Saha nu kungsi make bendo? Kuring mah kungsi sababaraha kali, ari aya dulur 
deukeut kawin. Cenah dijaman kolonial mah,  bendo teh wajib dipake ku pagawe 
negeri (ambtenar) kaasup guru. Meureun lamun jaman ayeuna mah siga "saragam 
Korpri". Para Pagawe negeri  bumiputera di jaman kolonial teu meunang make 
pakean barat, tapi kudu make pakean nu nunjukkeun identitasna salaku 
bumiputera, warga nagara kelas tilu.

Aturan nu ngawajibkeun make pakean nu nyirikeun identitas inlander ieu, akhirna 
salah sahiji nu numuwuhkeun sumanget kabangsaan, pangpangna digolongan barudak 
ngora inlander nu meunang pendidikan barat. Kitu cenah ceuk Geonawan Muhammad 
dina Caping Tempo minggu ieu:


Blangkon

Senin, 25 Mei 2009

Apa yang kita ingat tentang 20 Mei 1908? Potret Mas Wahidin Sudirohusodo. Sang 
”dokter Jawa” ini mengenakan blangkon di atas raut mukanya yang tenang; ia 
lulusan STOVIA pada awal abad ke-20 yang bertahun-tahun jadi ikon kebangkitan 
nasionalisme Indonesia.

Tapi ingatan orang ramai tak pernah lengkap. Dalam catatan sejarah Indonesia 
pada masa itu disebutkan bahwa blangkon, surjan, dan kain—dan semua ”pakaian 
daerah” lain—dikenakan para siswa sekolah kedokteran itu praktis bukan sebagai 
pernyataan kebanggaan. Blangkon itu penanda ”inlander”; baju dan songkok itu 
atribut ”pribumi”. Peraturan sekolah menentukan, kecuali yang beragama Kristen, 
anak-anak muda itu dilarang mengenakan jas dan pantalon.

Mereka boleh mendapatkan pendidikan Barat, tapi tak boleh tampak seperti orang 
Barat. Mereka tak disebut ”dokter” penuh. Mereka hanya ”dokter Hindia” atau 
”Jawa”. Gaji mereka di dinas pemerintah dan perkebunan jauh lebih rendah 
ketimbang para dokter Belanda. Jika bepergian, mereka tak boleh naik kereta api 
kelas I—sementara orang Eropa yang berpendidikan lebih rendah boleh duduk di 
sana.

Kolonialisme telah menggabungkan apartheid dengan dalih ”orientalisme” yang 
kedengarannya murah hati: penguasa Hindia-Belanda, kata mereka, hendak 
melindungi ke-”asli”-an para pemuda ”pribumi”.

Tapi para pemuda STOVIA itu merasakan, dari ulu hati sampai ujung kaki, betapa 
palsunya sikap murah hati itu. Mereka pun berontak. Sebab memang tak ada 
diskriminasi tanpa represi, dan tak ada represi yang tanpa diskriminasi.

Syahdan, tiap malam, di kamar-kamar asrama mereka, mereka bertemu. Di sana 
dengan sepenuh hati mereka nyanyikan lagu Revolusi Prancis, dan kata-kata sihir 
Revolusi itu agaknya telah terpahat: libèrté, égalité, fraternité ou la mort.

Mereka memang mengaduh. Mereka memang terkungkung dalam ketiadaan ”kemerdekaan, 
kesederajatan, persaudaraan”. Dan dari protes mereka, mereka ada: mereka jadi 
subyek. Mereka lemah, tapi tekad mereka sebenarnya tak mengherankan. Bung Karno 
berkata dua dasawarsa kemudian: ”…cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget 
kalau merasakan sakit!”

Nasionalisme 20 Mei 1908 adalah bagian dari subyek yang 
”berkeluget-keluget”—subyek sebagai trauma karena rasa sakit, subyek yang 
bergerak untuk menjawab ketiadaan libèrté, égalité, dan fraternité. Dengan kata 
lain, subyek yang lahir karena mencoba lepas dari megap-megap oleh putusnya 
hubungan dengan ”yang-lain”, dengan liyan, manusia yang berbeda tapi disebut 
”sesama”.

