Pa punten perkawis Karawang termasuk Abangan upami ditilik tina sejarah
karawang pang kahijina dina masalah penyebaran Ismal ti Tasikmalaya, ku
Ayana Syeh quro, malahan Karawang kantos janten Juara Umum MTQ JAwa
Barat....
Punten upami kecap abangan di dinya ditujukeun ka Urang Karawang, Subang
, sareng Indramayu...
Upami urang karawang ngadangu pasti rada keuheul oge....



-----Original Message-----
From: mj [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Thursday, April 05, 2007 10:49 AM
To: urangsunda@yahoogroups.com
Subject: [Urang Sunda] (PR) Tasikmalaya cek Acep Zamzam Noor


di PR dinten ieu,

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/042007/05/0901.htm


Tasikmalaya, Kota Dangdut
Oleh ACEP ZAMZAM NOOR

JIKA diminta membicarakan persoalan Tasikmalaya, saya tidak bisa
melepaskan diri untuk tidak menyinggung dangdut. Bukan semata-mata
karena
Rhoma Irama, Caca Handika, Evie Tamala, Itje Tresnawati, Cucu Cahyati,
Vetty Vera, Sona Orama atau Alam berasal dari Tasikmalaya. Bukan pula
semata-mata karena dangdut di Tasikmalaya mempunyai sejarah panjang.

Bukan juga semata-mata karena umumnya masyarakat Tasikmalaya, mulai dari
pengemis sampai pengusaha, mulai dari tukang kopi sampai bupati,
sama-sama
maniak dangdut. Mungkin bukan kebetulan jika Bupati Tasikmalaya yang
menggemari dangdut (apalagi yang berkumis) biasanya mampu bertahan lebih
dari satu periode, sedangkan yang kurang apresiasinya terhadap dangdut
(apalagi yang tidak berkumis) entah kenapa jarang terpilih lagi.

Dalam pengamatan saya, dangdut bagi masyarakat Tasikmalaya bukan hanya
mendarah-daging, namun tanpa disadari sudah menjadi semacam ideologi.
Tentu banyak orang akan keberatan atau bahkan kebakaran jenggot dengan
generalisasi ini. Keberatan karena tidak mau dikategorikan sebagai
penggemar musik yang sering dianggap kampungan atau bisa jadi karena
merasa religius hingga menilai dangdut identik dengan maksiat. Semua
tentu
boleh-boleh saja. Namun, jika kita mau mengamati lebih jeli, dengan
sangat
mudah akan menemukan bukti bahwa perilaku atau kecenderungan umum
masyarakat Tasikmalaya --apa pun lapisan sosialnya-- ternyata sangat
dangdut.

Sebagai salah satu jenis musik populer, dangdut mempunyai karakter
tersendiri. Musik yang dikenal sangat egaliter ini lahir dari beragam
budaya: India, Arab, Latin, dan tentu saja Melayu sebagai pintu
masuknya.
Dangdut menjadi tambah lezat dengan masuknya bumbu-bumbu lain seperti
rock, reagae, disko, koplo, mandarin, keroncong, dan juga musik daerah
tanpa kehilangan kedangdutannya. Jika kemudian musik ini disukai banyak
kalangan, banyak lapisan, banyak etnis, atau suku, rasanya wajar karena
setiap orang terwakili keprimordialannya. Di Tasikmalaya kebetulan
etnis-etnis yang budayanya bersinggungan dengan dangdut hampir semuanya
ada, Arab, India, Melayu, Cina, juga suku-suku lain di nusantara.

Dangdut mungkin sebuah paradoks. Musiknya yang mendayu-dayu, dengan
entakan gendang serta liukan suling bambu memang potensial untuk
mengiringi sebuah tarian komunal, sebuah joget massal, sebuah ritual.
Para
penyanyinya selalu menawarkan keriangan, kegairahan, serta keseronokan
meskipun harus dibalut dengan ratap penuh kesedihan dari lirik-liriknya.
Setiap saya menikmati dangdut selalu terbayang berbagai persoalan yang
melanda negeri ini. Terbayang bagaimana rakyat kecil begitu gembira
merayakan penderitaannya dengan dangdut. Mereka berjoget penuh
kekhusyukan, menggoyangkan tubuhnya dengan mata terpejam, menghayati
atau
mungkin melupakan kesulitanan hidup sehari-hari. Dalam dangdut,
kegembiraan dan kesedihan menjadi sebuah harmoni.

