aduh hade pisan carita nyata teh, simkuring mani ramisak-sak macana...Gusti..., 
geuning eta Haji teh kedah dugi kana Hakekatna, Qurban teh kedah dugi kana 
Hakekat Qurbanna...Jihadna anu sabenerna Jihad, Jihadna tara maehan anu teu 
tuah teu dosa...
nuhun kang Dedi

  ----- Original Message ----- 
  From: Dedi Turmudi 
  To: sunda Net 
  Sent: Tuesday, December 19, 2006 11:42 AM
  Subject: [kisunda] Fw: [ifp-2005] Kisah Nyata ...


  Baraya sunda, sugan we aya alaeun dina kisah nyata 
  anu di publikasikeun dina Republika.
  "Belum Haji Sudah Mabrur"

  Dedi Turmudi
  Graduate Student
  Dep. of Edu. and Teacher Training
  Prog. MAT TESOL
  School for International Training
  Brattleboro, VT 05302 USA
  Phone 802 579 2109

  ----- Forwarded Message ----
  From: April Wardhana <[EMAIL PROTECTED]>
  To: [EMAIL PROTECTED]
  Cc: romsyah <[EMAIL PROTECTED]>; dwiko permadi <[EMAIL PROTECTED]>; pipit 
<[EMAIL PROTECTED]>; Sri Muharsini <[EMAIL PROTECTED]>; Said Muniruddin <[EMAIL 
PROTECTED]>; Lexy Leksmono <[EMAIL PROTECTED]>; [EMAIL PROTECTED]; Iswandari 
<[EMAIL PROTECTED]>; Fitriah Pipit) Kartini <[EMAIL PROTECTED]>; khoirul inayah 
<[EMAIL PROTECTED]>; Ova Indriyana <[EMAIL PROTECTED]>; LUTHFI HAYATI <[EMAIL 
PROTECTED]>; Erry Setyawan <[EMAIL PROTECTED]>; Joko Daryono <[EMAIL 
PROTECTED]>; dyah <[EMAIL PROTECTED]>; [EMAIL PROTECTED]; yuli astuti <[EMAIL 
PROTECTED]>
  Sent: Monday, December 18, 2006 8:34:36 AM
  Subject: [ifp-2005] Kisah Nyata ...

  18 Desember 2006 

  Belum Haji Sudah Mabrur 

  Ahmad Tohari 

  Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah

  adalah tetangga kami. Dia salah seorang penerima

  program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang kini sudah

  berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun

  jumlah uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah

  sebesar Rp 1,2 juta. Yu Timah adalah penerima SLT yang

  sebenarnya. Maka rumahnya berlantai tanah, berdinding

  anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status

  tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan

  milik sendiri.

  Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan

  tidak menikah. Barangkali karena kondisi tubuhnya yang

  kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak kecil, maka

  Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah Yu

  Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu

  setelah remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah

  tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus

  meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran

  pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami.

  Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat

  Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta.

  Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang

  bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin

  itu.

  Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri.

  Maka ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya

  adalah para santri yang sedang mondok di pesantren

  kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu

  Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup

  bertahun-tahun bersama emaknya. Setelah emaknya

  meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia

  biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa.

  Anak itu harus cari makan. Maka dia tersedot arus

  perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi

  terdampar di Jakarta. Sudah empat tahun terakhir ini

  Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi

  kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus.

  Untung di kampung kami ada pesantren kecil. Para

  santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan

  nasi seperti yang dijual Yu Timah.

  Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah

  mengira pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah

  hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa menabung di

  bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi

  pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke

  kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta

  huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap

  bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah

  bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu

  saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas.

  Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari

  adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir

  Yu Timah adalah Rp 650 ribu.

  Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan

  saya. Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu

  saya cegah.

  ''Pak, saya mau mengambil tabungan,'' kata Yu Timah

  dengan suaranya yang kecil.

  ''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore.

  Bank kita sudah tutup. 

  Bagaimana bila Senin?''

  ''Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.''

  ''Mau ambil berapa?'' tanya saya.

  ''Enam ratus ribu, Pak.''

  ''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''

  Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil

  tersenyum malu-malu. ''Saya mau beli kambing kurban,

  Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi dengan uang

  saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.''

  Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya.

  Bahkan dia mengulangi kata-katanya karena saya masih

  diam. Karena lama tidak memberikan tanggapan, mungkin

  Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang

  tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat

  terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing

  kurban.

  ''Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan

  sebesar enam ratus ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu

  tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima

  kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada.

  Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat

  hendak membeli kambing kurban?''

  ''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin

  berkurban. Selama ini memang saya hanya jadi penerima.

  Namun sekarang saya ingin jadi pemberi daging

  kurban.''

  ''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank

  kita.''

  Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya

  berbinar. Lalu minta diri, dan dengan langkah-langkah

  panjang Yu Timah pulang.

  Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri.

  Kapankah Yu Timah mendengar, mengerti, menghayati,

  lalu menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan

  oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat

  awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi

  sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya?

  Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji yang

  biayanya mahal itu tidak mengubah watak orangnya.

  Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu Timah, saya jadi

  malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan

  pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang

  suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak

  kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian yang bagus.

  Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu

  Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging

  kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya ingin

  menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah

  berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu

  naik haji.

  Berita ini dikirim melalui Republika Online

  http://www.republik a.co.id

  Berita bisa dilihat di : http://www.republik

  a.co.id/Cetak_ detail.asp? id=275982&kat_ id=19

  April Hari Wardhana

  PhD Student - Department of Infectious & Tropical Diseases 

  Disease Control & Vector Biology Unit 

  London School of Hygiene & Tropical Medicine (LSHTM) 

  University of London 

  50 Bedford Square 

  London 

  WC1B 3DP 

  Mobile phone : +44 (0) 7738735062 

  E-mail : Wardhana24id@ yahoo.com
  .

Reply via email to