FYI:

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1003/21/0107.htm

Jangan Mengaku Sunda...


TAK banyak orang membantah tembang Sunda cianjuran sebagai sebuah budaya adiluhung yang terwarisi. Akan tetapi, dalam masyarakat yang semakin pragmatis, mungkin hanya segelintir yang mau peduli. Dengan falsafah, nilai, dan pengembangannya sebagai seni, cianjuran merupakan warisan yang berharga untuk tetap dimumule. Wartawan "PR" Endi Sungkono, Soni Farid Maulana, Ahda Imran, dan Islaminur Pempasa menurunkan laporan tentang tembang Sunda cianjuran pada halaman 8 dan 9. Tulisan Eddy D. Iskandar dimuat di halaman 1 ini, selain juga dilengkapi tulisan Nano S. mengenai "Karawitan tembang Sunda" di halaman 8.

BUDAYAWAN Muh. Rustandi Kartakusumah pernah mengungkapkan pendapatnya yang bisa saja dianggap "berlebihan". Beliau bilang, "Jangan mengaku orang Sunda kalau tidak menangis bila mendengarkan alunan tembang Sunda cianjuran."

Pendapat itu sempat mendatangkan pro dan kontra. Akan tetapi, satu hal yang pasti, para pengamat musik atau yang sangat memahami kualitas musik menilai bahwa tembang Sunda cianjuran termasuk musik yang bernilai tinggi.

Rustandi menyebutnya sebagai musik yang adiluhung karena kualitasnya dinilai melampaui musik lainnya. Pengamat musik Remy Sylado, yang pernah menghadiri acara "Pasanggiri tembang Sunda Cianjuran" sekitar tahun tujuh puluhan di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan, Jln. Naripan, ketika diwawancarai majalah Sunda yang populer saat itu, Gondewa, menganggap kualitas tembang Sunda cianjuran sejajar dengan musik klasik dari Barat seperti Mozart, Bach, atau Beethoven. Begitu juga pakar tembang Sunda cianjuran, seperti Drs. Enip Sukanda, Drs. Apung S. Wiratmadja, Drs. Ubun Kubarsah, bahkan etnomusikolog Drs. Deni Hermawan M.A., sepakat dengan pendapat Rustandi bahwa tembang Sunda cianjuran termasuk kesenian yang bermutu tinggi.

Sebagaimana umumnya kesenian tradisional yang memiliki kekuatan dan kelebihan-kelebihan khusus, tembang Sunda pun termasuk jenis kesenian yang tidak mudah dipelajari, terutama dalam hal mamaos-nya atau liukan tembangnya. Lebih dari itu, sesungguhnya tembang Sunda merupakan rangkuman kekayaan seni-seni yang hidup di Tatar Sunda, seperti pantun, jemplang, jentreng, degung, rancag, wayang, kawih, juga beluk.

Itulah sebabnya, tembang Sunda memiliki karakter berbeda-beda yang bersumber dari karakter seni asalnya, yang lebih tepat disebut bentuk atau wanda. Yang berasal dari pantun disebut papantunan, kemudian jejemplangan (jemplang), dedegungan (degung), rarancagan (rancag), kakawen (wayang), dan yang berasal dari kawih disebut panambih, sedangkan hasil kreasi campuran disebut mangu-mangu.

Bahkan, begitu kayanya akan irama atau gaya dalam tembang Sunda, maka sesungguhnya tembang Sunda tidaklah bisa disejajarkan dengan musik klasik Barat seperti yang disebutkan terdahulu. tembang Sunda rasanya lebih unggul, lebih spesifik, bahkan boleh dibilang tembang Sunda menjadi salah satu identitas kesenian Sunda (Jawa Barat).

Nama "tembang Sunda" sendiri sesungguhnya lebih tepat disebut tembang Sunda cianjuran sebab diyakini berasal dari Kabupaten Cianjur. Tapi secara umum, memang lebih populer dengan sebutan tembang Sunda. Mungkin juga untuk lebih menetralisasi kekayaan tembang Sunda sebab dikenal juga tembang cigawiran dan ciawian.

Dalam referensi irama musik, tembang Sunda juga memang yang paling kaya dengan wanda. Misalnya saja bisa disebut daftar lagu untuk Wanda Papantunan, ada papatet, rajamantri, mupu kembang, randegan, candrawulan, kaleon (sastrawan RAF pernah mengarang judul novel Nu Kaul Lagu Kaleon), tatalegongan, manyeuseup, palanturan (balagenyat), layar putri, kinanti layar, sorong dayung, dan sampiung (pangapungan).

Begitu juga lagu dalam Wanda Jejemplangan, ada jemplang panganten, jemplang pamirig, jemplang cidadap, jemplang titi, jemplang ceurik, jemplang karaton, jemplang karang, jemplang serang, dan jemplang kaputren.

