Ayatullah Husein Madzohiri secara jelas dalam bukunya "akhlok dar
khoneh" menyatakan bahwa naluri seks yang merupakan pemberian Tuhan akan
mengalami haus seks, disaat istrinya tidak dapat menjaga "iffah"
(kehormatan). Wanita yang tidak menjaga kehormatannya adalah wanita yang
tidak menjaga tatanan agama, sebagai contohnya, wanita yang tidak
menjaga auratnya.

Didalam sejarah banyak contoh tipe poligami kedua ini, seperti yang
telah menjadi kebiasaan para penguasa di masa kedigjayaan rezim Bani
Umayah dan rezim Bani Abbas, yang hampir-hampir setiap dari mereka
memiliki lokalisasi pribadi untuk melampiaskan hawa nafsunya. Semua ini
adalah bukti ketidakpuasan individu, yang berangkat dari tidak
terhormatnya istri disampingnya.

Ayatullah Husein Madzohiri juga menambahkan, bahwa kondisi haus seks
tidak hanya dialami oleh laki-laki saja, tapi juga wanita. Indikasi ini
dapat dilihat ketika wanita tidak menjaga auratnya, seperti
memperlihatkan bagian-bagian sensitif kepada yang bukan mahramnya.
Beliau juga mengingatkan, bahwa poligami jenis kedua ini sama sekali
mengabaikan kesetiaan istri pertama, dan juga langkah yang salah.

Dalam buku tersebut beliau membawakan cerita seorang ulama besar dari
Najaf yang mempunyai penghormatan khusus dikalangan komunitas pelajar
agama, karena akhlak yang mulia dan ketakwaannya yang tinggi. Beliau
adalah almarhum Sayid Ibrahim Ghozweini. Pada suatu hari, putri raja
Fatah Ali Shah yang bernama Dziya'u Sulthonah telah bercerai dengan
suaminya di umur yang relatif masih muda. Setelah perceraian, putri ini
tidak ingin kembali ke Iran, tapi memilih hidup di kota Karbala.

Putri ini setelah beberapa lama hidup tanpa didampingi suami, tiba-tiba
mengutus seseorang untuk menemui Sayid Ibrahim Ghozweini, dan
mengatakan, "Aku ingin sekali, tangan anda menyentuh kepalaku, oleh
karenanya aku berharap anda dapat menikahiku". Beliau menjawab,
"Sampaikan salam kepada Dziya'u Sulthonah dan katakanlah, Aku tidak
sesuai dengan anda, dan juga tidak kufu (istilah fiqih yang menjelaskan
ketidaksesuaian) karena aku tua, sedangkan anda masih muda. Anda juga
anak raja, sedangkan aku seorang pelajar agama. Dan anda juga juragan
sedangkan aku miskin".

Pada hari berikutnya sampailah pesan putri yang menyatakan, "Aku bangga
menjadi istri anda. Aku bangga tangan anda berada diatas kepalaku, yang
artinya aku adalah istri anda. Masalah uang, aku tidak akan mengharap
apa-apa dari anda, bahkan aku juga bersedia membiayai kebutuhan rumah
istri pertama".

Melihat kondisi ini, yang mana sang putri sepertinya tidak akan
melepaskannya, tiba-tiba Sayid Ghozweini berwudzu' (seakan beliau
mencari ketenangan dengan bersuci melalui wudzu) dan menjawab yang kedua
kalinya. "Sampaikan salam kepada Dziya'u Sulthonah dan sampaikan
kepadanya, Bahwa aku mempunyai istri yang selama 40 tahun telah
menanggung kefakiranku, dan juga menerima hidup dalam perantauan,
sekaligus menanggung masa-masa susah dan setelah 40 tahun yang masih
berkhidmat di rumah, melakukan tugas rumah tangga, melahirkan anak-anak,
dan melayani suami, yang keseluruhannya dilakukan dalam kondisi berat
dan pahit. Kemudian setelah itu, aku menikah dengan anda. Ini
benar-benar menyakiti kesetiaan istri saya. Oleh karena itu, aku tidak
rela menikahi anda".

Cerita ini sangat menarik sekali, sekalipun Sayid Ghozweini mempunyai
idealisme yang tinggi, tapi tetap menghiraukan masalah yang seringkali
dianggap remeh. Ternyata idealisme beliau tidak menghalangi kesetiaannya
terhadap istrinya. Beliau sangat merendah dan tidak segan-segan
menyatakan bahwa istrinya telah memberikan kontribusi besar dalam
kehidupannya.

