Dominasi, Persatuan dan Perbedaan
   
  ”ngga mesti kan yang dominan selalu dipaksakan?” (Moses Sitepu)
   
  "Persatoean Ditjari , Per-sate-an jang Ada" (Hatta, kiriman Carlos Patriawan)
   
  Milis berkembang, manusianya juga demikian. Dari postingan Moses Sitepu dan 
Carlos Patriawan terlihat jelas pengarahan pandangan terhadap ’persatuan’ dan 
’perbedaan’, filosofis maupun praktis, meninggalkan pemahaman tradisionil yang 
sangat mendalam dipengaruhi terutama oleh way of thinking feodalisme Jawa. 
Kekuasaan feodal di masyarakat feodal adalah kekuasaan tyran otoriter, dan 
revolusi Prancis meruntuhkannya secara total di Prancis. Di Indonesia 
perjalanan proses perkembangan sejarah revolusi ini sangat berbeda dengan 
Prancis. Revolusi Agustus 1945 tidak menyinggung kekuasaan otoriter feodal, dan 
keragaman perkembangan semua daerah juga tidak sama, banyak bagian diluar Jawa 
yang bahkan belum sampai ketingkat perkembangan feodalisme. Beragam tingkat 
perkembangan begini adalah salah satu sebab utama mengapa dinegeri kita 
otoritarisme feodal lebih bisa bertahan dan bahkan berkembang subur sampai 
maksimal di era Suharto, kombinasinya dengan kekuasaan militer juga sangat
 harmonis. Saya katakan maksimal karena proses perkembangan otoriter feodal ini 
sudah mencapai puncaknya, selanjutnya menurun di era reformasi bersamaan dengan 
peningkatan dan perkembangan demokrasi seluruh Indonesia dan dunia, dan yang 
jelas juga tercermin di milis kita (kita patut bangga juga). 
   
  Karena penjajahan adalah dominasi maka dominasi juga adalah penjajahan, 
perumusan yang tidak perlu diragukan pikirku. Dan penjajahan adalah sumber 
utama ketidakadilan yang pada gilirannya pasti akan mendatangkan perselisihan, 
sengketa dan perang. Kita mengenal penjajahan Belanda, artinya bangsa lain 
datang menjajah alias mendominasi. Tetapi kita enggan melihat atau mengenal 
dominasi etnis sebagai penjajahan. Sifat ketimuran kita menjadi sebabnya, 
begitulah saya sering menafsirkan fenomena ini. Saya sering katakan  dengan 
istilah internal-colonialism. Tetapi berapa orang dari etnis dominan yang 
percaya kenyataan internal-colonialism ini. Berapa orang dari etnis Aceh 
(terutama pejabat propinsi) yang mau melihat bahwa dominasi mereka atas 
etnis-etnis lain di NAD adalah praktek internal-colonialsm. Dan bahwa pemaksaan 
MoU GAM kepada etnis-etnis lain serta penolakan keras penguasa Aceh atas 
permintaan pemekaran propinsi ALA dan ABAS adalah pencerminan pemikiran 
mempertahankan
 internal colonialism etnis dominan Aceh atas etnis-etnis minoritas lainnya. 
Mengapa orang Aceh tidak percaya bahwa orang Alas, Gayo, Tamiang dll bisa 
mengurus dirinya sendiri? Bukankah ini adalah lanjutan dari pemikiran kolonial 
Belanda atau pemikiran otoriter feodal Belanda Wilhelmina ketika itu? 
   
  Orang Aceh sering bilang bahwa dengan pemisahan maka orang-orang Gayo, Alas 
dan lain lainnya tidak akan dapat lagi uang dari hasil alam Aceh yang kebetulan 
terletak di daerah etnis Aceh. Tetapi orang Gayo bilang mau berdiri sendiri 
adalah lebih penting dari uang hasil alam NAD, artinya kebebasan lebih penting 
dari duit dibawah dominasi orang Aceh. Orang Gayo bisa membangun dan memajukan 
sendiri daerahnya, mengembangkan ekonomi dan menghasilkan duit. Analogi seperti 
ini banyak di Indonesia, dimana propinsi induk didominasi oleh etnis dominan 
tertentu. Contoh yang sudah bebas dan berkembang relatif baik ialah Gorontalo 
dari dominasi Manado, Banten dari dominasi Sunda dan Babel dari dominasi orang 
Sumsel. 
   
