http://www.liputan6.com/view/8,133665,1,0,1165383754.html
Liputan6.com, Bandung

Sapurasun baraya...
Kuring sok ngaharewos kadiri simkuring dumeh sok seueur titingalian jaman 
ayeuna, ningali ummat Islam anu Demo ngaberantas kamaksiatan/pornografi, 
jorojoy simkuring bingaah pisan aya nu mepelingan pamarentah.
ummat Islam Demo anu korupsi, hate kuring teh roronjatan hayang miluan
ngan dalah kumaha, simkuring mah teubisa ngerahkeun "masa" tuluy mimpin demo 
atawa ilu-iluan demo, kawates tanaga jeung waktuna.

Tapi kunaon ari dina ngabela KaADILAN pikeun melaaan kayakinan batur anu 
dianiyaya ku Pamarentah, ku ummat Islam teu di DEMO, teu di BELA, dirojong 
supaya Pamarentah boga sikep ADIL. Upama Laku teu ADIL Pamarentah kupedah BEDA 
jeung Pamadegannana, ieu tos diemutkeun dina Al-Qur'an Al-Maidah:8. hartosna 
:"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu 
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah 
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku 
tidak adil.  Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan 
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu 
kerjakan".

Upama kupedah beda Pamahaman, Idiologi, Kayakinan jeung Pamadegan dina Ageman 
Hirup, tuluy ku kakuatan, KAKAWASAAN (Petinggi Pamarentah Khussusna Mentri 
Dalam Negeri) anu teu ngaluarkeun Surat NIKAH Asep+Rela warga penganut Aliran 
Kebatinan Perjalanan, padahal secara UUD diakui, Tah tindakan ieu oge parantos 
ngarampas Hak-hak Kamanusaan, Manusa anu Hirupna Widi sinareng Roh tinu Maha 
Hirup (Al-Hayyu) turunan ISLAM mungguh ALLOH SWT (Al-'Arof:172). Da geuning 
syare'atna mah urang gubrag lahir ka Alam Dunya ngagem ngaran Islam teh lain 
menang Mikir, Lain Menang Kahayang lolobanamah meunang TURUNAN, pon kitu deui 
batur, estuning Qudrot sareng Irodatna Alloh dikersakeun Harirup sanes ti 
TURUNAN anu parantos ngagem label Islam.

gerentes harewos dina diri simkuring anu ngagem ngaran Agama Islam hasil menang 
turunan, daraekeun moal kitunya ummat Islam (Dulur saagama simkuring) upama 
diajakan DEMO ka Kantor Catatan Sipil Bandung, tuluy ka Menteri Dalam Negeri 
supaya ngaluarkeun SURAT NIKAH pikeun Warga Nagara anu nyekel pageuh Aliran 
Kebatinan (pira oge kertas catatan Nagara Indonesia) asa moal ngaruksak jeung 
ngarugikeun ummat Islam, paling oge nguntungkeun, cirining Agama Islam teh 
nempokeun ka masyarakat Indonesia yen Agama Islam teh bener-bener jadi Rohmatan 
Lil'alamin nanjerkeun Ka ADILAN di Nagara Indonesia anu Plural.

aeeeeeeeeh, atuh ari Jang Agus Wirabudiman, apannan atuh aya ummat Islam na oge 
Demo ka ummat Islam deui, pedah beda Pamahaman+Kayakinan dina neuleuman elmu 
Islamna, hate simkuring teh anu tadi bungah tur roronjatan hayang DEMO, rada 
mikir deui!!!!????, hate oge rada ngarandeg, pamikiran teh jadi 
muter-ter-ter-ter, dibulak-balik deui komo saparantosna muka pasualan perkawis 
Cep Wirabuana-mah http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/message/108341, 
beuki merod wae hate teh nutadina hayang milu Demo.

duka ketang, etamah gerentes hate simkuring,
mangga, rampeeeeeees
baktos
Agus Wirabudiman

punten teu disundakeun :
http://www.liputan6.com/view/8,133665,1,0,1165383754.html
Liputan6.com, Bandung: Suatu hari sejumlah bocah di perkampungan Karang 
Pawitan, Desa Pakutandang, Cipayung, Bandung, Jawa Barat tampak larut dan 
tenggelam dalam tembang karawitan. Beberapa remaja terlihat antusias 
mengajarkan para bocah berkarawitan yang digelar di sebuah gedung. Kegiatan ini 
bukan suatu yang istimewa dilakukan di perkampungan Karang Pawitan.
Para bocah di daerah yang berjarak sekitar 29 kilometer arah selatan Kota 
Bandung ini berlatih karawitan tiap pekan dan sudah menjadi tradisi turun 
temurun. Seperti orang tua mereka, para bocah ini penganut penghayat 
kepercayaan. Ajaran ini diusung Mei Kartawinata, lelaki kelahiran Bandung lebih 
dari seabad silam.