Kedalaman hakiki

Meskipun sekarang ini pertunjukan tembang Sunda sering kita saksikan dalam acara resepsi perkawinan atau di kalangan pejabat tinggi dan dianggap sebagai bentuk hiburan biasa, tapi ajen atau kualitas tembang Sunda tetap dianggap memiliki "nilai kedalaman yang hakiki". Ia dipercaya memiliki kekuatan magis dan spiritual. Sejauh mana kekuatan itu bisa merasuk ke dalam hati sanubari atau batin seseorang, tentu sangat bergantung pada kemampuan seseorang itu dalam mengapresiasi tembang Sunda.

Ada yang menganggap tembang Sunda itu sebagai kesenian menak, yang hanya bisa dinikmati di kalangan menak, dalem, gegeden, atau pejabat saja. Bahkan, lebih ekstrem lagi, tembang Sunda dianggap sebagai musik yang membuat orang malas bekerja, tidak dinamis, dan hanya bisa dinikmati oleh para dalem atau gegeden yang kaya raya, yang sudah terbiasa mendengarkan musik sambil ngalagena karena tak dibebani oleh beban kebutuhan sehari-hari.

Pendapat tersebut segera disanggah oleh seorang pakar tembang Sunda yang sangat disegani, yakni Drs. Enip Sukanda. Menurut Enip, kesenian tembang Sunda memang berasal dari lingkungan dalem atau menak, bahkan yang sangat dikenal adalah Kangjeng Pancaniti ( R.A.A. Kusumaningrat). Akan tetapi, Enip sendiri yang mengaku datang dari kalangan rakyat biasa, mencintai, mengagumi, dan mendalami tembang Sunda justru karena meyakini keluhungan tembang Sunda.

Enip tidak mau berpolemik mengenai status tembang Sunda, apakah datangnya dari kalangan menak atau rakyat kebanyakan. Alasannya, sebagai seorang yang terbiasa menekuni kesenian (musik), ia hanya berpatokan pada satu hal; sejauh mana kehebatan atau kualitas musik tersebut. Bagi Enip, tembang Sunda bukan hanya unggul dalam kualitas, tapi juga memiliki identitas yang khas sebagai kesenian yang hanya ada di Tatar Sunda.

Menyimak awal kehadiran musik tembang Sunda, memang sarat dengan simbol-simbol mistis yang membuat suasana sakral. Misalnya ketika R.A.A. Kusumaningrat menciptakan kecapi untuk tembang Sunda sebagai hasil rekayasa dari bentuk kecapi yang biasa dipakai oleh Ki Juru Pantun, maka kecapi itu diberi nama "Nyi Guling Putih". Konon nama tersebut sebagai simbol perwujudan dari jasad halus "Nyi Pohaci Sanghyang Sri", tokoh mistis Dewi Padi yang memberikan kesuburan pada manusia.

"Kangjeng Pancaniti setiap akan menyelenggarakan (magelarkeun) Mamaos Cianjuran, sangat tertib. Sebelum mulai petikan kecapi, sudah biasa membakar stanggi agar ruangan itu harum semerbak. Kecapi dan para seniman pun ditaburi (diawur) dengan bunga (kembang) melati. Dengan begitu, seluruh ruangan penuh dengan taburan melati. Kebiasaan seperti itu tidak hanya pada upacara resmi, melainkan pada setiap akan mengubah/mencipta lagu baru pun selalu memakai taburan bunga melati." (R. Ace Hasan Su'eb Wawasan tembang Sunda, hlm. 40-41, penerbit Geger Sunten).

Pendapat yang hampir sama dikemukakan juga dalam buku Etnomusikologi, Beberapa Permasalahan dalam Musik Sunda terbitan STSI Press 2002, karangan Deni Hermawan.

"Musik ini biasa dipertunjukkan untuk menghibur tamu-tamu istimewa, seperti pada pesta perkawinan atau pesta khitanan. Meskipun demikian, tembang Sunda bukan hanya sebagai musik sekuler, tetapi juga ada hubungannya dengan dunia metafisik. Maksud tersembunyi dari tembang Sunda cianjuran adalah untuk mencoba mengerti tentang makna kehidupan. Tembang Sunda juga dipandang sebagai jalan mistis, atau sebagai suatu alat untuk berhubungan dengan dunia metafisik (Zanten 1987:1).

Instrumen tembang Sunda cianjuran (kacapi, suling, rebab) dihubungkan dengan mitologi. Suling dan rebab keduanya diasosiasikan dengan suara seorang wanita, disebabkan kedua alat musik tersebut memiliki nada yang relatif tinggi; dan kecapi, sebagai instrumen pokok, juga diasosiasikan dengan seorang wanita" (hlm. 42-43).

