Precedence: bulk 2000, TAHUN MILITERIUM Oleh: Otto Syamsuddin Ishak Anarki, mungkin kata yang bisa memuat keseluruhan kondisi obyektif yang senyatanya ada di Aceh pada akhir abad 20 ini. Anarki itu berkelanjutan sejak operasi militer digelar --di masa DOM. Bahkan pada pasca DOM, situasi yang anarkis terus berlanjut di dalam bulan Ramadhan -di mana para syaitan diikat, dan ternyata para iblis bersenjata bergentayangan menghancurkan dan membumihanguskan harta benda warga sipil yang tak senjata. Begitulah, Aceh -kalau kita mengacu pada Machiavelli (Discorsi), filsuf yang selalu salah dimengerti-sedang berada dalam suatu kondisi obyektif di mana, pertama, tak ada lagi pemimpin yang dapat pengakuan. Sekarang sedang muncul generasi muda yang menjadi lokomotif gerakan sipil, meskipun integrasi dan komitmen moral mereka masih atau sedang diuji oleh dinamika zaman. Katakanlah, Aceh masih punya Gubernur, tapi, mungkin Syamsuddin Mahmud hanya diakui sebatas Meuligoe. Mungkin ia tak didengar oleh Syafnil atau Tippe, atau pemimpin sebuah organisasi mahasiswa. Aceh masih punya ulama, tapi apakah yang dikatakan ulama setelah mereka menuntut referendum? Mereka ternyata tetap berdiri di belakang jama'ah, meskipun kata sejarah dan teologi mereka seharusnya berada di depan jama'ahnya. Kedua, dan tak ada lagi penegakan hukum positif yang tak mengistimewakan segerombolan orang dan mencelakakan segerombolan yang lainnya. Kita bisa melihat pada catatan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh ABRI/TNI serta Polisi terhadap warga sipil, yakni betapa tak manusiawinya Negara (atau alat negera RI itu) dalam menegakkan hukum (rimbanya). Mereka tak lebih dari segerombolan preman yang dibiayai oleh RI untuk melakukan operasi militer di Aceh atas nama Negara. Ketika melakukan penangkapan, penyiksaan, pembunuhan, penghilangan dan penjarahan serta pemerkosaan --mereka menyebut dirinya "demi RI". Dan mereka mendapat kenaikan pangkat luar biasa sebagai mana yang tertulis dalam sebuah dokumen operasi militer. Namun ketika pengusutan kejahatan kemanusiaan dimulai -seperti di depan Pansus DPR-- mereka berteriak "oknum". Jendral selalu benar. Bayangkan, sudah 10 tahun kejahatan kemanusiaan di Aceh itu berlangsung, tapi tak ada tersangka dari para jendral gerombolan bersenjata ini. Sedangkan serdadu bisa benar, dan bisa ditumbalkan. Sekalipun dalam operasi mereka melakukan bumi hangus dan penjarahan harta benda rakyat sebagaimana yang dilakukan oleh Polisi (Brimob dan Gegana) di Peureulak, Batee Iliek, Matangkuli, Lameu dan terakhir di Kuala Batee. Inilah bentuk obyektif anarki yang dilakukan oleh aparat keamanan dan pertahanan Negara RI itu sendiri. Di Kutub lain, anarki juga dimulai dari rakyat. Fenomena itu mulai menonjol sejak syari'at Islam dijadikan komoditi politik oleh segelintir elite Aceh sendiri. Usman Hasan dan Safwan Idries adalah pentolan yang punya andil besar dalam menohok rakyat Aceh dengan syari'at. Hal ini berhasil memecah fokus gerakan sipil tidak lagi hanya berkenaan dengan referendum, tetapi sudah muncul sebagai polisi moral. Penegakan hukum menjadi tak mengenal proses yang memiliki standar moral tertentu. Tepatnya, peradilan tanpa hakim, itulah yang digelar. Sebenarnya, hal ini justru mencitra