Aya nu ngintun ti rerencangan, punten teu disundakeun
> WashWatch > > Kaca Benggala Mawas Diri > > Christianto Wibisono > > BERITA diskusi "Menembus Batas Nalar" yang diselenggarakan atas > kerja sama Menristek, Dharma Mahardika Institute, dan Kelompok > Kompas Gramedia (KKG) sangat menarik. Karena menurut laporan Kompas, > 24 Februari, cukup banyak pakar yang melakukan mawas diri secara > mengharukan. Prof Sudjoko dari ITB, misalnya, mengecam elite > chauvinis yang belum apa-apa mempertontonkan watak dan mental buruk > dalam menilai bantuan asing mengatasi bencana tsunami. > > "Ketika itu tidak ada kata terima kasih terhadap bantuan asing, yang > secara suka rela membantu mengevakuasi mayat hingga membangun > kembali sekolah yang rusak. Belum apa-apa kita sudah curiga. Sarat > prasangka, melarat fakta," kata Prof Sudjoko. > > Nono Anwar Makarim seperti biasa dengan cemerlang membedah masalah > pokok bangsa ini, yang hanya pandai bicara the what secara umum, the > why yang selalu menyalahkan bekas penjajah, dan the who yang > mengandalkan kualitas pribadi. Sementara the how, bagaimana > mengatasi masalah secara profesional dan berkelanjutan. Mereka juga > masih terus paranoid akan bahaya disintegrasi karena itu paling > gampang menghasut rakyat dengan motivasi xenophobia. > > Diskusi itu membahas terjemahan buku Donald B Calne, guru besar > neuroscience yang berjudul Within Reason: Rationality and Human > Behavior. Kirkus Review dalam ulasannya mengutip Calne yang > mempertanyakan hubungan pendidikan dengan kebajikan. > > Kalau pendidikan membawa wisdom atau kebijaksanaan, kenapa Jerman > yang melahirkan Bach, Beethoven, Brahms, Goethe, Leibniz dan Kant, > bisa menjadi bangsa pelaku holocaust dengan kebencian dan > pembantaian Yahudi? > > Menurut Calne, di samping rasio, manusia masih dikuasai naluri > hewani (insting) dan juga dorongan atau motivasi lain seperti > ketegaran beragama. Rasio bisa mendiskreditkan agama, tetapi agama > tetap tumbuh dan kebutuhan manusia akan agama tetap "sangat kuat". > > Setelah diskusi buku Calne, sebagian pakar yang tergabung dalam > Freedom Institute memasang iklan satu halaman di Kompas, Sabtu 26 > Februari, mendukung kenaikan harga BBM dengan alasan mengurangi > subsidi BBM. Maka jadilah Kwik Kian Gie, satu satunya Don Kwik-xote, > mengikuti jejak Don Quixote, 400 tahun yang lalu. > > Pertanyaan Kwik sederhana, apakah benar production cost minyak bumi > itu mengakibatkan harga jual BBM harus dinaikkan? Apa bukan karena > pemerintah selaku wakil pemilik (rakyat) migas, merasa sayang harus > menjual minyak dengan harga rendah, sedang kalau dijual ke luar > negeri memperoleh harga pasar US$ 50 per barel (bergantung pada > fluktuasi). Pertanyaan Kwik itu tidak pernah dijawab tuntas oleh > Menkeu, Men ESDM dan Menkominfo. > > Jadi kalau Nono Makarim bicara soal the how, sebetulnya pertanyaan > Kwik ini harus dijawab tuntas. Kenapa rakyat Indonesia tidak boleh > menikmati minyak dengan harga "lebih murah" ketimbang bangsa lain > yang tidak punya minyak? Jadi apa gunanya kita punya harta karun > migas? > > Itu mirip dengan pertanyaan anak pedagang bakso, kenapa tidak boleh > makan bakso. "Kamu makan tempe saja, lebih murah, supaya baksonya > bisa dijual, dan dari keuntungan bisa beli