Sebagai kesenian yang memiliki kekuatan musikal yang sangat tinggi, sulit rasanya untuk "mengubah" tembang Sunda ke dalam kesenian kontemporer. Bahkan, juga sama sulitnya dengan mengadakan kolaborasi tembang Sunda dengan kesenian modern. Kalaupun pernah dilakukan, tetap saja hadir dengan kekuatannya masing-masing. Padahal, musik klasik Barat justru relatif "lebih mudah" untuk dibuat dalam bentuk musik pop. Salah satu kehebatan tembang Sunda adalah "menyatunya kekuatan rumpaka (lirik) dan irama lagu".

Seorang pengarang rumpaka tembang Sunda, tidak bisa seenaknya dalam memilih kata-kata. Alasannya, kalau bunyi dengung kata tidak selaras, akan terasa camplang, tidak enak didengar. Misalnya kata-kata "waktu" akan terasa janggal ditelinga sebab untuk tembang Sunda lebih terasa musikal wanci. Dalam bentuk lagu pop Sunda bisa saja menggunakan kata tepung taun, tapi dalam tembang Sunda lebih musikal milangkala. Begitu juga rumpaka untuk lagu Sinden akan tepat nineung deui-nineung deui, tapi dalam tembang Sunda langsung menyeleksi sendiri dengan memilih kata panineungan. Boleh saja seniman yang ingin pembaruan ngarempak atau melabrak tatanan, tapi secara musikal kualitasnya pasti akan lebih rendah.

Saya pernah bekerja sama dengan Dasentra, menggarap "Runtuyan Lagu Panghegar tembang Sunda", menggarap lirik yang panjang dan bertutur tentang kehidupan anak muda yang diberi judul "Deudeuh jeung Geugeut". Lagu-lagunya diciptakan oleh Ubun Kubarsah dan Yus Wiradiredja. Saya berusaha untuk memasukkan kata-kata baru yang populer, tapi ketika dialunkan oleh Yus Wiradiredja dan Nina K. Sopandi terasa sekali tidak selaras dengan irama lagu, tidak enak didengar, sebab irama musiknya langsung menyeleksi bunyi kata.

Dari pengalaman itu, saya berusaha mencari ungkapan-ungkapan puitis yang bisa selaras dengan napas yang diinginkan irama lagu. Misalnya saja saya bisa memasukkan ungkapan-ungkapan seperti; "reumis girimis kasedih, "kacapi panggeuing ati", "suling ngagelik ngalanglang", "gandrung galindeng kasmaran", dst. Begitu juga ketika saya menulis rumpaka untuk lagu Panambih "Ukur Cimata" (dialunkan Euis Komariah) dalam salah satu acara Pasanggiri Tembang Sunda, kreativitas dalam memilih kata atau kalimat dipagari oleh pengaruh kekuatan irama musikal.

Umumnya rumpaka untuk tembang Sunda selalu memiliki "kehalusan ungkapan" dan "kekuatan imajinasi melalui kata atau kalimat". Misalnya rumpaka atau lirik lagu Panambih yang ditulis oleh salah seorang tokoh tembang Sunda dari Cianjur, Mang Bakang (Bakang Abubakar) dalam lagu "Jalan Satapak" dan "Lokatmala". Kita juga mengenal beberapa orang sastrawan yang sangat kuat daya ungkapnya dalam menulis lirik tembang Sunda, seperti Wahyu Wibisana, RAF, Hidayat Suryalaga, Zahir Zachri, Apung S. Wiratmadja, dll. Meskipun mungkin pada saat mereka menulis rumpaka tidak seperti penulis rumpaka zamannya Kangjeng Pancaniti, yakni dengan melakukan puasa dan semedi, namun apa yang mereka hasilkan pastilah merupakan sebuah penghayatan yang mendalam, tentu saja dengan sangat memahami kualitas musikal tembang Sunda itu sendiri.

Begitu tingginya ajen tembang Sunda, wajar pula kalau orang-orang yang mampu menguasai instrumen tembang Sunda juga juru mamaos atau penembangnya, tidak terlalu banyak. Bahkan, para penembang yang tetap eksis dan masih tampil hingga sekarang kebanyakan adalah penembang-penembang yang memang telah diakui reputasinya, antara lain Euis Komariah, Tati Saleh, Ida Widawati, Imas Permas, Didin Badjuri, Yus Wiradiredja, Barman Syahyana, hingga generasi Neneng Dinar, Neneng Fitri, dan Ujang Supriatna. Salah satu kaset tembang Sunda yang terbilang legendaris, misalnya kaset maestro penembang Sunda Dadang Sulaeman "Pamayang ti Pajajaran" dan "Guguritan Laut Kidul".

