NOTE: Kolom ini dimuat Republika Minggu, 26/3/06. 

[SELISIK]

Hukum Bestseller di Indonesia
-----------------------------
>> Anwar Holid


BERDASAR TULISAN Ajip Rosidi pada Prisma April 1979 istilah 'bestseller' di 
Indonesia betul-betul
mulai memperlihatkan wujud ketika novel seperti Karmila (Marga T.) dan Kugapai 
Cintamu (Ashadi
Siregar) terbit. Karmila dalam lima tahun sudah cetak ulang sembilan kali, 
dengan tiras 5.000 kopi
sekali cetak; jadi pada 1979 kira-kira sudah terjual 45.000 kopi---sementara 
Kugapai Cintamu enam
kali cetak ulang. Sebelumnya, sekitar 1968, istilah bestseller baru mulai 
digunakan untuk menyebut
buku yang dinilai amat laris dalam waktu singkat, terutama untuk novel-novel 
karya Motinggo
Boesje; tapi ternyata sekali cetak kira-kira 2.000 - 3.000 kopi.

Lebih dari seperempat abad kemudian (2006), kita menyaksikan ternyata industri 
penerbitan di
Indonesia hanya melonjak sedikit saja. Pada Juli 2005, The Jakarta Post 
menurunkan rangkaian
laporan khusus tentang fenomena chick lit dan teen lit. Saat itu, juara 
bestseller-nya adalah
Fairish (Esti Kinasih), terjual kira-kira 66.000 kopi. Pada koran itu Hetih 
Rusli---seorang editor
di PT GPU---menyatakan sebuah novel bestseller rata-rata laku 1.000 kopi per 
bulan. Bila
kondisinya istimewa, misalnya buku tersebut difilmkan atau dijadikan serial 
televisi, pejualannya
bisa naik jadi 5.000 kopi per bulan. Bila dikira-kira, sambil dipengaruhi 
berbagai faktor, pada
Maret 2006 ini mungkin Fairish sudah terjual 100.000 kopi.

Ada fakta lebih dahsyat lagi. Menurut harian Republika (26/2/2006), buku ESQ 
dan ESQ Power (Ary
Ginanjar) terjual 300.000 kopi. Atas kesungguhan dan dedikasi mengubah 
moralitas bangsa demi
membangun masa depan yang lebih baik, Ary terpilih sebagai favorit Tokoh 
Perubahan 2005 versi
harian Republika. Kita bisa mengira-ngira, pembeli terbesar buku itu adalah 
peserta training ESQ
yang dia kembangkan; saat ini sudah tercatat 140.000 orang mengikuti training 
itu, 18.000 di
antaranya guru.

Tentu saja ada peningkatan dari data 1979 dan 2005/6 itu, tapi silakan 
bandingkan dengan jumlah
penduduk Indonesia. Menurut sensus penduduk 2000, penduduk Indonesia kira-kira 
berjumlah lebih
dari 206 juta jiwa. Dilihat dari sana, terasa bahwa daya beli buku masyarakat 
Indonesia ternyata
biasa-biasa saja.

DENGAN BERBAGAI kecanggihan, konsumerisme, serta pengaruh budaya pop yang 
melanda masyarakatnya,
Indonesia ternyata masih gagal menciptakan buku bestseller yang terjual satu 
juta kopi. Kondisi
ini membuat sebagian orang dengan tegas bilang, penyebabnya ialah karena budaya 
baca bangsa
Indonesia masih amat rendah, ditambah kita masih merupakan masyarakat berbudaya 
lisan. Saya
berseberangan dengan pendapat itu. Saya lebih yakin bahwa budaya baca bangsa 
Indonesia sudah
tinggi, tapi berdaya beli buku amat rendah. Buku dan berbagai bacaan lain pasti 
masuk dalam urutan
terakhir daftar belanja sebagian masyarakat kita, kalau perlu diabaikan atau 
berusaha dapat
gratisan saja. Sebagian golongan masyarakat Indonesia yang telah mapan 
berbudaya baca menunjukkan
bahwa budaya baca kita cukup bagus. Perhatikan koran. Katakanlah koran 
Indonesia sekarang jumlah
halamannya rata-rata 24; tampaknya boleh percaya diri dinyatakan bila seseorang 
mampu baca 12
halaman per hari saja, itu sudah termasuk banyak. Belum ditambah baca e-mail, 
baca berita di web,
cari informasi ketika browsing, baca SMS, dan akhirnya baca buku. Tingkat melek 
huruf masyarakat
Indonesia pada 1995 sudah mencapai 84 %, untuk sebuah negara berkembang, ini 
cukup menggembirakan.
Yang harusnya jadi prioritas dipecahkan dan dipikirkan ialah cara meningkatkan 
daya beli buku,
produktivitas cetakan, termasuk meningkatkan pendapatan.