Ayatullah Madzohiri setelah membawakan cerita ini, menganjurkan lebih
baik biaya untuk berpoligami dihadiahkan kepada generasi muda yang
berhalangan menikah karena kendala ekonomi. Beliau dalam buku tersebut
juga menukil hadis Imam Musa al Kadzim As bersabda, "Seandainya aku
dapat mengelola satu keluarga saja dalam satu minggu itu lebih baik
bagiku dari 40 kali berhaji".

Bentuk ketiga, poligami kejiwaan, bahwa manusia memiliki kecenderungan
yang terkadang terpenuhi dan tidak terpenuhi. Dalam istilah ilmu
psikologi disebut kecenderungan dibawah alam sadar. Pakar psikologi
menyebutkan, ketika kondisi alam sadar berubah menjadi alam dibawah
sadar, saat itu kondisi kejiwaan muncul. Kondisi kejiwaan sangat
berbahaya sekali, karena telah kehilangan kontrol diri. Kondisi semacam
ini akan muncul karena tekanan terus menerus.

Sebagai contoh, seorang istri yang kurang bisa menyambut suaminya ketika
masuk rumah, yang mustinya harus menyambut dengan hangat, tapi malah
menampakkan muka masam. Hari berikutnya, mengangkat suara tinggi
dihadapan suaminya, sambil memerintah untuk membawa anak-anaknya yang
terus mengganggu. Dan hari ketiga, meminta baju mahal yang suami tidak
dapat membelinya. Semakin hari terus-menerus mendapat tekanan, sehingga
suami merasa terbebani, akhirnya berfikir untuk berpoligami dengan
harapan istri kedua akan memberikan ketentraman. Dan suami juga tetap
akan melakukan hal yang sama, ketika mendapatkan kondisi yang sama pada
istri kedua, yang akhirnya, suami akan mengambil istri yang ketiga.

Ayatullah Madzohiri dalam menerangkan poligami tipe ketiga ini, beliau
menyalahkan pihak istri yang tidak dapat melayani suaminya dengan baik,
dan juga tidak menjalankan sesuai dengan tuntunan agama.

Dalam memberikan gambaran dari pernikahan poligami jenis ketiga Beliau
menukil sebuah cerita suami istri tauladan yang terjadi di zaman
Rasulullah Saww. Seorang wanita Anshor (penduduk Madinah) yang bernama
Ummu Salim yang mempunyai suami seorang pekerja. Keduanya adalah murid
setia Rasulullah Saww yang masing-masing menjalankan tugas
kekeluargaannya sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saww. Mereka hanya
mempunyai satu anak yang berumur dua tahun yang sangat disayangi.

Pada suatu saat, anak tersebut mengalami sakit berat dan akhirnya
meninggal dunia. Istri tidak dapat menahan isak tangis, kemudian sadar
bahwa suaminya akan datang dari kerja. Istri tidak ingin suaminya
mengalami kegoncangan setelah bekerja seharian. Istri kemudian
menyembunyikan anaknya, dan berusaha keras untuk tabah dan menghilangkan
kesan sedih, sehingga ketika suami datang tidak akan curiga dengan apa
yang sedang terjadi. Suamipun datang, dan disambut dengan hangat, senyum
dan melayani suaminya dengan baik, seperti hari-hari biasa. Suami
menanyakan kondisi anak, spontan istri menjawab: "Anak dalam kondisi
sehat wal afiat". Istripun tidak berbohong, karena anak tersebut telah
pergi ke surga dan telah mendapatkan ketenangan sepenuhnya.

Setelah melayani suaminya dengan baik dan dan juga nampak wajah letihnya
telah hilang, kemudian sang istri bertanya kepada suaminya, "Apabila
seseorang menitipkan amanat kepada kita, kemudian setelah beberapa lama
amanat tersebut diminta kembali, apakah kita berhak gusar dengan
mengembalikan amanat tersebut kepada pemilik aslinya?" Suami spontan
menjawab, "Tidak selayaknya demikian, karena berkhianat dengan amanat
adalah dosa besar, maka kita harus mengembalikan amanat tersebut".

Kemudian istri melanjutkan pembicaraannya, "Kalau memang demikian,
beberapa tahun yang lalu, Allah swt telah memberikan amanat kepada kita.
Dan amanat tersebut telah kembali kepada pemilik aslinya, bahwa
sebenarnya anak kami telah meninggal dunia". Suami mendengar berita ini,
malah mengucapkan puji syukur kepada Allah swt. Memang, sewajarnya suami
mensyukurinya, karena telah mendapatkan istri yang punya pengertian
tinggi dalam kondisi yang gawat.
 
(bersambung)



Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id



Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
click here


Yahoo! Groups Links

Reply via email to