Maka nasionalisme 20 Mei itu bukanlah sebuah solipsisme; ia bukan kesibukan 
yang hanya mengakui diri sendiri.

Tentu, nasionalisme itu sikap yang berpihak. Ia partisan. Tapi di sebuah dunia 
di mana ada sesama yang diperlakukan sebagai makhluk yang tak sederajat dan 
bahkan disisihkan, keberpihakan itu tak terelakkan: para nasionalis itu 
berpihak kepada sebuah masa depan ketika tak ada seorang pun yang dihinakan.

Itu sebabnya mereka mengulangi seruan Revolusi Prancis tentang ”kemerdekaan, 
kesederajatan, dan persaudaraan” yang mencakup semua orang. Itu sebabnya 
Revolusi Indonesia melahirkan sebuah mukadimah Konstitusi yang menyebut ”hak 
semua bangsa” untuk merdeka. Mereka menyuarakan tuntutan universal. Seperti 
kaum buruh dalam tesis Marx: proletariat adalah sebuah kelas yang, dari 
situasinya yang terbatas dan tertentu, mengusahakan pembebasan tanpa batas, 
bagi siapa saja dan di mana saja. Dalam arti ini, Marxisme adalah sebuah 
humanisme universal—tapi universalitas yang lahir dari konteks yang spesifik.

Semangat universal ini membuat politik, sebagai perjuangan, jadi panggilan yang 
menggugah. Sebab bukan ”aku berontak, maka aku ada”, melainkan, seperti tulis 
Albert Camus dalam l’Homme Révolté, ”aku berontak, maka kita ada”.

Dalam bahasa Indonesia, ”kita” lebih inklusif ketimbang ”kami”. Bila pengertian 
”kita” lebih menggugah ketimbang ”aku” atau ”kami”, itu karena subyek, sebagai 
trauma, merindukan liyan sebagai saudara yang sederajat dalam kemerdekaan. 
Dengan kata lain, merindukan agar ”kita” ada.

Dari sini solidaritas lahir dan politik—selamanya sebuah gerak bersama—bangkit.

Sejarah menunjukkan bahwa solidaritas itu bisa beragam dan berubah-ubah, sebab 
”kita” adalah pertautan ”aku/kami” dengan ”engkau” dalam multiplisitas yang tak 
terhingga. ”Aku/kami” dan ”engkau” masing-masing hanya seakan-akan tunggal pada 
waktu ke waktu, tapi sebenarnya tak pernah utuh dan selesai dimaknai. ”Kita” 
tak bisa sepenuhnya terwakili dalam organisasi dan identitas apa pun.

Itu sebabnya dari STOVIA, pemberontakan tak berhenti. ”Budi Utomo” dibentuk 
sebagai ”aku/kami”, tapi sejarah pergerakan nasional berlanjut setelah itu. 
Sebab ”aku/kami” bukan hanya dokter-dokter yang diremehkan. Kemudian muncul 
juga ”marhaen”, ”proletariat”, ”pedagang kecil”, dan entah apa lagi. 
Nasionalisme sebagai perjuangan pembebasan tak hanya terbatas pada satu 
kelompok. Bahkan ”nasionalisme” yang merupakan perlawanan terhadap imperialisme 
(dan di sini ia berbeda dari ”nasionalisme” Hitler) hanya bisa setia sebagai 
perlawanan jika ia jadi bagian dari emansipasi dunia—seperti semangat yang 
tersirat dalam lagu Internationale.

Sebab politik pembebasan adalah sebuah proses: ia lahir dari ”aku/kami” yang 
bukan apa-apa menjadi ”aku/kami” yang harus merupakan segalanya. ”Ich bin 
nichts, und ich müßte alles sein,” kata Marx. Dengan kata lain, subyek sebagai 
trauma yang berontak itu harus mencakup semua, siapa saja. Bukan hanya para 
pribumi alias inlander. Bukan hanya mereka yang harus pakai blangkon dengan 
wajah yang kalem.

Goenawan Mohamad
 


      Coba Yahoo! Messenger 9.0 baru. Lengkap dengan segala yang Anda sukai 
tentang Messenger! http://id.messenger.yahoo.com

Kirim email ke