Aceh sebagai masyarakat yang menganut aliran fundamentalisme Islam -dalam artian Barat yang negatif. Sebuah pengukuhan terhadap propaganda Negara yang menegatifkan Aceh. Seakan membenarkan apa yang pernah dikatakan Gus Dur -di luar negeri--bahwa referendum yang diminta rakyat Aceh adalah beropsikan syari'at Islam. Masyarakat menyatakan ekspresinya dengan melanggar berbagai peraturan. Lampu merah lalu lintas dilabrak untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Polisi pun, bukannya mengurus keamanan, melainkan telah menjadi serdadu pertahanan. Apalagi pasca Idul Fitri yang sudah dicanangkan sebagai tahun represif. Jadi rakyat segera dapat membayangkan bila 14.000 polisi keamanan digerakkan menjadi serdadu pertahanan. Padahal, dalam status operasi defensif saja, Brimob telah menjalankan praktek bumi hangus. Dan, hal ini menguak kembali kesadaran sejarah rakyat akan peristiwa Pulot Cot Jeumpa. Sebuah peristiwa yang jauh lebih buas, lebih biadab dari eksekusi yang pernah dilakukan oleh Westerling di zaman kolonial. Tambahan pula, TNI-AD mulai secara nyata melakukan pembangkangan terhadap pemerintahan sipil Indonesia. Kita bisa terka, mengapa seorang Kapuspen TNI, Mayjen Sudrajat bisa menolak eksistensi Presiden sebagai Pangti RI. Atau sebaliknya, mengapa Gus Dur tak kunjung bisa menggeser Sudrajat. Negara dalam Negara tidak hanya hadir di Aceh, di Papua, tetapi juga tumbuh pesat di Jakarta. Bersamaan dengan itu, isu kudeta oleh persekongkolan para jendral TNI-AD merebak. Alasannya sederhana, mereka telah menjadi serdadu yang terpojok sebagai penjahat kemanusiaan di Timor Leste hari ini -dan bisa demikian pula di Aceh setelah itu. Dalam situasi yang demikian ada 2 hal yang harus diperhatikan. Pertama, tentara RI adalah serdadu hulubalang. Artinya, mereka tidak mengabdi untuk rakyat yang selama ini membiayai mereka. Para serdadu ini memang dibentuk untuk mengabdi pada para hulubalang neo-Indonesia Orde Baru. Cobalah tanyakan pada para serdadu di lapangan, siapakah yang membiayai mereka? Jawabnya: "para Hulubalang Hijau di Jakarta"! Kedua, Aceh bisa dijadikan sebagai proyek oleh para hulubalang Hijau ini. Mereka akan terus-menerus mengeksploitasi situasi keamanan di Aceh sebagai kartu truf untuk melakukan tawar menawar politik dengan Gus Dur. Mungkin, para hulubalang Hijau ini akan mengatakan pada Gus Dur: "Berikan perlindungan pada kami dari peradilan Internasional. Kalau tak bisa diberikan, maka kami akan membumi-hanguskan Indonesia, sebagaimana yang telah kami buktikan di Timor Leste!" Begitulah, Aceh -dan Indonesia di penghujung abad 20 ini, atau pada tahun 2000, sebenarnya tidak beranjak memasuki millenium baru, sebab Aceh masih berada di dalam militerium Indonesia. Karena itu, tak ada desain peradaban baru, yang lebih mungkin adalah kebiadaban baru yang masih terus berkelanjutan dengan intensitas dan eskalasi yang lebih tinggi. Anarki yang dihentakkan oleh Negara -dan tak disadari oleh rakyat sipil, jauh lebih dahsyat daripada anarki yang diseret oleh rakyat. Jadi, tahun 2000 bagi Aceh -sebagaimana yang dicanangkan oleh Brigjen Bachrumsyah-adalah era militerium baru sebagai kelanjutan yang lalu.* Banda Aceh, 2 Januari 2000 ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html