Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sempat 
menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat di waktu yang 
lampau sempat dihentikan pembahasannya oleh DPR. Namun ternyata, 
setelah mendapat banyak pertentangan RUU ini tetap diajukan untuk 
disahkan menjadi undang-undang setelah mengalami beberapa perubahan, 
termasuk perubahan judul menjadi RUU Pornografi.

Selain pembahasannya agak luput dari perhatian masyarakat dan juga 
menampung aspirasi masyarakat ternyata tidak terjadi perubahan yang 
substansial dari RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang lalu. RUUP 
ini masih sarat dengan beberapa masalah yang menjadi titik keberatan 
masyarakat di waktu yang lalu, misalnya beberapa pasal dalam RUU ini 
masih mengancam eksistensi hidup bersama karena menyangkut persoalan 
identitas dan keyakinan sebagian rakyat Indonesia, khususnya dari 
daerah-daerah yang tidak memandang ketelanjangan seseorang menjadi 
suatu permasalahan serius. Bukan hal yang mustahil kalau hal ini 
akan kembali memunculkan sentimen Disintegrasi Bangsa.

Pornografi memang semakin merebak belakangan ini terutama dipicu 
oleh kekuatan kapitalisme yang bersinergi dengan kemajuan teknologi 
informasi dan komunikasi. Pornografi kini bisa dikonsumsi semua 
orang tanpa memandang batas usia dan tempat. Dari anak-anak hingga 
masyarakat yang hidup di pelosok-pelosok desa, kini bisa mengakses 
pornografi melalui internet, VCD porno yang beredar secara gelap 
maupun telepon "esek-esek".

Hal ini tentu sangat menguatirkan. Namun, menghadapinya dengan 
pemberlakuan RUU Pornografi ini sangat sarat masalah atas beberapa 
pertimbangan berikut:

1. Perumusan Pornografi pada pasal 1 RUU ini masih sangat multi 
tafsir dan jauh dari kejelasan. Hal ini tidak memenuhi azas 
kejelasan rumusan sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 5 Undang-
Undang Penyusunan Hukum. Misalnya ungkapan "yang dapat membangkitkan 
hasrat seksual" adalah berbeda-beda bagi setiap orang, sehingga cara 
seseorang berjalan pun bisa dikenakan pada ungkapan ini. Demikian 
pun halnya dengan istilah "tampilan yang mengesankan ketelanjangan" 
(Pasal 4 poin d) Dalam menafsirkan istilah-istilah yang tidak jelas 
akan terbuka kemungkinan setiap orang menginterprestasikannya dengan 
akibat justru tidak tercapainya kepastian hukum.

2. RUU ini mengesankan seolah-olah akar segala persoalan yang 
menghantar bangsa Indonesia pada kemerosotan moral terletak pada 
seksualitas dan erotisme. Jadi kalau masalah ini diselesaikan dengan 
sendirinya persoalan moral juga beres. Tujuan pengaturan pornografi 
dengan pendekatan hukum. Membangun moralitas masyarakat dengan hukum 
positif akan menempatkan negara pada posisi yang sangat menentukan 
pun dalam hal-hal yang bersifat privat. Jika demikian halnya 
bukankah negara akan menjadi negara totaliter? Pertanyaannya adalah, 
sampai seberapa jauhkah wewenang negara mengawasi warga negaranya? 
Apakah negara juga berwenang menentukan mana yang boleh dan yang 
tidak boleh dibaca oleh warga-negara? Tidakkah dengan demikian, kita 
menolong negara menjadi sebuah negara totaliter? Menjadi persoalan 
adalah, apakah negara juga memiliki wewenang untuk menentukan 
standard moralitas tersebut sampai memasuki wilayah personal? Dan 
kalau ya, batasan atau standard siapakah yang akan digunakan? Kalau 
Negara begitu kuatnya dalam menentukan moralitas personal, dimanakah 
peran lembaga Keluarga, Pendidikan dan Agama?

3. Adanya pengecualian pada pasal 7 dan 14 akan mengaburkan 
substansi RUU ini. Hukum dengan pengecualian akan menimbulkan 
diskriminasi dan sangat rawan terhadap manipulasi dan korupsi.

4. Tidak menghargai keragaman perspektif, terutama kekayaan ekspresi 
social budaya tradisional maupun kontemporer, baik komunal maupun 
personal yang ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan 
demikian kepelbagaian budaya yang sangat beragam akan tereliminir 
oleh pemberlakuan RUU ini menjadi Undang-Undang. Padahal Pasal 28 
dan 32 UUD 1945 nyata-nyata memberikan jaminan akan keragaman budaya 
ini dan merupakan identitas serta hak masyarakat. Penegasan akan 
kebebasan mengekspresikan keragaman budaya tersebut dikuatirkan akan 
menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat. Sementara itu, tujuan 
reformasi kita adalah terwujudnya sebuah civil-society di negeri 
kita. Salah satu cirinya adalah kedewasaan warga negara di dalam 
menyikapi berbagai keberagaman.

Oleh karena beberapa pertimbangan diatas, maka kami menolak 
diberlakukannya RUU Pornografi ini menjadi Undang-Undang.

Kami menyadari adalah suatu kebutuhan akan pengaturan dan penertiban 
tentang pornografi. Namun, yang dibutuhkan adalah penertiban dan 
pengaturan distribusi yang lebih bertanggung-jawab atas produk-
produk pornografi serta penegakan hukum yang tegas terhadap 
pemberlakuan Undang-Undang yang telah ada terkait dengan masalah ini 
seperti UU No.8 Tahun 1992 Tentang Perfilman, UU No.40 Tahun 1999 
Tentang Pers. UU No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dan UU No.23 
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Kiranya keberatan atas keberadaan RUU Pornografi ini hendaknya tidak 
disalah-pahami sebagai menyetujui Pornografi.

Ditulis ulang Pdt Masada Sinukaban

KESAKTIAN PEDULI GENERASI INDONESIA

Diangkat/diambil dari Website KWI : Internet www.mirifica.net

PGI : Persekutuan Gereja-gereja Indonesia


http://kesaktianpeduligenerasi.blogspot.com

Kirim email ke