Tadi isuk maca Kompas saliwatan, headlinena " Perilaku Eksekutif Korporasi 
Dicecar, Sistem Bonus Picu Kebangkrutan dan Krisis Global". Cenah Krisis 
Global ayeuna akibat corobohna para eksekutif dina ngajalankeun bisnis. 
Perilakuna oge goreng, ngabagi-bagi bonus padahal pausahaanna henteu untung 
atawa malah rugi.

Maca warta ieu, kuring jadi inget ka babaturan nu sok sindir-sampir wae. 
Omongna teh pajarkeun pausahaanana rugi (baca BUMN), tapi geuning para 
eksekutifna mah masih mewah-mewahan: Keukeulueyeungan make mobil mewah, maen 
golf teu sirikna unggal poe, imahna tetep sigrong, karyawan biasa gajihna 
galalede, malah nu rek pangsiun di munggah hajikeun heula .......

Ceuk kuring teh, ah manehna mah sok sirik pidik kitu kanu boga milik teh, 
eta teh pan managemen modern tea!

Nyanggakeun wartosna:

Perilaku Eksekutif Korporasi Dicecar
Sistem Bonus Picu Kebangkrutan dan Krisis Global
Kamis, 16 Oktober 2008 | 00:20 WIB
Washington, Rabu - Para eksekutif korporasi keuangan global kini menjadi 
sasaran kritik. Ke depan, sejumlah negara mencanangkan pembenahan gaji, 
bonus, bahkan perilaku para eksekutif.

Hal itu sudah ditegaskan Menteri Keuangan Amerika Serikat Henry Paulson, 
Selasa (14/10) di Washington. Isu serupa dibahas gencar di Uni Eropa, 
Australia, dan sejumlah negara lain. Krisis keuangan global yang terjadi 
sekarang dinilai berawal dari kecerobohan para eksekutif menjalankan bisnis.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon, Rabu (15/10) di 
New York, menegaskan agar perilaku eksekutif diatur. Hal ini mengemuka 
karena perilaku buruk para eksekutif telah memaksa pemerintahan sejumlah 
negara memberikan dana talangan kepada korporasi yang bertumbangan di tangan 
para eksekutif tersebut.

Para eksekutif seperti berlomba-lomba memperkaya diri dengan membagikan 
bonus di antara sesama eksekutif. Hal itu berlangsung di tengah bolongnya 
keuangan perusahaan karena terjebak bisnis berisiko dalam jumlah triliun 
dollar AS.

Risiko ini, antara lain, terlihat dari maraknya penerbitan obligasi oleh 
korporasi untuk dikucurkan sektor bisnis berisiko, seperti sektor perumahan 
AS. Makin tinggi omzet penjualan obligasi, makin tinggi bonus.

Kapitalisme ekstrem

Perilaku eksekutif seperti itu telah mengemuka dan memunculkan amarah para 
pemimpin. Di Canberra, Australia, Rabu, Perdana Menteri Australia Kevin Rudd 
menuduh Wall Street gagal total dalam hal corporate governance (pengelolaan 
korporasi). Wall Street adalah juga julukan bagi korporasi AS, kaliber 
internasional, yang menjadi episentrum krisis keuangan global.

Rudd menuding sistem kapitalisme ekstrem di balik krisis keuangan global, 
yang menggoyang dunia dan melahirkan kepanikan luar biasa pasar uang.

Kini, muncul fenomena di mana para investor tidak percaya lagi kepada 
penasihat investasi mereka. Juga terjadi sikap saling tidak percaya di 
antara sesama eksekutif perusahaan.

Rudd mengatakan, kegagalan sektor keuangan terjadi karena standar yang aman 
dalam pengucuran pinjaman tidak diindahkan, manajemen risiko tidak 
diperhatikan. "Faktanya, sistem pengelolaan perusahaan menopang keserakahan, 
tetapi mengabaikan integritas sistem keuangan. Kegagalan ini tidak saja 
terjadi pada perusahaan kecil, tetapi pada Wall Street, pilar sistem 
keuangan global," katanya.

Sistem bonus dan malus

Dari Frankfurt, Jerman, muncul berita bahwa sistem penggajian para eksekutif 
telah menjadi salah satu pemicu krisis keuangan global. "Para bos di 
industri keuangan seharusnya dihukum dengan pengurangan gaji jika mereka 
menyebabkan kehancuran perusahaan karena menjalankan bisnis yang diwarnai 
dengan risiko berlebihan," demikian proposal yang diajukan Center for 
Financial Studies (CFS), yang memaparkan hasil studi di markas mereka di 
Frankfurt.

CFS didukung 120 lembaga global, seperti bank, perusahaan asuransi, sektor 
industri, dan lembaga pemerintahan. Presiden CFS Otmar Issing adalah mantan 
ekonom senior di Bank Sentral Eropa.

CFS menyimpulkan, sistem pemberian bonus yang berlaku selama ini membuat 
para eksekutif malah dirangsang menjalankan bisnis berisiko tinggi. Namun, 
di sisi lain, jika keputusan mereka soal bisnis telah menyebabkan munculnya 
risiko, demikian CFS, para eksekutif itu tidak mendapatkan hukuman.

"Adalah penting untuk mengubah sistem bonus dengan menghidupkan sistem 
bonus/malus. Hal ini akan bisa merangsang eksekutif menghindari bisnis 
berisiko tinggi," demikian isi proposal CFS yang disiapkan Guenter Franke 
dan Jan Pieter Krahnen dalam tulisan berjudul "Sekuritisasi Masa Depan".

Sistem bonus/malus merujuk pada kelayakan pemberian bonus jika kinerja 
keuangan perusahaan baik dan pemberian hukuman (berupa pengurangan gaji) 
jika para eksekutif berbuat salah. Malus berarti buruh, bonus berarti baik 
dalam bahasa Latin.

Dengan sistem sekarang yang tanpa hukuman, para eksekutif akan mendapatkan 
bonus jika berhasil menjual produk investasi kepada nasabah, investor 
perseorangan, dan kelembagaan, seperti dana pensiun. Lepas dari buruknya 
kualitas produk investasi yang mereka tawarkan, para eksekutif akan 
mendapatkan bonus yang makin besar jika penjualan produk investasi itu 
meningkat.

Reformasi IMF

Krahnen mengatakan, kini bonus sebaiknya hanya bisa diberikan jika kinerja 
keuangan perusahaan relatif baik. "Kami kira ke depan penting untuk 
memperlihatkan kepada para investor soal keberadaan insentif dan 
disinsentif. Ini perlu untuk menjaga perilaku para eksekutif. Hingga 
sekarang, perhatian ke arah itu tidak ada," kata Krahnen, yang juga profesor 
keuangan dari Universitas Frankfurt.

Di Brussels, Belgia, Rabu, PM Inggris Gordon Brown juga menegaskan agar Dana 
Moneter Internasional (IMF) ditata ulang. Ini penting agar IMF makin 
berperan kuat dalam penataan sektor keuangan global. "Ini penting agar ke 
depan krisis serupa tidak lagi terulang. IMF harus diubah sehingga 
keberadaannya pas dengan kondisi terkini dunia modern," kata Brown setelah 
bertemu dengan Presiden Uni Eropa Jose Manuel Barroso.

Brown mengatakan, posisi dan keberadaan IMF tak lagi memadai dengan 
persoalan sekarang. Ia juga menyerukan pentingnya penyusunan sebuah sistem, 
yang bisa memberikan sinyal akan munculnya bahaya dalam perekonomian global. 
(REUTERS/AP/AFP/MON)

sis Global 

Kirim email ke