Berdasar berita dan pengakuan sejumlah pelaku bisnis penerbitan, sekarang ini 
(2006) penerbit
Indonesia rata-rata mencetak 3.000 kopi per judul---jumlah ini melahirkan 
istilah yang
dipopulerkan oleh Richard Oh sebagai 'melawan kutukan 3.000 eksemplar.' Bila 
yakin atau ada
jaminan pembelian, penerbit berani cetak antara 5.000 - 10.000. Bagi penerbit 
kecil, standar 3.000
kopi ternyata sangat sulit dipenuhi. Mereka hanya berani atau mampu mencetak 
antara 1.000 hingga
1.500 kopi per judul. Penerbit kecil butuh dua generasi agar bukunya bisa lepas 
dari 'kutukan
3.000 eksemplar', dengan jaminan judul tersebut laku, tidak menumpuk di gudang 
atau toko buku.
Tapi karena persaingan sangat ketat, sekadar mejeng di toko buku pun sekarang 
amat sulit bagi
sebuah buku. Begitu dalam seminggu tak laku, mereka dipaksa lagi masuk kardus, 
biar dijemput
majikan, kalau tidak diretur---dinamai 'gatot', singkatan gagal total. Jangan 
heran ada banyak
judul yang gagal laku setelah dua tahun terbit, meski hanya dicetak 1.500 kopi. 
Mereka tidak saja
karatan di rak-rak, tapi lumpuh dan nanti harus tahan berjubel di gudang, siap 
dikencingi tikus
atau kecoak, sebelum entah kapan akhirnya dikilo oleh pemiliknya.

Sebuah judul bisa dikatakan sehat bila terjual rata-rata 200 kopi per bulan; 
dengan begitu dalam
satu tahun penjualan kira-kira terjual 2.400 kopi. Kondisi ini tentu 
menyedihkan sekali. Padahal
sebagian buku, misalnya terbitan sendiri, hanya dicetak 500 kopi. Jadi bila ada 
buku dicetak
berkali-kali, kita harus tahu berapa kopi setiap naik cetak; bila antara 1.000 
- 1.500 kopi,
kondisinya ternyata masih persis lebih dari seperempat abad lalu. Ini 
mengerikan. Lebih mengerikan
lagi bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sekarang ini. 

Kita juga masih kesulitan mengetahui data akurat tentang kondisi bestseller 
Indonesia, hanya media
tertentu yang mampu menghimpun data dari berbagai toko buku dan konsisten 
menyajikan per bulan,
antara lain Kompas dan Matabaca, minus rincian jumlah. Bila memperhatikan 
berbagai versi
bestseller di luar negeri, ketahuan kita belum punya standar. Bestseller versi 
The New York Times,
yang oleh kalangan penerbit diakui paling terkemuka, mencantumkan daftar 
berdasar rata-rata
penjualan pada survey sejumlah toko buku dan distributor buku pilihan, bukan 
total jumlah
penjualan. Pada 1982---yakni 24 tahun lalu---toko buku yang disurvey ada 2.000, 
ditambah 40.000
outlet masing-masing distributor. Normalnya daftar The New York Times 
mensyaratkan sebuah buku
hardcover harus terjual paling sedikit 70.000 kopi dalam waktu relatif singkat; 
jumlah edisi
paperback lebih mencengangkan lagi. 

Kondisi ini belum terbayang akan terjadi di Indonesia, sama sekali. Entah harus 
berapa generasi
atau menolak dengan jampi-jampi apa agar industri buku kita bisa lepas dari 
‘kutukan’ ini. Kondisi
ini jelas mengisyarakatkan agar seluruh stakeholder industri perbukuan 
bersama-sama berupaya
memperbaiki dan meningkatkan kinerja, baik dari segi kualitas terbitan, 
produktivitas, promosi,
pemasaran dan penjualan, termasuk mempersuasi masyarakat lebih giat belanja 
buku.[] Jumat, 24
Maret 2006 4:57:00

END NOTE: Ada sejumlah hal lain yang sebenarnya menarik digali untuk mengetahui 
lebih akurat
kondisi bestseller di Indonesia. Misalnya fenomena FLP; sebagai organisasi, 
tampak FLP berhasil
menciptakan trend dan pangsa pasar sendiri, contohnya buku Ayat-ayat Cinta 
(Habiburrahman El
Shirazy), yang terpilih sebagai novel terbaik FLP dan Islamic Book Center 2006. 
Lebih dari itu,
buku itu terjual lebih dari 70.000 eksemplar. Bagaimana cara menciptakan sebuah 
bestseller? Apa
penyebab paling utama buku jadi bestseller? Apa karena kebetulan atau 
betul-betul didukung promosi
dan pemasaran yang tepat? Di sini masukan berbagai kalangan berharga.


>> Anwar Holid, eksponen TEXTOUR Rumah Buku Bandung.

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid,  Panorama II No. 26 B  Bandung 40141  | 
Telepon: (022) 2037348 
| HP: 08156-140621  | Email: [EMAIL PROTECTED]


Never underestimate people. They do desire the cut of truth. 
Jangan meremehkan orang. Mereka sungguh ingin kebenaran sejati.

© Natalie Goldberg
----------------------------------------------------------------------
Esai, resensi, artikel, dan lebih banyak tulisan. Kunjungi dan dukung blog 
sederhana ini:

http://halamanganjil.blogspot.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 





Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke