Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 47/II/26 Desember 1999 - 1 Januari 2000 ------------------------------ FEDERASI BINGUNG (POLITIK): Tawaran Amien Rais bukan satu-satunya. Justru pro-kontra federasi menjadi titik kritis emansipasi rakyat. Tambahan: jangan lagi mengalami inflasi slogan seperti "reformasi". Belakangan ini banyak orang bingung. Salah satunya Bang Buyung atau Adnan Buyung Nasution. Digojlok pernyataan sana-sini akibat menjadi Pembela HAM TNI membuat Buyung 'lupa' dirinya tercatat sebagai salah seorang "advokat besar" di Indonesia. Berpolemik dengan Bambang Widjojanto dalam sebuah talk show radio, enteng dia berujar, "Bambang, kamu itu cuma tahu bagaimana memimpin LBH. Sementara kamu belum paham apa tugas-tugas seorang advokat." Si Abang juga bingung setelah tak diijinkan memasuki Timor Leste. Kontan ia menuduh konspirasi KPP HAM dengan UNTAET telah menjegal dirinya (pernyataan yang dianggap tak sewajarnya keluar dari seseorang doktor bidang hukum. "Kita paling-paling bisa menganggap, ia sedang kelimpungan. Apalagi sekarang 14 cabang LBH daerah memintanya segera mundur dari YLBHI," ujar seorang aktivis LSM). Kelimpungan Buyung juga berbuntut pada soal-soal yang lebih mendasar. Paling parah adalah pernyataannya soal negara federasi. Bayangkan, hanya dalam waktu satu minggu lidah "Abang" beralih kata. Ceritanya, pada suatu seminar di Jakarta ia pernah gigih membela konsep negara kesatuan. "Rasa-rasanya saya kok masih commited kepada negara kesatuan," demikian Buyung ketika membawakan makalah bertema "Federalisme, Mungkinkah bagi Indonesia" di Hotel Santika, 2 November lalu. Malah Buyung balik tanya premis Amien Rais, "dalam negara kesatuan kita terbukti telah gagal". Menurut Buyung kenyataan munculnya perlawanan separatisme semisal Aceh atau beberapa kerusuhan lokal tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan gagasan negara federasi. Pengalaman semasa rejim despotik Soeharto juga sulit diajukan sebagai alasan untuk merubah negara kesatuan ke bentuk baru. Namun, tiba-tiba di hadapan sejumlah wartawan (9/11) "komitmen" pendiri YLBHI ini berubah. Dengan alasan tidak ingin melihat bangsa Indonesia tercerai-berai, tuntutan segera dibentuk negara federasi ia lontarkan. Latar pikir tetap sama, karena kemunculan gerakan pemisahan diri dari RI dan beberapa kerusuhan massa di beberapa daerah. Dengan latar berbeda 'perubahan sikap' soal federasi diakui peneliti LIPI Dr Alfitra Salam. Ia semula meyakini konsep federasi hanya dapat diberlakukan sekurangnya 25 tahun ke depan. Selama itu, otonomi luas dapat dijadikan bahan pelajaran sekaligus masa prakondisi. Toh, belakang hari peneliti asal Riau ini melihat momentum membentuk federasi tidak lain kecuali sekarang. There is no alternative, mumpung pembahasan amandemen UUD 1945 tengah dibahas. "Saya juga khawatir terjadi Balkanisasi atas negara kita." Sebagai solusi menyelesaikan krisis kebangsaan kini, federalisme menjadi pilihan tengah? "Tidak juga," tukas Paulus Sumpino, Ketua Komisi B DPRD I Irian Jaya. Selepas realisasi nanti, konflik-konflik baru yang belum pernah terjadi dipastikan saling muncul. Geopolitik dengan 13.000 kepulauan dipaparkan sebagai contoh. "Apakah Pak Amien sempat berpikir bakal ada sengketa penentuan batas laut masing-masing negara bagian?" tanya Sumpino. (Lihat: Dialog) Selain itu masih ada soal krusial seputar ketimpangan pendapatan. Padahal usul federasi dimaksudkan mengeliminir gap ekonomi selama ini. Banyak yang khawatir daerah (negara bagian) berpotensi sumber daya rendah kalah jauh dengan daerah "kaya". Problem populasi jadi memerlukan pendekatan baru yang barangkali belum terprediksi. Nah, kalau beberapa kemungkinan fatal telah bisa diprediksi kenapa juga Amien ngotot? "Persoalan-persoalan apapun nanti saya kira bisa diselesaikan, yang penting kita sepakat dulu dengan bentuk federasi," tekan Ketua MPR. Sejatinya, tata masyarakat tidak sebangun dengan bentuk negara. Federasi bukan keniscayaan bahwa rakyat bersangkutan otomatis akan menjadi sejahtera. Dengan begitu, formula penyelesaian tawaran Amien bukanlah satu-satunya. Otonomi di sisi lain telah menjadi opsi yang juga ditawar-tawarkan. Amien sendiri kentara setengah-setengah dengan "formula"-nya. Setelah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono berujar tentang pengertian otonomi luas Amien pun berpikir ulang. Walhasil, ia membenarkan Menhan bahwa otonomi diperluas mirip dengan sistem federasi. Apa lacur? Sebab perdefinisi kedua istilah ini beda asal muasal. Federasi sebagai bentuk negara dan atau pemerintahan bermula dari inisiatif beberapa negara merdeka untuk membentuk suatu negara "induk". Pendek kata konsep berciri bottom up. Jauh panggang dari api, otonomi merupakan kebalikan alias up down. Pemerintah unitaris menggagas politik desentralisasi lantas memberi kewenangan lebih luas kepada daerah-daerah otonom. Secara legal formal yang pertama mesti melalui perubahan konstitusi, cara kedua cukup lewat undang-undang. Betul-betul tidak mirip. Kini, mau dibawa kemana gerbong bernama Republik Indonesia tergantung pilihan lokomotif. Mau super ekspres atau ukuran sedang, kapasitas bantalan rel mesti turut dihitung. Kalau kelewat cepat salah-salah besi relnya juga memuai lantaran panas. Apalagi di kepadatan hiruk pikuk usul, tubrukan antar loko sulit dihindari. Paling malang selalu penumpang di tiap gerbong. Jadi jangan royo-royo dengan, "Ayo kawanku lekas naik, keretaku tak b'renti lama". (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html