  Contoh lainnya yang sudah terjadi lebih lama ialah pemekaran Sumatra Tengah 
yang tadinya didominasi/hegemoni etnis Minang. Etnis Minang sangat logis cara 
berpikirnya, dan juga melihat jauh kedepan, dengan sukarela melepaskan 
hegemoninya dan akhirnya bikin Sumbar yang relatif maju pesat dengan 
orang-orangnya yang sangat dinamis, rajin dan cekatan. Demikian juga propinsi 
lainnya ex Sumatra Tengah, berusaha berkembang maju dan bergairah, tanpa 
didikte oleh etnis lain. Pembebasan dari dominasi alias penjajahan adalah 
syarat penting untuk membebaskan perkembangan pikiran etnis dan memajukan 
daerah dengan penuh kegairahan, termasuk bagi etnis yang mendominasi,  
menggunakan semaksimal mungkin the power of identity dan pelestarian budaya. 
   
  Perkembangan dengan problem yang sama terjadi juga di Sumut, dengan dominasi 
Tapanuli terutama hegemoni orang Tapsel/Mandailing sejak kemerdekaan. Tetapi 
sudah terlihat perkembangan positif, dengan keinginan memekarkan Sumut jadi 
Protap, Tabagsel, Propinsi Karo atau Sumtim dan Propinsi Nias. Atau kalau Nias 
mau bergabung dengan salah satu tapi atas dasar sukarela, tidak ada paksaan 
’otoriter’ feodal. Dengan demikian di Sumut juga sudah ada tanda-tanda yang 
sangat menggembirakan, menghilangkan internal-colonialism untuk selama-lamanyha 
dari bumi Sumut dan membangun tempat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah 
bagi setiap etnis dan memungkinkan untuk mengerahkan secara maksimal kekuatan 
identitas tadi (the power of identity) untuk membangun dan ’membesarkan’ dan 
mengembangkan daerahnya seperti yang sudah terjadi di ex Sumatra Tengah. 
   
  ”Persatoean Ditjari” kata Hatta, sangat mendalam pengertiannya. Persatuan 
tidak akan didapatkan atau ditemukan seperti menemukan warung sate atau 
persatean. Persatuan dicari, harus ada usaha mencari atau kalau istilah 
sekarang kita sering pakai, perjuangan. Persatuan ditemukan lewat perjuangan.  
Saya teringat pepatah Minang bilang ”cabiak-cabiak bulu ayam”, atau pepatah 
Karo ”Caingi muat jilena”, keduanya menggambarkan pertentangan atau kontradiksi 
dalam proses pendekatan sesuatu persoalan, atau dalam proses pencarian solusi 
suatu masalah dalam way of thinking Minang dan Karo. Keduanya menggambarkan 
perkembangan dialektis hal-ihwal, bahwa pertentangan atau kontradiksi ada dalam 
setiap proses perkembangan, atau dpl kontradiksi adalah tenaga penggerak 
perkembangan itu sendiri. 
   
  Perjuangan melawan Belanda telah membentuk persatuan antara kita. Belanda 
pergi . . . masih adakah persatuan? Pemuda/mahasiswa bersatu menjatuhkan 
Suharto, setelah Suharto lengser . . . masih adakah persatuan pemuda/mahasiswa? 
Jawabnya tidak ada! Persatuan datang lagi kalau dicari lagi, proses pencarian 
adalah terus-menerus tidak pernah berhenti, karena persatuan bukan persatean 
yang dimana saja bisa ditemukan terutama kalau musim sate. Tes-antites-sintes, 
pernah ditulis Hegel menjelaskan perkembangan hal-ihwal termasuk pikiran 
manusia. Saya biasa tulisken dengan istilah tenang-kacau-tenang lagi atau 
order-disorder-order lagi. Atau dalam soal persatuan tadi maka, 
persatuan-perpecahan-persatuan akan berjalan terus menerus. Perkembangan 
menurut lingkaran spiral, artinya peningkatan kualitas dari setiap persatuan 
baru. Persatuan Indonesia setelah Belanda lengser tidak sama dengan persatuan 
ketika kita berperang mengusir Belanda. Memimpikan persatuan lama tentu percuma 
dan
 sia sia saja. 
   