Terbayang bagaimana para birokrat bersama relasi-relasi bisnisnya
berkaraoke, baik di kolam-kolam pemancingan ikan maupun di kafe-kafe
hotel
berbintang. Sebagai manusia, tentu mereka memerlukan katarsis,
membutuhkan
semacam pencerahan dengan bernyanyi dan berjoget. Terbayang juga
bagaimana
panggung-panggung kampanye yang dimeriahkan para penyanyi seksi, yang
menjadi ironis dengan pidato penuh busa dan janji dari para politisi.
Lebih dari sekadar paradoks, dangdut memang mengandung parodi dan bahkan
tragedi, yang membuat tawa dan tangis menjadi tidak jelas lagi
batasannya.

Seperti halnya di kota-kota lain, di Tasikmalaya juga terdapat sejumlah
kafe yang biasa menggelar dangdut secara live, baik yang berlokasi di
hotel maupun tempat-tempat khusus. Pengunjungnya dari berbagai lapisan,
termasuk aparat keamanan, biasa melepas penat dengan berjoget. Di
samping
itu banyak juga warung (sebagian menamakan diri kafe juga) yang selalu
memutar lagu-lagu dangdut. Berulang-ulang tempat-tempat seperti ini
diobrak-abrik sekolompok orang yang berjubah putih, berulang-ulang pula
terjadi keributan antara sesama aparat. Sejumlah kafe atau warung
terpaksa
tutup karena merasa terancam, namun tak lama kemudian buka lagi seperti
biasa.

Apa pun yang terjadi, dangdut tetap saja digemari, termasuk oleh mereka
yang berjubah putih itu. Penyanyi-penyanyi baru terus lahir, baik lewat
lomba-lomba yang digelar radio swasta maupun pentas organ tunggal yang
merajalela sampai ke desa-desa. Banyak orang tua yang bermimpi mengubah
kondisi ekonomi dengan berharap secara berlebihan pada anak-anaknya yang
berbakat nyanyi. Banyak ibu-ibu (terutama dari kalangan menengah) yang
menyalurkan hasrat terpendamnya dengan mengikuti latihan aerobik di
sanggar-sanggar senam, di mana dangdut menjadi pengiring utama setiap
latihan. Di sanggar-sanggar inilah, tanpa sungkan mereka berlatih
gerakan-gerakan yang biasa diperagakan Inul Daratista dan Anissa Bahar.
Sementara kalangan bawah berlatih gerakan-gerakan yang sama pada senam
massal setiap minggu pagi, yang pesertanya bisa sampai ratusan orang.

Tasikmalaya juga sama paradoksnya dengan dangdut. Selain dikenal sebagai
lumbung penyanyi, pemasok tukang kiridit ke berbagai penjuru tanah air,
penghasil kerajinan mendong dan bordir, juga dikenal orang sebagai
gudangnya pesantren. Pesantren-pesantren ternama umumnya berada di
daerah
pinggiran atau pedalaman. Adapun yang berada di lingkungan kota masih
bisa
dihitung jari, itu pun kebanyakan pesantren baru. Setelah reformasi,
banyak politisi dari partai-partai Islam yang bermimpi ingin menerapkan
syariat Islam di Tasikmalaya. Mereka melempar wacana dengan memasang
spanduk-spanduk yang di antaranya mengampanyekan "Tasikmalaya Kota
Santri", di samping pernyataan perang terhadap segala macam bentuk
kemaksiatan.

Saya termasuk yang mengkritisi ulah para politisi berkedok agama itu.
Pertama, karena saya menilai wacana yang mereka lemparkan bukan untuk
kepentingan santri atau pesantren, paling hanya kepentingan jangka
pendek
partainya sendiri. Kedua, pesantren-pesantren besar di Tasikmalaya sudah
berdiri jauh sebelum kemerdekaan dan mereka tidak ada urusan dengan
pelabelan atau gelar atau sebutan semacam itu. Semua orang sudah tahu
bahwa di wilayah ini terdapat ratusan pesantren dan puluhan ribu santri
yang tersebar di desa-desa. Dengan pelabelan seperti itu seolah-olah
santri merupakan "barang baru" yang perlu ditawarkan atau diiklankan.
Ketiga, mereka lupa bahwa penghuni utama kota Tasikmalaya, terutama yang
menguasai jalur-jalur perekonomian umumnya keturunan Cina, yang jelas
tidak bisa dikategorikan santri.

Semangat menerapkan syariat Islam dari para politisi ini ternyata hanya
euforia, wacana yang mereka gulirkan tenggelam dengan sendirinya. Memang
sempat ada perlawanan dari sekelompok masyarakat yang mencoba meluruskan
persoalan, namun tanpa disadari wacana tersebut justru dikubur oleh
perilaku mereka sendiri. Andai saja benar-benar jadi dilaksanakan, saya
tidak bisa membayangkan bagaimana jalannya roda pemerintahan karena
sebagian besar birokratnya (juga wakil-wakil rakyatnya) bertangan
buntung.
Bukankah dalam syariat Islam setiap orang yang mencuri tangannya harus
dipotong? Tak bisa dimungkiri korupsi terus berlangsung di "kota santri"
ini meskipun sedikit sekali koruptornya yang diadili.

Kalaupun ada wacana yang sempat terwujud dari euforia ini, paling hanya
keharusan pegawai negeri memakai baju koko setiap hari Jumat. Para
birokrat dan wakil rakyat menganggap baju koko sebagai busana Muslim
yang
sudah selayaknya dibuatkan peraturan mengenai pemakaiannya. Namun,
lagi-lagi mereka lupa atau mungkin tidak tahu bahwa yang namanya baju
koko
berasal dari kebudayaan Cina, seperti yang biasa kita saksikan pada
film-film kungfu. Ketika saya iseng-iseng mengingatkan hal itu, barulah
alasannya direvisi. Kini bukan lagi atas nama syariat Islam, tapi demi
memajukan kerajinan bordir. Alasan yang terakhir ini menurut saya jauh
lebih masuk akal.

Tidak lama setelah masa euforia, koran-koran memberitakan bahwa
peredaran
miras dan narkoba di "kota santri" konon tertinggi di Jawa Barat,
setelah
Bandung tentunya. Begitu juga yang terjangkit HIV/AIDS angkanya
benar-benar di luar dugaan. Sementara demam togel terus merebak ke
mana-mana. Ironisnya, ketika mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah MTQ
Jawa Barat, kontingen "kota santri" ini hanya menempati urutan ke-17,
jauh
di bawah daerah-daerah lain yang dianggap "abangan" seperti Bekasi,
Karawang, Subang, atau Indramayu.

Saya tidak terlalu heran jika wacana mengenai penerapan syariat Islam
dan
"kota santri" kini tidak kedengaran lagi. Meskipun begitu, toh
masyarakat
tetap melaksanakan syariat yang memang sudah menjadi kewajibannya
sehari-hari. Pesantren-pesantren tetap melakukan aktivitas pengajian
seperti biasa, santri-santri dari berbagai daerah tetap berdatangan
untuk
mondok di Tasikmalaya. Kegiatan dakwah tetap berlangsung. Begitu juga
dangdut tetap digemari.

"Tasikmalaya Kota Santri" akhirnya tidak jadi dideklarasikan, apalagi
sampai diperdakan. Begitu juga wacana penerapan syariat Islam seperti
dilupakan begitu saja. Para birokrat, wakil rakyat dan politisi dari
partai mana pun nampaknya lebih sibuk mengurus dan memperjuangkan
dirinya
masing-masing. Mengamankan posisinya masing-masing. Sementara para
aktivis
LSM yang tadinya sangat diharapkan bisa bersikap kritis malah
berlomba-lomba merapat pada kekuasaan. Seperti halnya karakter dangdut,
perilaku para aktivis juga ternyata sangat paradoks. Mereka berteriak
seolah membela kepentingan rakyat, padahal sebenarnya sedang meniti
karier. Siapa tahu kelak menjadi ketua KPU.***

Penulis, budayawan tinggal di Singaparna, Tasikmalaya.
mj

http://geocities.com/mangjamal






Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links



Kirim email ke