---------- Forwarded message ----------
From: Prasetyo, Budhi <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Jul 30, 2007 10:11 AM
Subject: [jabotabek] Anak-anak, Merokoklah!
To: undisclosed-recipients


*Sabtu, 28 Juli 2007 *

*Anak-anak, Merokoklah! *

*Seto Mulyadi*

Jangan kaget! Ini adalah seruan lantang industri rokok kepada anak-anak dan
remaja kita.

Sayang, banyak orangtua tampaknya masih terlelap dan tidak sadar. Tahu-tahu,
jutaan anak kita telah tercemar asap tembakau dan akan menjadi perokok aktif
di masa depan. Dengan sistematis, industri rokok mengajak jutaan anak untuk
sejak dini mulai gemar merokok.

Coba lihat iklan-iklan rokok di mana-mana, seolah tidak ada lagi ruang
kosong yang ramah anak dan bebas dari dominasi iklan rokok. Mulai dari
billboard, spanduk, umbul-umbul, iklan di media cetak ataupun elektronik,
kaset atau film sampai ke seminar-seminar pendidikan pun tak luput dari
promosi rokok.

Materi iklan pun menunjukkan segmentasi pasar yang dibidik. Bahwa merokok
adalah baik. Merokok identik dengan nikmat, berani, macho, trendi,
kebersamaan, santai, optimistis, penuh petualangan, kreatif, dan segudang
istilah lain lagi yang membanggakan.

Tidak tanggung-tanggung, idola remaja—penyanyi, grup musik, atau para tokoh
yang memenuhi selera pasar konsumen— dilibatkan sebagai model.

Industri rokok paham teori psikologi perkembangan anak bahwa—menurut teori
perkembangan psikososial Erik Erikson—remaja sedang pada tahap the sense of
identity, tahap mencari identitas, termasuk meniru dan mengikuti perilaku
model yang menjadi idolanya. Dengan "serangan" iklan dan menampilkan
identitas yang dicari remaja, otomatis mereka larut dalam pengaruh iklan,
merasa lebih hebat dengan merokok.

Metode komunikasi persuasif yang digunakan pun memakai classical
conditioning, yaitu mengubah sikap dengan mengondisikan antara perasaan
positif dan benda yang diiklankan. Remaja pun tergiur saat disuguhi
pesan-pesan seperti "Apa Obsesimu?", "X-presikan Aksimu!", dan "U are U!".

*Bahan adiktif*

Kalangan industri rokok sering berkilah, iklan rokok tidak akan menimbulkan
perokok baru, tetapi hanya menjaga agar perokok aktif tetap mengonsumsi
produksinya atau agar tidak pindah ke merek lain. Namun, kenyataannya iklan
rokok telah menjebak ratusan ribu anak dan remaja untuk mulai mencoba
merokok, lalu menjadi pengguna tetap yang aktif.

Mereka menutup mata terhadap kenyataan bahwa mengiklankan rokok sama dengan
mempromosikan bahan adiktif terhadap anak-anak. Saat merokok, mereka akan
mengisap sekitar 4.000 racun kimia dengan tiga komponen utama yang
berbahaya, yaitu nikotin, tar, dan karbon monoksida.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tembakau membunuh lebih dari
lima juta orang per tahun, dan diproyeksikan akan membunuh 10 juta sampai
tahun 2020. Dari jumlah itu, 70 persen korban berasal dari negara
berkembang.

Lembaga Demografi UI mencatat, angka kematian akibat penyakit yang
disebabkan rokok tahun 2004 adalah 427.948 jiwa, berarti 1.172 jiwa per hari
atau sekitar 22,5 persen dari total kematian di Indonesia.

Remaja akan tetap menjadi sasaran utama untuk menggantikan perokok senior
yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap rokok, yang konon sekitar 30
juta akan wafat karena penyakit yang berhubungan dengan tembakau.

Coba simak laporan perusahaan rokok di AS, Philip Morris (1981), "Remaja
hari ini adalah pelanggan tetap yang potensial untuk hari esok! Pola merokok
remaja amat penting bagi Philip Morris...."

*Hak anak*

Melalui Sidang Ke-56 WHO, 192 negara anggotanya telah mengadopsi Kerangka
Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco
Control/FCTC) untuk melindungi generasi muda dari kerusakan kesehatan dan
asap tembakau. Pasal 13 FCTC mensyaratkan negara anggota untuk melaksanakan
larangan total terhadap segala jenis iklan, pemberian sponsor dan promosi
produk tembakau, baik secara langsung maupun tidak dalam kurun waktu lima
tahun setelah meratifikasi konvensi.

Sayang, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum
meratifikasi konvensi ini dan belum memiliki undang-undang yang mengatur
dampak bahaya tembakau, sementara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran tetap mengizinkan iklan rokok di media elektronik dengan berbagai
bentuknya.

Ketika kita semua tahu bahwa rokok ialah zat adiktif dan merupakan salah
satu pembunuh hak hidup anak, pemerintah tampaknya belum tegas dalam
melindungi anak dari bahaya tembakau. Padahal UU No 23/2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan, pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk
memberikan perlindungan khusus kepada anak termasuk yang menjadi korban zat
adiktif (Pasal 59). Pasal 89 Ayat 2 menegaskan, "Setiap orang yang dengan
sengaja menempatkan, membiarkan, menyuruh melibatkan anak dalam
penyalahgunaan, produksi atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun…."

Bagaimana nasib RUU Pengendalian Dampak Rokok dan Tembakau yang konon sudah
disetujui 41 persen anggota DPR?

Badan POM mencatat 14.249 iklan rokok tersebar di media elektronik (9.230),
media luar ruangan (3.239), dan media cetak (1.780). Hingga kini, tanpa
kendala, iklan rokok terus mempromosikan bahan yang sarat pelanggaran hak
anak, baik hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, maupun hak untuk memperoleh
perlindungan.

Kongres Anak Indonesia sebagai pemenuhan hak partisipasi anak tahun lalu
telah mendesak pemerintah untuk membatasi iklan rokok di media massa sebagai
bagian dari bentuk kekerasan terhadap anak.

Akankah kita terus membiarkan tingkah pembunuh berwajah santun berkeliaran
di mana-mana menghiasi ruang-ruang publik kita? Lupakah kita kepada
kesepakatan yang dicanangkan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun
2002 untuk menciptakan a world fit for children?

Tampaknya kita semua harus jujur untuk berani mengakui bahwa kita belum siap
untuk memenuhi hak anak, agar nantinya mereka bisa berkata, "Tubuhku sehat,
jiwaku kuat, siap menjadi pemimpin masa depan!"

Seto Mulyadi *Ketua Komnas Perlindungan Anak*

*http://www.kompas.com/kompas-cetak/0707/28/opini/3717553.htm*


Reply via email to