Penglalama kalak Dayak didepan dunia barat: 
"pernah kutarik perhatian peserta pada soal politik nasional tentang 
sukubangsa, tapi tak mendapat sambutan dan tanggapan. Sia-sia hingga 
aku merasa diriku sedang melakukan "pertunjukan konyol".

Pengalaman yang sama saya hadapi di Eropah tentang Karo. Lain adi 
kita ngomong 'Jawa' sebagai etnis atau sebagai pulau, tidak peduli, 
tapi orang tetap mendengarkan. Gundari enggo ka tambah 
istilah 'Bali', kerina si nandai gia la tehna enda daerah Indonesia. 
Soal sideban si lebih penting ibas persoalen idatas emkap soal 
politik nasional pemerintah pusat Jakarta atas sukubangsa Indonesia. 
Kebodohan pusat soal suku bangsa atau daerah, atau biasa kukataken 
pengetahuan-daerah pusat yang sangat minimal, sampai sekarang pun 
masih bikin persoalan. 
Sitik enggo ka lit perubahan gundari enca ethnic revival dunia, 
perang etnis si enggo sempat makan korban jutaan, i Indonesia perang 
Sampit, Sambas, Poso, Maluku.  
Perang menyelesaikan banyak soal, termasuk pengakuan atas etnis 'tak 
berdaya dan tak berarti' seperti Dayak atau Karo. 
Tapi kalau terus menerus harus diselesaikan dengan perang akan 
terlalu banyak makan korban. Untuk menghindari ini pertama dan 
terutama penguasa pusat harus mempertinggi 'pengetahuan-daerahnya'. 
Bagepe antar etnis memberlakukan saling mengakui, saling 
menghormati, saling menghargai, didaerah yang utama menghilangkan 
internal-colonialism oleh satu etnis atas etnis lain yang lebih 
kecil atau lebih lemah. Etnis dominan di Sumut berusaha mensabot 
pemekaran Karo jadi propinsi, sama halnya orang Aceh menghalangi 
pemekaran ALA dan ABAS. Pusat jadi mandul atau tertipu (MoU GAM-RI) 
karena pengetahuan-daerahnya yang minimal tadi. 