Salah satu hal yang membuat tembang Sunda tetap bertahan hingga sekarang, antara lain disebabkan adanya kecintaan terhadap kesenian tersebut yang muncul dari kalangan para pejabat pemda provinsi dan kabupaten. Mungkin juga karena pengaruh awal kehadiran tembang Sunda, yakni dari kalangan menak atau pejabat maka tradisi itu tanpa terasa terus berlangsung hingga sekarang.

Yang cukup menonjol perhatiannya, misalnya saja almarhum Ir. H. Arifin Yoesoef, almarhum Ir. H. Adjat Sudradjat, H.R. Nuriana, Drs. H. Gugum Gumbira, H. Memet H. Hamdan, S.H., M.Sc., dan wali kota terpilih Drs. H. Dada Rosada, M.Si. Mereka sering menggunakan tempat tinggalnya untuk nanggap tembang Sunda dengan mengundang seniman/budayawan atau peminat tembang Sunda. Tentu saja, jangan dilupakan pula peran Daya Mahasiswa Sunda (Damas) yang secara terprogram menyelenggarakan pasanggiri tembang Sunda. Begitu juga pelatihan bagi penembang peserta pasanggiri yang diprakarsai Ubun Kubarsah dan Enip Sukanda, sangat bermanfaat untuk melahirkan penembang-penembang unggulan.

Yang kadangkala menjadikan tembang Sunda sering membawa tibelat ke masa lampau, ke zaman Sunda bihari, sebab begitu banyak rumpaka yang mengungkapkan "Pajajaran" dan "Siliwangi". Misalnya saja ungkapan seperti ini;

"Pajajaran tilas Siliwangi/wawangina ngan kari jenengan/Kiwari dayeuhna Bogor/batu tulis nu kantun/kantun liwung nu jadi pikir/mikiran tulisanana/hanteu surud liwung/teuteuleuman kokojayan/di Ciliwung nunjang ngidul Siliwangi/nuus di Pamayonan".

Atau ungkapan ini;

"Siliwangi ngantunkeun wawangi/mawur ligar di Tatar Pasundan/nyambuat sajagat kabeh/komarana teu luntur/ti baheula tug ka kiwari/cirina kabudayaan/nu jadi pituduh/ciptaan terah Pakuan/teu kasilih najan geus ratusan warsi/teu laas pedah lawas".

Kekuatan rumpaka dan irama musiknya seringkali membawa si penikmat trance ke alam lampau, lalu membuatnya merasakan daya magis yang ujung-ujungnya melahirkan kareueus atau kebanggaan akan leluhurnya. Bisa dimengerti jika hingga sekarang banyak yang tergugah untuk maluruh tapak-lacak wiwitan leluhurnya, yakni dengan mendatangi situs atau makam yang diyakini sebagai peninggalan Sunda bihari.

Begitu juga mengenai isi yang terkandung dalam rumpaka tembang Sunda, banyak yang sarat dengan kedalaman makna hakiki. Misalnya saja bait terakhir dalam "Guguritan Laut Kidul", secara gamblang mengungkapkan hakekat hidup dan kehidupan; "Pangguyangan-pangguyangan kuring/pangguyangan-pangguyangan urang/urang nu keur ngalalakon/lalakon nu kalangkung/pada-pada boga pamanggih/pada boga carita/pada boga galur/gok amprok jeung sasamana/marantun aya nu pait nu amis/baralik kari ngaran".

Kalimat terakhir "baralik kari ngaran", bisa saja diartikan ujung atau akhir dari perjalanan kehidupan, yakni "setelah berpulang cuma tinggal nama".

Tembang Sunda memang bukan kesenian yang mengkhalayak. Ibarat musik kamar, tembang Sunda hanya bisa dinikmati oleh kalangan yang memang terdidik atau terbiasa dengan musik-musik berkualitas yang memiliki kedalaman penghayatan. Bagi penikmat tembang Sunda, bukan hanya akan menumbuhkan totalitas rasa kasundaan, tapi juga dirasakan ada daya magis yang menggugah ke arah keharuan. Keharuan yang muncul dari lubuk kalbu yang paling dalam, yang menumbuhkan "rasa rumasa", yang meyakini akan keagungan dan kekuasaan Illahi. Jadi dalam rumpaka tembang Sunda, sering juga ditemukan kalimat seperti "Gusti pamuntangan abdi/Salira Maha Uninga". Itu adalah bentuk totalitas penyerahan diri kepada Yang Maha Kuasa. (Eddy D. Iskandar)***

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id




SPONSORED LINKS
Corporate culture Business culture of china Organizational culture
Organizational culture change Jewish culture


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke