Salam ka saderek sadayana

Sim kuring kaleresan dikirim rerencangan artikel nu aya di republika perkawis 
mentalitas jawa sareng sunda. Abdi salaku urang sunda asli rada "kaseureud" 
yeeuh. Sapertosna nu nulisna asa ngagudahan pandangan negatif ka urang teh. 
Punten, sanes bade mamanas, tapi hoyong nginformasikeun yen masih aya masyarakt 
nu sok nganggap goreng orang sunda. Cik, hoyong terang kumaha komentar baraya.

Baktos,
Rispi 


Mentalitas Jawa dan Sunda 
( Zaim Uchrowi ) 

''Indonesia sulit maju,'' kata seorang teman. ''Kenapa?'' tanya saya. ''Sebab, 
lebih dari 70 persen penduduknya adalah Jawa dan Sunda,'' jawabnya. Saya 
ternganga, sampai ia menjelaskan lebih lanjut.
Menurutnya, mentalitas orang Jawa dan orang Sunda bukan mentalitas orang yang 
siap maju. Hal itu terlihat dari ungkapan yang banyak dipakai orang-orang dari 
kedua suku ini. Orang-orang Jawa disebutnya sering menyebut kata ''nek'' atau 
''gek'', yang berarti ''kalau'' sebagai sebuah pengandaian tentang sesuatu yang 
mungkin terjadi di masa depan. Orang Jawa sering mengucap ''nek ngono mengko 
piye ...'', ''nek ngene mengko piye ...'' yang berarti ''kalau begitu nanti 
bagaimana...'', ''kalau begini nanti bagaimana....''
Orang-orang Jawa berpikir begitu panjang. Seluruh kemungkinan di masa depan 
telah dipikirkan dari sekarang. Pada satu sisi, hal tersebut baik. Banyak 
persoalan telah diantisipasi jauh hari menyangkut akibat yang mungkin terjadi. 
Dengan demikian, jika akibat itu benar terjadi, mereka telah siap untuk 
menghadapinya.
Namun, di sisi lain, banyaknya kemungkinan yang dipikirkan di masa depan sering 
membuat takut melangkah. Ibarat seorang tak punya rumah yang tak kunjung punya 
rumah karena takut memikirkan kemungkinannya di masa depan. Bagaimana kalau 
gentingnya bocor, bagaimana kalau ada pencuri, apalagi kalau rumah itu habis 
terbakar. Begitu banyak kemungkinan yang dipikirkan hingga orang itu tak berani 
melangkah untuk punya rumah.
Sikap itu tampak dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar orang Jawa pasrah 
pada keadaan yang dimilikinya. Mereka tidak akan berusaha keras mengejar 
sesuatu karena kalau gagal akan terasa sangat menyakitkan. Mereka tidak siap 
gagal. Akibatnya, pencapaian rata-rata orang Jawa kalah bila dibanding etnis 
lainnya. Misalnya dengan rata-rata pencapaian orang Batak, apalagi dengan 
keturunan Tionghoa. 
Orang Jawa tak mau berbuat keliru, dan sangat khawatir keliru. Itu membuat 
komunikasi orang Jawa tidak baik. Orang Jawa tidak pandai mengekspresikan 
perasaan sendiri, apalagi kalau harus mengatakan tidak. ''Bagaimana nanti kalau 
orangnya tersinggung.'' Kalimat demikian banyak diucapkan. Orang Jawa menuntut 
orang lain paham bahasa isyarat. Kalau terpaksa harus mengomentari orang lain, 
paling dengan cara menyindir. ''Jadi, bagaimana orang Jawa bisa maju?''
Sebaliknya, orang Sunda cenderung malas berpikir panjang. Istilah yang banyak 
dikatakan adalah, ''kumaha engke ...'' yang berarti ''bagaimana nanti ....'' 
Jalani dan nikmati hidup seadanya seperti air mengalir yang akan menemukan 
jalannya sendiri tanpa perlu diatur-atur. Ingin sekolah ya sekolah, ingin main 
ya main, ingin kerja ya cari kerja kalau dapat. Kalau tidak dapat ya sudah, 
''can nasib'' atau ''belum nasibnya''. 
Nanti cari lagi. Ada uang, nikmati saja sepuasnya. Uang habis tidak apa-apa. 
Usaha lagi seperlunya, atau minta bantuan saudara. Tidak berhasil tidak 
apa-apa. ''Can nasib.'' Ingin kawin, ya kawin saja biar pun pekerjaan belum 
mapan, penghasilan juga pas-pasan. Ingin kawin lagi, ya kawin lagi saja. Kan 
boleh dalam agama. Anak banyak, bermunculan saban dua tahun, tidak apa-apa. Tak 
perlu ada kesiapan buat merencanakan masa depannya. ''Kumaha Gusti wae ....'' 
Terserah Tuhan sajalah. ''Jadi, bagaimana orang Sunda bisa maju?''
Dengan mentalitas begitu, kemiskinan Jawa yang sangat besar tak kunjung 
berkurang. Sedangkan kemiskinan Sunda (serta Banten dan Betawi sebagai 
kerabatnya) terus membesar dengan kecepatan luar biasa. Anehnya, kita 
menganggap fenomena itu fenomena biasa, dan kadang malah menganggapnya sebagai 
sikap pasrah pada Allah SWT sesuai tuntunan agama. Padahal, ''pasrah pada 
nasib'' sangat berbeda dengan ''pasrah pada Allah''. 
Pasrah pada Allah SWT adalah membuat perencanaan hidup sebaik-baiknya, bekerja 
keras untuk mewujudkan perencanaan itu, serta selalu optimistis terhadap hasil 
yang akan diberikan Tuhan pada kita. Reshuffle kabinet boleh-boleh saja. Tapi, 
bila sungguh-sungguh ingin membuat bangsa ini dan bangkit sesuai semangat Hari 
Kebangkitan Nasional, rombak dulu mentalitas bangsa ini secara revolusioner. 
Untuk itu perlu revolusi mentalitas orang Jawa dan Sunda sebagai mayoritas 
penduduk bangsa ini. 
http://www.republika.co.id


       
____________________________________________________________________________________Give
 spam the boot. Take control with tough spam protection in the all-new Yahoo! 
Mail Beta.
http://advision.webevents.yahoo.com/mailbeta/newmail_html.html 

Reply via email to