Bujur atas postingannya JG
MUG
--



--- In tanahkaro@yahoogroups.com, Juara Ginting <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> ----- Forwarded Message ----
> From: Kusni jean <[EMAIL PROTECTED]>
> To: [EMAIL PROTECTED]
> Sent: Saturday, 29 December, 2007 7:34:07 AM
> Subject: <<Jambore Kebudayaan>> kronik dokumentasi wida: politik 
nasional tentang suku bangsa
> 
>  
> Kronik Dokumentasi Wida:
>  
>  
> POLITIK NASIONAL TENTANG SUKU BANGSA
>  
>  
> Untuk melanjutkan sekolah, sejak lepas SD yang dulu bernama 
Sekolah Rakjat [SR],  aku terpaksa meninggalkan rumah orangtua di 
Kasongan, Katingan, Kalimantan Tengah [Kalteng]. Waktu itu Kalteng 
belum  menjadi sebuah propinsi tersendiri. Untuk mendapatkan status 
sebagai pronpinsi tersendiri, demi kepentingan mereka sendiri, 
setelah melihat darah yang dicucurkan untuk mengibarkan Merah Putih, 
tidak memberikan arti apa-apa secara nyata, maka orang-orang Dayak 
terpaksa juga, dan lagi-lagi terpaksa, melancarkan pemberontakan 
bersenjata di bawah pimpinan Gerakan Mandau Talawang Pancasila 
dengan semangat Dayak "Isen Mulang" [ tak pulang perang jika tak 
menang]. Presiden Soekarno lalu memanggil Tjilik Riwut ke Istana. 
Tjilik Riwut adalah pimpinan pasukan payung AURI pertama yang 
diterjunkan oleh Republik Indonesia di bawah nama sandi MN 1001, 
yang kemudian diabadikan dalam filem "Kalimantan Berjuang" oleh 
seniman-seniman filem Cekoslowakia [waktu itu  Ceko dan
>  Slowakia masih jadi satu negara], dengan Bambang Hermanto 
sebagai  pemain utama dari Lembaga Filem Lekra.  Tjilik Riwut, 
sepertinya hal dengan Kahar Muzakar, adalah  seorang anggota Lasjkar 
Anak Seberang di Yogyakarta dan kenal dekat sejak lama dengan 
Soekarno, Jendral Sudirman dan Suryadarma.  
>  
>  
> Pagi-pagi pada saat makan pagi, Tjilik Riwut ditemani oleh mantan 
Kapten [semasa gerilya melawan Belanda]  Tiyel Djelau,   sudah 
berada di Istana Merdeka. Begitu berjumpa tanpa dipersilahkan duduk, 
Presiden Soekarno langsung bertanya setengah menuding Tjilik 
Riwut: "Kau  memberontak ya?!". Tjilik Riwut dan  Tiyel Djelau 
menatap tajam mata Soekarno, kemudian berkata: "Saya dan teman-teman 
sudah mempertaruhkan kepala untuk Republik ini. Jika Bung Karno tak 
percaya saya, saya keluar sekarang. Tak usah bicara apa-apa lagi". 
Tjilik Riwut dan Tiyel Djelau segera mau balik belakang. Mau 
meninggalkan Istana Merdeka. Melihat sikap demikian,  Bung Karno 
lalu surut dan mengajak dua putera Dayak duduk dan berbicara sungguh-
sungguh tentang soal Kalteng. 
>  
>  
> Pemberontakan Dayak pada waktu itu untuk mendapatkan status 
propinsi tersendiri setelah boyak , tak sabar dan tak tahan lagi 
atas sedotan alam mereka secara tak semena-mena dan orang setempat 
tak mendapatkan hasil apa-apa, sampai SD, SMP apalagi SMA jadi 
sesuatu yang mewah, memperlihatkan "ada sesuatu yang tak beres" 
dalam politik nasional suka bangsa penyelenggara negara. 
Pemberontakan adalah jawaban terhadap politik etnik yang diturunkan 
oleh kendaraan politik nasional. Asap pemberontakan lokal bermula 
dari api yang dinyalakan oleh Jakarta. Pemberontakan adalah jawaban 
langsung balas-berbalas dari daerah terhadap pusat. "Api dihadapi 
dengan api, mata dihadapi dengan mata" , jika menggunakan istilah 
Jendral Ch Van Tân dari Viêt Bac, Vîêt Nam Utara.
>  
>  
> Tiga dasawarsa kemudian, aku balik kampung. Menengok Katingan 
sungai pengasuhku sebagai guru kecil di sebuah universitas dikirim 
oleh salah satu universitas di Jenewa. Kesempatan ini kugunakan 
maksimal untuk melihat keadaan secara langsung jauh sampai jauh ke 
hulu-hulu berbagai sungai. Kesimpulanku pada waktu itu dan kutulis 
secara terbuka di harian lokal terkemuka "Kalteng Pos" dan lain-lain 
penerbitan lokal, serta  kuucapkan pula di depan rupa-rupa pertemuan 
besar tingkat propinsi bahwa: "Orang Dayak sakit dan bingung. Orang 
Dayak sekarang bukan lagi orang Dayak dahoeloe".  Yang lebih 
mencemaskan, terutama angkatan mudanya, sekali pun tinggal di 
Kalteng, mereka asing dari Kalteng. Terkesan padaku bahwa mereka 
banyak -- pada waktu itu bahkan sebagian besar yang kutemui, terbius 
oleh suatu mimpi ajaib, tersihir oleh keadaan yang tidak mereka 
pahami sehingga mereka tidak lagi menjadi Dayak sebagai "Utus 
Panarung". Banyak segi yang niscaya disentuh untuk
>  memahami keadaan begini. Tapi di sini aku membatasi diri pada apa 
yang terjadi pada keluarga besarku dalam memberi nama pada anak-anak 
mereka. Ada yang menamakan anak mereka dengan Robert Kennedy, ada 
pula yang menamakan anak-anak mereka dengan nama Jawa.
>  
>  
> "Mengapa mesti memilih nama Jawa?", tanyaku penuh rasa ingin tahu 
latarbelakang pikiran mereka.
>  
>  
> Aku dijawab secara terus-terang: "Jawa kan mayoritas dan banyak 
jadi penguasa.. Jawa kan begitu lahir menyebut dirinya Islam?  Dan 
berkuasa pula. Asal etnik dan agama kan sangat menentukan dalam 
mencari serta mendapatkan kerja". Keterangan ini seakan mau 
mempertontonkan ada penindasan sejenis kolonialisasi bangsa oleh 
bangsa kita sendiri.  Dan mengenai soal pemberian nama kepada anak, 
jika orang mengenal daerah, akan segera manggut-manggut mengerti, 
tidak lebih dari satu titik kecil sangat kecil yang bisa dengan 
gampang dicarikan contoh-contoh lain lebih besar. Betapa pun kecil, 
soal memberi nama mengangkat soal hakiki dan mendasar. 
>  
>  
> Jauh sebelum mengganasnya konflik etnik dan daerah, dalam 
pertemuan INGI di Merryland , Amerika Serikat, pernah kutarik 
perhatian peserta pada soal politik nasional tentang sukubangsa, 
tapi tak mendapat sambutan dan tanggapan. Sia-sia hingga aku merasa 
diriku sedang melakukan "pertunjukan konyol". Barangkali aku 
dianggap asing. "Yak-yak o", ujar orang Jawa.  Lalu ketika bekerja  
jadi guru kecil di sebuah universitas Kalteng, konflik besar 
berdarah berulangkali meletus. Aku langsung berada di tengahnya. Di 
tengah genangan darah dan airmata, kendati tangis ditahan bagai 
segukan. Tapi luarbiasanya, apabila orang bicarakan tentang konflik-
konflik pada waktu itu, orang   lebih banyak bocara tentang 
eksotisme  peristiwa, yang sangat laku diperdagangkan dan merupakan 
adegan-adegan menarik di masyarakat pertunjukan [la société du 
spectacle, the spectacle society]. Apakah laporan dan pemberitaan 
tipe demikian bukannya contoh kongkret dari masyarakat pertunjukan
>  yang dangkal dan dahsyatnya pengaruh "uang sang raja" [l'argent 
roi] itu?  Manusia jadi barang dagangan?.
>  
>  
> Kembali aku melihat, setelah sekian dasawarsa RI bereksistensi, 
masalah politik nasional terhadap soal daerah dan  suku bangsa,  
masih saja belum diselesaikan oleh penyelenggara negara.  Aku tidak 
tahu, apakah masalah ini tidak mendesak untuk sebuah negeri, bangsa 
dan negara yang sangat bhinneka? Tapi yang sering kusaksikan bahwa 
ujaran  Tiongkok Kuno  "yang menabur angin akan menuai badai" memang 
sungguh kerap terbukti.****
>  
>  
>  
> Paris, Desember 2007
> ------------ --------- -------
> JJ. Kusni, pekerja biasa Di Koperasi Restoran Indonesia Paris.
> 
> 
> 
>       __________________________________________________________
> Sent from Yahoo! Mail - a smarter inbox http://uk.mail.yahoo.com
>


Reply via email to