Soal  Zaim Uchrowi
  Enya asa ngadengenge dongeng nu lolong  ka  kebon binatang tea.
  cenah pan Gajah teh siga tangkal kalapa, ceuk nu nyagap suku gajah , ari 
ceung saurang deui siga hihid da nu katewakna ngan ukur ceuli gajah.
  Tah didieu urang bisa ngabandungan kajembaran pamandangan hiji jelema teh, 
  kukituna maklum bae atuh da sigana ngan ukur sakitu pangaweruhna soal " SUNDA 
" teh
   
  MSasmita <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
            Kamari aya balad nu nyarioskeun aya artikel dina koran Republika.
  Hehe....enya meureun siga kitu..!!
  tiasa ditingal dina : 
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=293485&kat_id=19
  Tah ieu artikelna.
   
  MSasmita
   
  Mentalitas Jawa dan Sunda 

Oleh : Zaim Uchrowi 

  ''Indonesia sulit maju,'' kata seorang teman. ''Kenapa?'' tanya saya. 
''Sebab, lebih dari 70 persen penduduknya adalah Jawa dan Sunda,'' jawabnya. 
Saya ternganga, sampai ia menjelaskan lebih lanjut.
  Menurutnya, mentalitas orang Jawa dan orang Sunda bukan mentalitas orang yang 
siap maju. Hal itu terlihat dari ungkapan yang banyak dipakai orang-orang dari 
kedua suku ini. Orang-orang Jawa disebutnya sering menyebut kata ''nek'' atau 
''gek'', yang berarti ''kalau'' sebagai sebuah pengandaian tentang sesuatu yang 
mungkin terjadi di masa depan. Orang Jawa sering mengucap ''nek ngono mengko 
piye ...'', ''nek ngene mengko piye ...'' yang berarti ''kalau begitu nanti 
bagaimana...'', ''kalau begini nanti bagaimana....''
  Orang-orang Jawa berpikir begitu panjang. Seluruh kemungkinan di masa depan 
telah dipikirkan dari sekarang. Pada satu sisi, hal tersebut baik. Banyak 
persoalan telah diantisipasi jauh hari menyangkut akibat yang mungkin terjadi. 
Dengan demikian, jika akibat itu benar terjadi, mereka telah siap untuk 
menghadapinya.
  Namun, di sisi lain, banyaknya kemungkinan yang dipikirkan di masa depan 
sering membuat takut melangkah. Ibarat seorang tak punya rumah yang tak kunjung 
punya rumah karena takut memikirkan kemungkinannya di masa depan. Bagaimana 
kalau gentingnya bocor, bagaimana kalau ada pencuri, apalagi kalau rumah itu 
habis terbakar. Begitu banyak kemungkinan yang dipikirkan hingga orang itu tak 
berani melangkah untuk punya rumah.
  Sikap itu tampak dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar orang Jawa 
pasrah pada keadaan yang dimilikinya. Mereka tidak akan berusaha keras mengejar 
sesuatu karena kalau gagal akan terasa sangat menyakitkan. Mereka tidak siap 
gagal. Akibatnya, pencapaian rata-rata orang Jawa kalah bila dibanding etnis 
lainnya. Misalnya dengan rata-rata pencapaian orang Batak, apalagi dengan 
keturunan Tionghoa. 
  Orang Jawa tak mau berbuat keliru, dan sangat khawatir keliru. Itu membuat 
komunikasi orang Jawa tidak baik. Orang Jawa tidak pandai mengekspresikan 
perasaan sendiri, apalagi kalau harus mengatakan tidak. ''Bagaimana nanti kalau 
orangnya tersinggung.'' Kalimat demikian banyak diucapkan. Orang Jawa menuntut 
orang lain paham bahasa isyarat. Kalau terpaksa harus mengomentari orang lain, 
paling dengan cara menyindir. ''Jadi, bagaimana orang Jawa bisa maju?''
  Sebaliknya, orang Sunda cenderung malas berpikir panjang. Istilah yang banyak 
dikatakan adalah, ''kumaha engke ...'' yang berarti ''bagaimana nanti ....'' 
Jalani dan nikmati hidup seadanya seperti air mengalir yang akan menemukan 
jalannya sendiri tanpa perlu diatur-atur. Ingin sekolah ya sekolah, ingin main 
ya main, ingin kerja ya cari kerja kalau dapat. Kalau tidak dapat ya sudah, 
''can nasib'' atau ''belum nasibnya''. 
  Nanti cari lagi. Ada uang, nikmati saja sepuasnya. Uang habis tidak apa-apa. 
Usaha lagi seperlunya, atau minta bantuan saudara. Tidak berhasil tidak 
apa-apa. ''Can nasib.'' Ingin kawin, ya kawin saja biar pun pekerjaan belum 
mapan, penghasilan juga pas-pasan. Ingin kawin lagi, ya kawin lagi saja. Kan 
boleh dalam agama. Anak banyak, bermunculan saban dua tahun, tidak apa-apa. Tak 
perlu ada kesiapan buat merencanakan masa depannya. ''Kumaha Gusti wae ....'' 
Terserah Tuhan sajalah. ''Jadi, bagaimana orang Sunda bisa maju?''
  Dengan mentalitas begitu, kemiskinan Jawa yang sangat besar tak kunjung 
berkurang. Sedangkan kemiskinan Sunda (serta Banten dan Betawi sebagai 
kerabatnya) terus membesar dengan kecepatan luar biasa. Anehnya, kita 
menganggap fenomena itu fenomena biasa, dan kadang malah menganggapnya sebagai 
sikap pasrah pada Allah SWT sesuai tuntunan agama. Padahal, ''pasrah pada 
nasib'' sangat berbeda dengan ''pasrah pada Allah''. 
  Pasrah pada Allah SWT adalah membuat perencanaan hidup sebaik-baiknya, 
bekerja keras untuk mewujudkan perencanaan itu, serta selalu optimistis 
terhadap hasil yang akan diberikan Tuhan pada kita. Reshuffle kabinet 
boleh-boleh saja. Tapi, bila sungguh-sungguh ingin membuat bangsa ini dan 
bangkit sesuai semangat Hari Kebangkitan Nasional, rombak dulu mentalitas 
bangsa ini secara revolusioner. Untuk itu perlu revolusi mentalitas orang Jawa 
dan Sunda sebagai mayoritas penduduk bangsa ini. 

  

         

              
---------------------------------
Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!

Kirim email ke