  Di Aceh ada pesatuan ketika bersama melawan kononial Belanda. Sekarang ada 
perpecahan karena etnis-etnis lain yang bergabung dalam ALA dan ABAS mau bebas 
dari NAD bikin propinsi sendiri. Setelah ada 3 propinsi maka akan ada lagi 
persatuan atau kerjasama baru antara 3 propinsi tetapi sudah dalam tingkat yang 
lebih tinggi, artinya secara kualitatif tidak sama dengan persatuan lama 
dibawah dominan etnis Aceh atau GAM. Sama halnya akan terjadi dengan Sumut, 
persatuan dengan kualitas yang sama sekali baru akan muncul dengan pemekaran 3 
propinsi, karena disini prinsip keadilan: saling mengakui, saling menghormati 
dan saling menghargai sesama etnis terjadi dalam praktek. Begitu juga prinsip 
berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Ethnicgroups self-assertion and 
ethnicgroups struggling for power sudah tersalurkan sebagaimana mestinya, 
artinya secara manusiawi, logis dan sukarela atau dpl adil. 
   
  Tidak perlu lagi merampok daerah etnis yang satu diserahkan kepada etnis lain 
seperti 9 desa Karo Bangun Purba diserahkan kepada Melayu Erri Nuradi atas 
persetujuan mesera gubsu Rizal Nurdin, Bupati pendatang Amri Tambunan dan 
sepupu Rizal sendiri, untuk membentuk atau memekarkan Sergai pisah dari 
Deliserdang. Juga tidak perlu lagi menghalang-halangi pemekaran Delihulu atau 
Serdanghulu seperti sekarang diusahakan mati-matian oleh Amri Tambunan (juga 
gubsu?). Untuk apa lagi dia bikin begitu kalau sudah ada tugas dia yang lebih 
bermanfaat yaitu ’marsipature hutanabe’ membangun Protap atau Tabagsel. Atau 
adakah yang lebih penting baginya selain membangun daerahnya dan mempercayakan 
kepada etnis lain membangun daerahnya sendiri pula? 
   
  Persatuan harus dicari, tidak ditemukan seperti persatean. Persatuan harus 
dicari karena yang sudah tersedia ialah perbedaan. Perbedaanlah yang sudah 
selalu tersedia, tanpa dicari. Tidak mengakui perbedaan adalah ilusi, dan tidak 
mengindahkan perbedaan adalah berbahaya alias bermain dengan api. Dan itulah 
yang sudah terjadi banyak dalam politik nasional maupun internasional pada masa 
era perang dingin. Perbedaan etnis (kultural) diabaikan atau dipinggirkan dalam 
era negara nasional (tentu ada juga sebabnya atau prosesnya). Perang etnis 
dalam era erthnic revival dunia tidak terhindarkan. Begitu juga korban jutaan 
manusia termasuk anak-anak dan wanita ikut disembelih. Perang etnis adalah 
bentuk perang yang sangat kejam tak berperikemanusiaan. Pertama karena ini 
adalah pembalasan dendam (kultural) yang sudah puluhan tahun bahkan ratusan 
tahun terpendam. Ethnic revival atau cultural revival atau revolusi besar 
kebudayaan etnis-etnis dunia hanya menanti percikan apinya. 
   
  Ratusan tahun dominasi Tutsi atas Hutu di Rwanda. Ratusan tahun dominasi 
etnis Aceh atas etnis Gayo dll, sampai istilah Gayo saja baru terdengar 
sekarang, dan Pusat sampai MoU Helsingki sama sekali tidak mengerti kalau di 
NAD ada Gayo atau Alas. Setengah abad dominasi dan hegemoni Tapanuli/Mandailing 
di Sumut sampai kasus Juma Tombak ketua MA Bagir Manan tidak mengetahui bahwa 
disana ada etnis yang namanya Karo dan bahwa Karolah yang memiliki hak ulayat 
tanah, dan bahwa yang mengadu dan minta tanda tangan kepadanya adalah pendatang 
dari Tapanuli (6 orang ketika itu) yang ingin ngasak daerah Karo tidak bedanya 
dengan politik pendatang kolonial Belanda lewat perkebunannya di Sumtim yang 
dilawan keras oleh pahlawan Datuk Sunggal Badiuzzaman Surbakti selama 23 tahun 
(Perang Karo Deli/Langkat 1872-1895). Pendatang sekarang juga mau meneruskan 
politik kebun kolonial itu atas bantuan tanda tangan Bagir. 
   
  Mengetahui sejarah etnis termasuk usaha dalam mengetahui perbedaan etnis. 
Janganlah berusaha bikin pesatuan sebelum ada usaha mengetahui perbedaan. 
Mempersatukan tanpa melihat perbedaan itu namanya fasis, atau otoriter feodal 
tadi. 
   
  Dan, alangkah indahnya mengetahui perbedaan. 
   
  Enda ka lebe
  Bujur ras mejuah-juah
  MUG
  ..

       
---------------------------------
Låna pengar utan säkerhet.
Sök och jämför hos Yahoo! Shopping.

Reply via email to