapi telanjang alegoris, yang bagiku berarti mengingkari jatidiri, wah ... "amit-amit, setan ora doyan dhemit ora ndulit!"*** Keterangan: Tentang penggunaan kata "orang". Mengikuti Prof.M.M.Djojodiguno SH, Ketua HSI Cabang Yogya, gurubesar sosiologi Universitas Gadjah Mada yang aku hormati, meninggal tak lama sesudah keluar dari penjara Wiragunan (1978); menurutnya "orang" ialah "manusia" yang telah berkembang budi dayanya, sedangkan "manusia" ialah makhluk hidup menyerupai kera, tapi bertangan dua dan berkaki dua - adapun kera ialah bertangan empat sekaligus berkaki empat. Contoh klasik "manusia" yang diajukannya Kaspar Hauser di Jerman dan Kala- Kamala di India. ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html