Angklung Daeng Sutigna, Setiola, dan Diksafoon

Seabad lampau, tepatnya 13 Mei 1908, Daeng Sutigna lahir di Ciamis. Sekitar
30 tahun kemudian namanya terkenal karena gagasannya yang orisinal yakni
mengubah angklung tradisional yang pentatonik menjadi diatonik. Waditra
angklung yang pada masa itu identik dengan pengamen, telah dia angkat
harkatnya menjadi alat musik yang diterima di dunia.

Dari Kabupaten Kuningan tempat Daeng bekerja sebagai guru, suara angklungnya
yang membawakan lagu-lagu nasional maupun Barat dari pop sampai klasik,
mulai menggema hingga ke corong radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio
Omroep Maatschappij) dan VORL (Vereeniging voor Oostersche Radio Luisteraar)
Bandung. Dalam buku biografinya Mengangkat Derajat Angklung yang ditulis
Endang Tatang Sumarsomo bersama Erna Garnasih (putri kedua Pak Daeng)
dikatakan bahwa pada tahun 1940 Pak Daeng bersama rombongannya sempat tampil
di Schouwburg Pasar Baru Batavia, sebuah gedung kesenian bergengsi pada masa
itu. Sejak itulah nama "Angklung Pak Daeng" tersebar ke seluruh dunia dan
Daeng Sutigna segera beroleh julukan "Bapak Angklung".

Di samping angklung Pak Daeng, di tahun 1950-an telah muncul pula dua orang
yang punya gagasan untuk memodernkan musik angklung, yakni Bapak Aspawi dan
Max Emil Diks. Aspawi Setiamiharja, demikian nama lengkapnya, sebenarnya
bukan pemusik. Dia hanya seorang guru kerajinan tangan yang sama-sama
mengajar dengan Pak Daeng di sekolah yang sama. Sejak tahun 1937 kedua orang
ini punya hubungan akrab dalam hal musik angklung modern. Kalau Pak Daeng
menggarap bidang musiknya maka Aspawi mengerjakan soal yang berhubungan
dengan teknisnya.

Pada masa itulah timbul gagasan Aspawi untuk memodernkan angklung. Boleh
jadi dengan pertimbangan bahwa angklung Pak Daeng dalam memainkannya
melibatkan banyak orang maka Aspawi di saat itu mulai berpikir lebih
praktis. Dirancanglah sebuah alat musik mirip piano yang di dalamnya
terdapat seperangkat waditra angklung. Seperti halnya piano, alat musik ini
pun hanya memerlukan seorang pemain.

Pada tahun 1957, alat ini berhasil dirampungkan dan diberi nama Noklung
(piano-angklung). Pak Daeng, dengan penuh perhatian, menyambut hasil karya
sahabatnya ini, bahkan dia mengusulkan agar nama Noklung diubah menjadi
Setiola, yang nama penciptanya dilibatkan. Hanya dalam waktu beberapa bulan,
Aspawi telah menghasilkan dua buah Setiola yang masing-masing bernada
pentatonik dan diatonik. Kemudian bagaimana cara membuat Setiola telah dia
ajarkan pula di sekolah tempat dia mengajar.

Sementara itu, di Bandung, dalam waktu yang sama seorang WNI keturunan
Belanda, Max Emil Diks juga telah merancang sebuah alat musik piano
angklung. Berbeda dengan Pak Aspawi, profesi Diks adalah ahli mereparasi
barang-barang elektronik dan berbakat musik. Dia bisa memainkan beberapa
waditra musik. Pada masa itu dia adalah pemimpin dari sebuah band remaja
"The Hot Jumpers".

Seperti halnya Aspawi, gagasan Diks untuk memianokan angklung juga
berlandaskan alasan yang sama. Konon pada suatu malam, Diks yang rumahnya
tak jauh dari tempat tinggal Pak Daeng, sedang duduk di ruang depan sambil
menikmati suara angklung Pak Daeng ketika melatih anak buahnya. Di saat
itulah, sementara perhatiannya dipusatkan kepada lagu "Sarinande" yang
sedang dimainkan rombongan tersebut, pikirannya menilai betapa repotnya
memainkan angklung ala Pak Daeng yang memerlukan puluhan pemain. Sejak
itulah dia terus memikirkan bagaimana caranya memasukkan seperangkat
angklung ke dalam sebuah piano yang bisa dimainkan oleh seorang pemusik.
Dengan kerja kerasnya, dalam waktu dua pekan terciptalah sebuah alat musik
mirip piano. Untuk menggerakkannya dia pergunakan elektro motor berkekuatan
1/12 PK dan seperangkat angklung yang dia beli dari Pak Daeng. Dalam piano
berukuran 3 x 1 meter ini terdapat 41 not (3 setengah oktaf) sehingga bisa
memainkan berbagai jenis lagu, dari pop sampai klasik seperti ciptaan
Strauss dan Beethoven. Dan, akhirnya dia memberi nama hasil ciptaannya
Diksafoon (Diks adalah namanya sendiri, foon artinya suara).

Penemuan waditra musik Setiola dan Diksafoon sesungguhnya merupakan sebuah
kejutan dalam dunia musik Indonesia masa itu. Pada akhir tahun 1950-an,
kedua alat musik ini sempat dipopulerkan lewat media massa dan demonstrasi
yang diselenggarakan untuk umum, sekalipun dalam kalangan terbatas. Akan
tetapi, upaya ini kurang memperoleh perhatian dari masyarakat maupun
pemerintah. Kehadirannya seolah-olah tidak populer dan akhirnya menghilang
begitu saja. Diks sempat mencoba membuat Diksafoon berukuran mini dan
mengajukannya ke pemerintah untuk memperoleh perlindungan lewat
undang-undang hak cipta. Bagaimana hasilnya juga tidak diperoleh
keterangan.***

Haryadi Suadi
Pengajar di FSRD ITB, pengamat sejarah musik.

http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=22818

Kirim email ke