Korban serangan udara, laut, dan darat ke Jalur Gaza terus bertambah. 
Gempuran selama hampir dua pekan di Jalur Gaza jelas menyisakan 
kepedihan mendalam. Selain itu, juga ketakutan, kecemasan, dan trauma 
pada warga setempat, terutama anak-anak. "Gaza ini wilayah kecil. 
Jadi, pada saat bom-bom Israel dijatuhkan, kami merasa bom itu 
seperti jatuh di rumah kami," kata Shawa, warga setempat yang 
memiliki tiga anak.

"Aku takut sekali..., seolah-olah kematian terus membayangiku," ujar 
Mohammad Ayyad. Bocah 11 tahun yang tinggal tak jauh dari bangunan 
pemerintah Hamas di kota Gaza ini masih dibayang-bayangi serangan bom 
Israel ke kawasan itu. Seperti banyak anak lainnya, dia mengalami 
trauma oleh serangan besar-besaran itu. "Kami mendengar banyak sekali 
ledakan. Adikku sampai ngompol," katanya, seperti dikutip AFP.

Jangankan siang hari, malam di sejumlah kawasan di Gaza pun tak 
membuat nyaman warga setempat. Pasukan Israel kerap melancarkan 
serangan pada malam hari. "Serangan pada malam hari membuat suasana 
di sini seperti di neraka," ujar Sarah Radi, seorang guru berusia 26 
tahun. Setiap malam, warga dikejutkan oleh setidaknya 200 ledakan bom 
tiap jam selama serangan.

Apa yang tengah berlangsung di Gaza, menurut Sarah, adalah pemusnahan 
warga sipil. "Mereka bilang mau menghancurkan Hamas. Kenyataannya, 
mereka mau menghabisi warga dan anak-anak Palestina. Apa yang telah 
dilakukan perempuan dan anak-anak sehingga pasukan Israel memusnahkan 
rumah mereka?" tanya dia.

Faktanya memang seperti diungkapkan Shawa. Jalur Gaza yang terentang 
sepanjang sekitar 40 kilometer dan lebar sekitar 10 kilometer itu 
dihuni kurang lebih 1,5 juta warga. Tingkat kepadatan penduduknya 
sangat tinggi, mencapai hampir 4.000 orang per kilometer persegi. 
Hampir separuh penduduknya adalah anak-anak dan remaja di bawah usia 
18 tahun.

Para ahli kejiwaan pun mengarahkan perhatian mereka pada anak-anak 
dan remaja ini. Menurut perkiraan Samir Zaqut, serbuan mutakhir 
Israel ke Gaza itu akan jadi bayang-bayang mengerikan dan tak 
terlupakan bagi anak-anak. "Jelas, serangan bom dan peluru kendali 
Israel itu bisa menyebabkan tekanan pasca-traumatis pada mereka, 
seperti depresi, insomnia, bahkan kemungkinan besar skizofrenia," 
kata psikolog yang bekerja untuk Gaza Community Mental Health 
Programme, lembaga non-pemerintah yang beroperasi di Gaza, itu.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bidang khusus anak-anak, 
Unicef, menegaskan bahwa Gaza sekarang menjadi tempat paling 
berbahaya bagi anak-anak. Sebanyak 53% anak-anak tidak percaya lagi 
bahwa orangtua mereka bisa melindungi mereka dari kekerasan itu. 
Malah 93% merasa tidak aman di mana pun mereka berada.

Perang memang membuat anak-anak trauma. Hidup dalam ketakutan, seakan 
bom berikutnya mengenai rumah mereka. Banyak sekali di antara mereka 
kini enggan makan. Mereka kehilangan nafsu bermain, jarang bicara, 
dan memeluk erat orangtua mereka setiap saat. "Mereka dibayangi 
ketakutan, terutama pada malam hari karena gelap tanpa penerangan 
listrik," ujar Sajy Elmaghinni, petugas Unicef di Gaza, seperti 
dikutip harian Hurriyet.

Belum lagi bila dihitung dampak agresi Israel itu terhadap anak-anak 
yang mengalami cacat tubuh. Hingga saat ini, belum ada catatan resmi 
tentang jumlah anak yang anggota tubuhnya harus diamputasi. Di Rumah 
Sakit Shifa di kota Gaza, terkabar, setiap dokter rata-rata 
mengamputasi lima hingga 10 pasien setiap hari. "Saya tidak tahu 
senjata macam apa yang digunakan pasukan Israel. Banyak sekali 
operasi amputasi dilakukan di sini," kata Ziad Abdul Jawad.

Erwin Y. Salim
[Laporan Utama, Gatra Nomor 9 Beredar Kamis, 8 Januari 2009] 

Komentar: 
Jarang saya mengcopy pastekan berita2 koran, sudah ada teman lain 
melakukannya. 
Baru saja saya membaca berita internet, sambil menonton tv mengenai 
perang di Gaza. Benar-benar mengenaskan, susah menceriterakannya 
dengan kata2. Rasanya sungguh wajar adanya demonstrasi untuk 
menghentikan perang tsb. Kasihan anak-anak itu.


Reply via email to