Salam,

Naskah yang ditolak penerbit/penyunting sebaiknya
diapakan ya? 

Langkah paling mudah memang mengembalikannya ke
penulis; baik dengan komentar kenapa naskah itu
ditolak, ditambah saran, atau sekadar surat
pemberitahuan bahwa naskah itu ditolak.

Tapi apa tidak ada alternatif lain tindakan dari
penerbit/penyunting terhadap naskah yang ditolak?
Misalnya didiskusikan agar penulis & penerbit
menemukan cara untuk menerbitkan naskah itu; atau
bahkan mencari strategi tertentu agar naskah itu jadi
sesuatu yang memiliki nilai tawar/keistimewaan; atau
barangkali penyunting/pembaca awal menempuh sudut
pandang baru agar bisa menemukan kelebihan/keunggulan
naskah tersebut. Jadi naskah yang sudah tamat itu
kembali memiliki peluang terbit, meski nanti
penjualannya biasa saja, tidak jadi best-seller atau
sempat diperbincangkan.

Sering aku membaca naskah yang menurutku pribadi tak
bisa diusulkan agar diterbitkan, padahal kadang-kadang
naskah itu sebenarnya sudah utuh, hanya saja belum
'menggerakkan' atau tidak sampai mampu mengesankan aku
sebagai pembaca awal dan segera membuatku berani usul
agar naskah itu segera diterbitkan. Naskah seperti itu
sebenarnya hanya sedikit memiliki kekurangan, tapi
akibatnya tidak jadi terbit. Padahal kalau kita lihat
di pasar, toko buku, toh ada saja buku yang sudah
terbit pun kualitasnya biasa saja, bahkan ada buku
yang diterbitkan tergesa-gesa, punya banyak kesalahan;
lebih parah, bahkan ada buku yang terbit karena
dipesan, ada yang berani bayar agar buku itu terbit,
meski isinya sampah atau kebohongan. 

Sementara naskah yang dipertimbangkan masak-masak, dan
setelah dinilai poinnya biasa saja, akhirnya ditolak,
tak jadi terbit. Satu sisi kasihan penulis; di sisi
lain penerbit juga tak punya kans untuk menerbitkan
dan mengeluarkan judul baru, karena takut nggak laku
atau imagenya buruk. Kan penulis sudah bekerja keras
dan merasa tugasnya menulis satu buku selesai, jadi
dia sendiri mungkin kehabisan ide untuk memperbaiki
naskah itu. 

Memang ada proses penyuntingan/editing dan rewriting
(menulis ulang), tapi aku pikir itu proses yang sulit,
selain menguras energi, waktu dan biaya. Kenapa nggak
diambil langkah lebih sederhana, kalau melihat ada
naskah yang relatif utuh, ada isinya, terbitkan saja,
meskipun ia memiliki kekurangan. Sebab mana ada naskah
yang sempurna? Bukankah ada kesempatan revisi, edisi
baru, bahkan kemungkinan menulis buku lain?

Tapi barangkali memang ada saatnya bahwa tidak semua
naskah bisa terbit. Barangkali tidak semua kerja keras
penulis, yang berhasrat mewujudkan buku, ingin
menerbitkan ide yang awalnya abstrak, hanya di kepala,
berakhir dengan diterbitkannya naskah itu. Persis
petani, kadang-kadang harus gagal panen, meski sudah
kerja keras, beli pupuk, menyiangi, dan seterusnya.
Tidak semua yang berlatih keras akhirnya menang. 

Padahal di sisi lain, bukankah menerbitkan dan menjual
buku itu kadang-kadang sekadar masalah mengemas,
bagaimana cara melakukan strategi marketing, promosi,
dan sales (penjualan) agar buku itu akhirnya dibeli,
diserap masyarakat. Soal isi, terserah pembaca. Mau
bagus, jelek, nggak mengesankan, medioker, yang
penting hitung-hitungan ekonomi dan ongkos produksi
sudah tercapai. Kan setelah terbit penulis puas; di
satu sisi kerja kerasnya membuahkan hasil,
memungkinkan dia mendapatkan keuntungan; begitu juga
dengan penerbit.

Karena itu, barangkali menerbitkan naskah itu nggak
usahlah terlalu banyak pertimbangannya; toh soal
baik-buruk juga relatif. Asal ada poin untuk jadi
alasan kenapa naskah itu layak terbit, terbitkan saja;
sisi kurang naskah itu, masih ada argumen mentah,
narasi yang buruk, nggak usah jadi keberatan/alasan
hingga akhirnya naskah itu gagal terbit.

Setelah sedikit berpengalaman di dunia
penerbitan/penyuntingan, menurutku sendiri, sebenarnya
banyak naskah yang biasa saja, tidak buruk, punya
beberapa keunggulan, 'point selling', tapi karena
kemudian dinilai dengan kriteria 'berat', yang
barangkali masih kabur juga, akhirnya ditolak, dan
penerbit sendiri tak punya keberanian menerbitkannya,
apalagi mencari jalan/strategi agar kelemahan itu bisa
ditutup upaya lain, baik promosi, marketing, dan
seterusnya.
_____
Di luar negeri yang industri bukunya mapan, ada satu
institusi penerbitan bernama 'literary agent'. Salah
satu manfaat paling berguna dari adanya literary agent
adalah mereka membantu penulis menciptakan naskah
sampai layak ditawarkan ke penerbit. Mereka membantu
agar penulis jangan sampai mengirimkan 'unsolicited
manuscripts' ke penerbit, yakni naskah yang sebenarnya
tak diminta, dan akhirnya sangat mungkin tak dibuka
sama sekali oleh penyunting, apalagi sempat dibuka
atau dilirik isinya. Di penerbit yang sudah besar,
naskah menumpuk yang tak sempat dilihat itu namanya
'slush pile', alias 'gundukan lumpur.' Kan kasihan.
Bayangkan, orang menulis dengan harapan diterbitkan,
karena suatu keadaan---apa pun bentuknya---jadi tak
bisa terbit.

(Soal 'literary agent' ini sudah pasti di pasarbuku
ada jagonya, yaitu Femmy Syahrani.)
_____
Jadi naskah yang ditolak penerbit/penyunting sebaiknya
diapakan ya? 

Barangkali teman-teman punya pendapat agar dunia
penerbitan kita tambah semarak, baik oleh judul baru,
penulis baru, atau tema-tema baru. 

Terima kasih atas perhatian Anda semua. 

Wasalam,

Wartax
________________
NB: Maaf bila email tidak berkenan atau isinya buruk.

Stones taught me to fly
Love taught me to cry
Life taught me to die

© 2002, Damien Rice ('Cannonball')


                
____________________________________________________
Start your day with Yahoo! - make it your home page 
http://www.yahoo.com/r/hs 
 





Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to