Ajaran ini didapat hasil perenungan Kartawinata terhadap alam. Salah satunya 
adalah tingkah laku air di Sungai Cileuleuy. Bahkan, pendiri Partai Persatuan 
Rakyat Marhaenis ini juga mempelajari tentang makna hidup dan ketuhanan. Dia 
mengajarkan para pengikutnya untuk menjunjung tinggi budi pekerti dan 
menghormati para leluhur.

Selain mengajarkan anak-anak belajar berkarawitan, pertemuan yang digelar tiap 
pekan juga menjadi ajang silaturahmi dan berdoa bersama. Dalam pertemuan ini 
tidak jarang sesama penghayat menemukan belahan jiwanya. Di antaranya Asepsetia 
Pujanegara dengan Rela Susanti. Benih-benih cinta terus tumbuh seiring 
berjalannya waktu.

Lima tahun silam, tepatnya 23 Agustus 2001 cinta Asep pada Rela dikukuhkan 
dalam sebuah prosesi pernikahan lewat upacara sesuai ajaran yang mereka yakini. 
Kebahagiaan sudah pasti dirasakan dua insan ini. Bahkan keluarga pun turut 
gembira. Kebahagiaan mereka akan sempurna jika perkawinan itu bisa tercatat 
dalam lembar negara.

Namun bukan akta perkawinan yang mereka dapat, melainkan surat penolakan dari 
Kantor Catatan Sipil Kabupaten Bandung. Asep dan Rela pun tak bisa 
menyembunyikan kesedihan mereka. Kedua pengantin baru ini seperti melangkah di 
sebuah lorong gelap. Mereka tidak percaya kebahagiaannya terganjal pintu 
birokrasi. "Sakit hati yang tidak bisa saya lukiskan," kata Asep. Pun demikian 
dengan Rela. "Kecewa," ujar dia.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Bandung berdalih berdasarkan Undang-undang 
Nomor 1 tahun 1965 yang diikuti surat keputusan bersama Menteri Agama dan 
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1969, penghayat kepercayaan bukan agama. 
Kombinasi aturan ini dipagari pula Ketetapan MPR Nomor IV tahun 1978. Atas 
dasar ini perkawinan ajaran penghayat tak dianggap sah oleh negara.

Nasib yang menimpa Asep dan Rela mengusik nurani Profesor Wila Candrawila 
Supriadi, dosen Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung. Dia tergerak membela 
pasangan ini semata-mata karena ingin melindungi hak Rela sebagai perempuan. 
Terlebih mereka telah melahirkan Pramayuda Padmanegara yang praktis hak-haknya 
tak terlindungi karena statusnya tak diakui negara. "Hidup dalam perkawinan 
yang sah adalah hak asasi tiap orang," kata dia.

Asep dan Rela kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara 
Bandung. Tujuan mereka satu: negara mengesahkan perkawinan. Sidang demi sidang 
mereka jalani tanpa kenal lelah. Hasilnya tak sia-sia. Gugatan Asep dan Rela 
dikabulkan. Pengadilan berpegang pada Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang 
menyebutkan perkawinan berdasarkan kepercayaan dianggap sah.

Namun pihak Catatan Sipil ngotot pada keputusan semula. Akta perkawinan tidak 
akan dikeluarkan bagi Asep dan Rela. Bahkan pihak catatan sipil mengajukan 
banding ke PTUN Jakarta. Lagi-lagi majelis hakim mengabulkan gugatan Asep dan 
Rela. Pihak catatan sipil setempat pun diminta segera mengeluarkan akta 
perkawinan pasangan ini.