tahu, dan masih sisa > tabungan untuk sekolah. Kalau baksonya kamu makan, kita tidak punya > penghasilan dan kamu tidak bisa makan apa-apa," jawab bapaknya. > > Mungkin jawaban sederhana itu bisa memuaskan anak kecil. Tetapi, > soal harga migas dan apakah migas bisa dipakai sebagai faktor > comparative advantage tidak pernah didiskusikan tuntas. Selalu > dipakai alasan kalau harga BBM lebih murah, nanti diselundupkan. > Lho, mestinya kan si penyelundup yang ditangkap, bukan harganya > dinaikkan. > > Harga bensin di seluruh dunia memang berbeda. Eropa memang > mengenakan pajak yang tinggi, sehingga harga bensin di benua itu > hampir tiga kali harga bensin di AS yang hanya US$ 2 per galon > (empat liter). Memang harga bensin di Indonesia sekarang masih > seperempat dari harga bensin di AS, tapi pendapatan per kapita AS > kan 35 kali rakyat Indonesia. > > > > > WALHASIL, jawaban dan logika Kabinet Yudhoyono masih tetap sama > dengan jawaban Waperdam III Chairul Saleh dan Dirut Pertamina Ibnu > Sutowo, ketika menghadapi demonstran KAMI pada 1966. Harga bensin > lebih murah dari es sirup, karena itu harus dinaikkan, kata dua > pejabat itu di depan massa yang dipimpin Cosmas Batubara dan Sofyan > Wanandi. > > Sekarang, sudah 40 tahun sejak demo mulai digelar awal tahun 1966. > Cosmas Batubara malah sudah lengser dari jabatan menteri, dan sudah > ada kabinet baru. Tetapi, soal klasik BBM ternyata masih tetap sama > dengan skenario tahun 1965. Kalau begitu, apa gunanya Soeharto > bercokol 32 tahun dan sekarang gonta-ganti empat presiden dalam > tujuh tahun kalau the how soal BBM masih tetap sama dengan logika > tahun 1965? > > Nalar elite dan pakar rupanya sudah berhenti dan tidak pernah > berkembang. Pelakunya saja yang berbeda. Tapi cara berpikir Chairul > Saleh tetap survive di zaman kabinet Yudhoyono. Semuanya ingin > jualan minyak dengan harga internasional sebagai "dagangan" dan > bernalar dengan logika tukang bakso yang menyuruh anaknya rela > berkorban makan tempe, sebab bakso itu satu-satunya nafkah. > > Barangkali ada alasan lain yang mungkin lebih bernalar. Cadangan > migas kita tidak besar, dan kebutuhan kita akan migas barangkali > tidak bisa dipenuhi dari hasil domestik. Kita harus belajar membeli > migas dan kalau kita tidak punya migas, maka tentu tidak bisa minta > harga murah walaupun dari "saudara tua Arab". Karena big brother > yang satu itu terkenal sangat pelit dan sulit dimintai pengertian. > > Atau, perlu dipikirkan bagaimana menggali sumber energi nonfosil > agar tidak bergantung hanya pada minyak bumi. Masalah ini juga > sulit, karena orang seperti Presiden Bush saja tidak terlalu serius > memikirkan diversifikasi energi agar tidak bergantung pada minyak > Arab. > > Kolumnis Thomas Friedman termasuk yang paling getol menulis agar AS > memproklamirkan kemerdekaan energi. Tetapi, entah kenapa elite AS > juga kurang begitu bergairah untuk memikirkan energi alternatif, > walaupun secara politik dan sekuriti sangat bergantung dan rawan > terhadap pergolakan Timur Tengah sebagai penghasil minyak. > > Bahkan tetangga dekat Venezuela yang pemasok kedua terbesar di AS > juga sangat lihai melakukan politik gertak sambal dan anti-AS secara > terbuka. Presiden Hugo Chavez selalu ingin mengusik AS dengan > kontrak pembelian senjata dari Rusia, RRC, dan dukungan terhadap > Kuba dan Fidel Castro. Venezuela bisa bertingkah dan merasa punya > bargaining power karena AS bergantung pada minyaknya. > > Bondan Winarno menulis dalam "Titik Pandang" minggu lalu, bahwa > tanpa posisi yang kuat, bagaimana kita mau bargaining dengan > Malaysia dan Singapura? Soal TKI, yang butuh adalah Indonesia. Soal > ekstradisi, kepastian hukum Indonesia sendiri mencla-mencle. > > Hari ini dihukum, masih harus tunggu proses kasasi bisa bertahun- > tahun dan selama itu bisa bebas berkeliaran. Si A dihukum karena > kasus yang sama dengan si B. Tetapi si B lenggang kangkung malah, > karena lihai bisa menduduki jabatan politik dan bebas dari dosa. > Sedang si A dikejar-kejar. > > Hal itu berlaku bukan hanya satu dua kasus, tetapi belasan, puluhan > dan ribuan kasus. Yang lolos dan dibebaskan, serta malah naik > pangkat secara mencolok, memang hanya sedikit. Sebagian > yang "menonjol" memang selalu dijadikan kambing hitam gonta-ganti > presiden, dicekal, di-SP3-kan, ditinjau kembali dan dicekal lagi. > > Pendeknya, mirip petak umpet yang tidak jelas kepastian hukumnya. > Bagaimana dunia harus mengikuti hukum Indonesia yang > penuh "politicking" like and dislike dan mengandung unsur instinktif > hewani yang tidak rasional. > > > > DISKUSI "Menembus Batas Nalar" pasti tidak akan bisa menjawab > masalah yang sudah berumur 60 tahun kalau mau diukur dari lahirnya > NKRI. Atau kalau orang masih tetap ngotot ingin menyalahkan penjajah > Belanda maka diskusinya bisa lebih melantur lagi. > > Sementara itu bangsa lain yang lebih muda usia, lebih belakang > merdekanya, malah sudah lebih makmur dan lebih kaya. Karena itu jadi > arogan dan "melecehkan" big brother-nya, yang ibarat saudara tua > yang diberi harta karun dan privilese (hak istimewa) oleh "orang tua > sejarah", ternyata hanya bisa memboroskan warisan migas itu secara > korup dan tidak efisien. > > Akibatnya, bangsa Indonesia benar-benar menjadi bangsa TKI > dan "dependent" karena elitenya tidak pernah ingin mawas diri dan > punya vision yang strategis. Tetapi, syukurlah sebagian elite masih > punya semangat untuk mengupas tuntas kelemahan dan kendala bagi > bangsa ini untuk maju di tengah pergaulan dan persaingan global. > > Yang diperlukan bukan sekadar nalar debat kusir, tetapi hati nurani > dan motivasi untuk membangun karakter, disiplin, produktivitas, > kreativitas, dan sportivitas. Sebab, bila yang dikembangkan adalah > insting hewani, maka bangsa ini hanya menjadi pencemburu, iri, > dengki, culas dan hanya membenci dan mencurigai bangsa lain, tetapi > tidak pernah berani mawas diri secara tuntas dan lugas. > > Itulah pesan di balik diskusi "Menembus Batas Nalar" yang dilaporkan > dengan judul "Bangsa Ini Perlu Lakukan Rekonstruksi Peradaban". > Kolom ini merupakan iuran kecil untuk turun membangun karakter > bangsa ini. > > SUARA PEMBARUAN DAILY ----------------------------- http://www.urang-sunda.or.id ----------------------------- __________________________________ Do you Yahoo!? Yahoo! Mail - Easier than ever with enhanced search. Learn more. http://info.mail.yahoo.com/mail_250 ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/0EHolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/