Selamat hari Kartini.

ita


--- In [EMAIL PROTECTED], "anton_djakarta"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Calon Arang, Kartini, Djamilah dan Kekuasaan

Ketika wanita menjadi janda
Mulailah sudah prasangka
Melucuti kemurnian rahim
Rumah-rumah menanam pandan di pintu-pintu
Anak-anak menutup lubang pusar
Lelaki menggosok-gosok kumisnya....

(Cok Savitri, Narasi Pembelaan Dirah)

Begitulah narasi yang kerap digumuli Cok Savitri dalam pentas Dirah
tujuh tahun silam, Cok Savitri yang memiliki darah keturunan
langsung dari Calon Arang membela nenek moyangnya itu sebagai
perempuan yang berani memberontak pada kekuasaan. Oleh Cok Savitri,
Calon Arang bukan lagi digambarkan sebagai pemuja Btari Durga yang
jahat, penganut aliran Siwa Tantri yang doyan sembahyang di kuburan
sambil nari nengkleng...namun Calon Arang digambarkan sebagai
perempuan yang berani menantang dominasi kaum lelaki terhadap
penafsiran susunan masyarakat. Calon Arang berani menantang
intervensi negara terhadap keyakinan anggota masyarakat. Namun dalam
sejarah cerita-cerita itu noda Calon Arang dilebur menjadi warna
hitam sebuah dongeng...seperti Djamilah.

Alkisah, setelah aksi penculikan beberapa Jenderal di akhir tahun
1965. Santer kemudian disebut nama Djamilah dalam koran-koran milik
Angkatan Darat. Djamilah mencoba bertahan hidup sebagai pelacur di
sebuah kawasan dekat Halim. Entah kenapa perempuan muda berwajah
manis ini kemudian tertangkap oleh tentara, setelah disiksa dan
ditelanjangi ia kemudian dibebaskan setelah sebelumnya dipaksa
menandatangani sebuah pernyataan bahwa dia adalah pemimpin cabang
Gerwani, sebuah organisasi gerakan perempuan yang sejalan dengan
PKI. Djamilah dan Gerwani adalah dua sisi mata uang yang sama
setelah `Gerakan' Tiga Puluh September mengalami transformasi
menjadi `Peristiwa' G 30 S. Makna pergeseran kata Gerakan dan
Peristiwa ini mengalami perluasan merusak, dan salah satunya adalah
Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia dimana ikon Gerwani
hancur lebur. Gerwani diresidu sejarah hanyalah sebuah organisasi
yang memproduksi penari genjer-genjer ditengah pesta seksual Pemuda
Rakyar saat para Jenderal merenggang nyawa. Dan film garapan Arifin
C. Noer serta buku sejarah resmi Orde Baru menulisnya demikian.
Walaupun kemudian terbukti bahwa penyiksaan dengan silet dan kata-
kata `darah itu merah...djenderal' dengan latar belakang
lagu `Genjer-genjer ono Jenderal Pathing Keleler' hanyalah lakon
carangan yang digarap para penulis naskah yang dibayar oleh junta
militer Orde Baru. Seandainya RUU APP gol, maka penulis porno kisah
dongeng penyiksaan para Jenderal bisa dikenakan pasal pidana, namun
toch sejarah bukan pengandaian....

Sejarah tentang kisah perempuan selalu berkaitan erat dengan
kekuasaan lelaki yang menyelubunginya. Suatu sore seorang bangsawan
anak bupati Jepara berkata pada ayahnya yang bertubuh
tambun. "Romo,  saya mau sekolah di Belanda" sang Bapak dengan kumis
lantang berkata pelan `Sudahlah Kartini, kamu dirumah saja...biarlah
kakang mas mu yang bersekolah di Belanda..." dan memang Raden Mas
Sosrokartono, kakak Raden Adjeng Kartini menimba ilmu di Belanda,
walaupun kemudian dunia mengenalnya sebagai tokoh kejawen tiada
tanding di jamannya, Kyai yang berfilsafat Bambu Kuning, yang senang
memberi pengobatan di tengah alun-alun Bandung dengan gelas
bertuliskan aksara arab pertama `Alif'. Lalu dimana Kartini yang
gandrung dengan budaya barat dan ingin bersekolah. Ia melahirkan
seorang bayi dengan bertarung nyawa dan kalah ketika melahirkan
Soesalit, Kartini menjadi madu seorang Bupati, menjadi perlambang
objek nafsu lelaki dan kekuasaan, namun ia melahirkan Soesalit yang
kelak anaknya ini menjadi seorang Jenderal kesayangan Bung Karno di
tahun-tahun Revolusi 1945-1949.

Kisah perempuan seringkali adalah kisah perlawanan atas nama
kesadaran persamaan...tapi seringkali kisah itu berujung pada
kekalahan. Karena jangankan memiliki kesadaran atas persamaan hak-
nya, memiliki tubuhnya sendiri kadang perempuan tidak diperbolehkan.
Seperti yang diucapkan seorang perempuan pemberani Indonesia, Gadis
Arivia dalam kuliah-kuliahnya "Jangan-jangan perempuan tak lagi
memiliki tubuhnya sendiri karena kepemilikannya sudah diambil oleh
hukum"

......Entahlah toch  lelaki sering menafsirkan perempuan sebagai
bangunan porno dalam pikirannya, atau memang lelaki sesungguhnya tak
sanggup memiliki daya tahan perlawanan seperti perempuan?


ANTON

--- End forwarded message ---


Reply via email to