Ternyata keputusan ini tak membuat pihak catatan sipil mau membuat akta 
pernikahan Asep dan Rela. Bahkan mereka melawan dengan mengajukan kasasi ke 
Mahkamah Agung. Hingga kini, kasus ini masih menggantung karena MA belum 
mengeluarkan putusannya.

Proses pencarian keadilan yang dilakukan Asep dan Rela memang belum jelas 
akhirnya. Tapi dampak yang muncul saat ini adalah keburaman status hukum 
Pramayuda. Anak ini tak dapat pengakuan sebagai anak perkawinan yang sah. 
Kantor catatan sipil menolak memberi akta kelahiran Pramayuda sebagai anak 
hasil pernikahan resmi Asep dan Rela.

I Gede Pantja Astawa, guru besar hukum tata negara Universitas Padjadjaran, 
Bandung, membenarkan tindakan pihak catatan sipil. Namun Pantja mengkritik 
aturan yang membatasi perkawinan hanya berdasarkan lima agama yang diakui di 
Indonesia.

Pun demikian dengan Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahiyangan 
Ismadi Santoso Bekti. Dia meminta pihak kantor catatan sipil mengindahkan 
aturan Mendagri dan lebih mengacu pada aturan hukum yang lebih tinggi yaitu UU 
Nomor 1 Tahun 1974. "Perkawinan itu adalah hak setiap orang," ujar Ismadi 
Santoso Bekti.

Kasus Asep dan Rela mungkin hanya potongan kecil dari begitu banyak yang 
dialami para penghayat kepercayaan. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 
mencatat pada tahun 2003 dari 245 aliran kepercayaan yang terdaftar total 
jenderal penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih. Jumlah ini diperkirakan 
membengkak seiring berjalannya waktu.

Sebagai penghayat kepercayaan banyak dari mereka yang harus berurusan dengan 
ranjau birokrasi yang cenderung diskriminatif. Semua penghayat umumnya memiliki 
kartu tanda penduduk dengan tanda strip di kolom agama. Negara menganggap para 
penghayat kepercayaan tidak menganut salah satu agama yang diakui pemerintah.

Kini, hanya menunggu yang dilakukan oleh Asep dan Rela setelah empat tahun 
mengarungi biduk rumah tangga. Mereka berharap kelak MA menetapkan keputusan 
keabsahan perkawinannya. Asep, arsitek yang piawai mendesain rumah gaya Sunda 
ini tetap berkeyakinan suatu saat pernikahannya bisa diakui negara dan anaknya 
mendapat akta kelahiran.

Ketegaran Asep membuat Rela memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Keahliannya di 
bidang kimia dia lepas. Hidupnya dicurahkan untuk keluarga yang ironisnya tak 
diakui negara. Dia juga telaten mengurus anaknya yang berusia dua tahun. Tak 
seperti anak lainnya Pramayuda menyukai wayang. Tak mengherankan, jika bocah 
ini lebih mengenal tokoh-tokoh wayang ketimbang para jagoan di film kartun atau 
komik.

Kesedihan Asep seolah tak terbendung tatkala mengingat nasib Pram--panggilan 
Pramayuda--yang harus hidup dengan status tidak normal. Asep dan Rela seperti 
orang tua yang gagal memberikan masa depan pada anak kesayangannya. "Persepsi 
orang akan selalu negatif terhadap anak yang lahir tanpa ayah," ucap Asep. Hal 
senada diugkapkan Rela. "Nanti kalau teman-teman tahu, gimana?" ujar Rela 
sambil menangis.

Pram tidak sendirian menelan nasib buruk. Kartika Pramahesti, pelajar sekolah 
menengah atas ini harus merasakan sakitnya dibeda-bedakan. Bahkan oleh gurunya. 
Ketika itu sang guru mencemoohnya karena menjadi penghayat kepercayaan. "Benci 
sih nggak, cuma sebel. Kok dia ngomong gitu," ungkap Kartika.

Garis hidup Pram dan Kartika sebagai anak penghayat kepercayaan tidak 
semestinya membuatnya sulit meraih mimpi dan menggapai cita-cita mereka. Begitu 
pula dengan bocah-bocah lainnya yang hingga kini masih bernasib malang karena 
negara enggan mengakui mereka sebagai anak dari buah perkawinan yang 
sakral.(JUM/Tim Derap Hukum).

Reply via email to