Sumber: 
http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=10763

Soeraedi Tahsin Sandjadirdja

By redaksi

Sabtu, 28-April-2007, 06:22:30     

Tokoh Pers Nasional asal Banten yang Terlupakan

Bangsa Indonesia adalah bangsa pelupa. Penyakit lupa itu tidak terlepas dari 
politik ingatan yang  diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru melalui rekayasa 
penulisan sejarah. Ingatan yang ditampilkan oleh Orde Baru seringkali bersifat 
selektif, parsial dan selalu mengacu pada pernyataan resmi pemerintah.

Semisal, pada masa Orde Baru, hari kesaktian Pancasila selalu dirayakan tanggal 
1 Oktober setiap tahunnya. Sedangkan hari lahir Pancasila 1 Juni tak pernah 
diperingati. Soeharto juga digembar-gemborkan sebagai bapak pembangunan, 
kendati di balik suksesnya pembangunan (ekonomi), masih ada sebagian kelompok 
masyarakat yang tertindas hak-haknya.

Musuh Orde Baru adalah mereka yang selalu menentang pemerintahan. Kritik 
dianggap kerikil tajam di jalanan yang mutlak harus dibersihkan demi tinggal 
landas pembangunan menuju Indonesia yang adil dan makmur. Sehingga mereka yang 
berpotensi untuk melawan, disingkirkan sesegera mungkin dan takkan dibiarkan  
bernafas bebas di Bumi Nusantara ini.

Banyak putra-putri terbaik Indonesia yang hingga kini memilih untuk tinggal di 
luar negeri karena mereka tak  diberi tempat di Indonesia. Sebagian besar dari 
mereka adalah mahasiswa ikatan dinas (Mahid), wartawan, dan mantan diplomat 
Indonesia di era pemerintahan Soekarno. Mereka tak bisa pulang kembali ke tanah 
air karena perbedaan cara pandang berpolitik dengan pemerintah Orde Baru.

Salah satu dari mereka adalah Soeraedi Tahsin Sandjadirdja (1922-2003) atau 
dikenal sebagai S Tahsin. Tahsin adalah wartawan kawakan kelahiran Pandeglang, 
Banten, 6 Juli 1922 dan meninggal di Amsterdam, Belanda, pada 25 Februari 2003. 
Tahsin bukanlah nama asing dalam dunia kewartawanan Indonesia. Pada zamannya ia 
seangkatan dengan Djawoto (Antara), Djamal Ali (Pikiran Rakyat), Darsyaf 
Rachman (Mimbar Indonesia); B.M. Diah (Merdeka), Rosihan Anwar (Pedoman), 
Mochtar Lubis (Indonesia Raya), dan Moh. Said (Waspada).

Pada tahun 1945, ketika revolusi fisik dan usaha mempertahankan kemerdekaan 
berlangsung, ia bersama-sama Roesli Amran dan beberapa kawannya yang lain 
mendirikan koran harian Berita Indonesia. Putra Banten ini juga tercatat 
sebagai pendiri Akademi Jurnalistik Dr Rivai. Kampusnya bukan sebuah gedung 
besar, tapi cukup menempati ruangan beranda rumahnya di jalan Kebon Sirih, 
Jakarta Pusat. Tahsin juga berperan di dalam pendirian kantor berita Indonesian 
National Presse Service (INPS)

Selain itu, Tahsin adalah wartawan senior yang mendirikan sekaligus memimpin 
harian Bintang Timur. Sebelum tahun 1965, Bintang Timur adalah koran yang 
terkemuka di Indonesia dan juga tempat Pramoedya Ananta Toer, Hasyim Rahman dan 
Tom Anwar bekerja sebagai wartawan. Sebagai juruwarta kawakan, Tahsin banyak 
berperan di dalam mendirikan Persatuan Wartawan Asia Afrika (PWAA).

Peran aktif itu pula yang membawanya diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai 
duta besar berkuasa penuh untuk Mali yang berkedudukan di Bamako pada 1965. 
Belum beberapa menduduki jabatan sebagai duta besar, bulan Oktober 1965 terjadi 
pergolakan politik di Indonesia. Presiden Soekarno digeser secara perlahan. 
Kekuasaan pun beralih ke tangan Jenderal Soeharto.

Melihat perubahan politik yang drastis dan penangkapan-penangkapan yang 
membabibuta, Tahsin, disertai dengan istri dan anak-anaknya pindah menuju 
Paris, Prancis dan menetap  di sana untuk beberapa lama sebelum akhirnya pindah 
ke China. Di negeri tirai bambu itu Tahsin dan keluarga menetap selama 10 
tahun. Dari China mereka kemudian pindah ke Negeri Belanda, di mana pemerintah 
Belanda memberikan suaka politik pada Tahsin.

Semasa masih hidup, Tahsin dikenal sebagai orang yang berwatak keras di dalam 
memertahankan prinsipnya. Darah Banten yang mengalir dalam diri Tahsin 
kemungkinan memengaruhi sifat keras kepala dan non kompromisnya itu. Keharusan 
hidup jauh dari tanah air tak berarti putus harap bagi Tahsin untuk membaktikan 
diri pada Indonesia. Di negeri kincir angin itu Tahsin mendirikan  penerbit dan 
toko buku “Manus Amici” bersama dengan Els, istrinya  dan Ibrahim Isa, mantan 
wartawan yang juga aktif di dalam PWAA.

Penerbit itu berjasa di dalam menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya 
Pramoedya Ananta Toer di luar negeri. Keadaan fisik yang selalu sakit-sakitan, 
akhirnya membuat Tahsin tak lagi mampu menjalankan aktivitasnya. Ia meninggal 
pada 23 Februari 2003 di negeri Belanda, sebelum keinginannya untuk pulang ke 
Banten terpenuhi.

Tahsin meninggalkan seorang istri dan empat anak lelaki. Ketika berada di 
Belanda beberapa waktu lalu, saya sempat menyambangi Tante Els, demikian saya 
memanggil istri S Tahsin itu. Di kediamannya yang terletak di tenggara 
Amsterdam, saya mendengar banyak cerita dari Tante Els, bukan tentang Belanda, 
tapi tentang Banten, kampung halaman yang selalu ia rindukan.
Di rumahnya, saya dipersilakan  menyantap makan malam, bukan roti Belanda, tapi 
gulai kambing khas Indonesia. Kenapa gulai, karena tidak memungkinkan bagi 
Tante Els untuk memasak rabeg, makanan khas masyarakat  Banten. Paling tidak 
itu yang dia katakan pada saya.

Soeraedi Tahsin Sandjadirdja adalah satu contoh tentang bagaimana seorang 
wartawan terkemuka yang berjasa bagi bangsanya namun harus hidup sebagai 
buangan politik. Indonesia memang sebuah negeri yang penuh dengan ironi. 
Seperti kata Koes Ploes, “mudah-mudahan ini hanya mimpi” dan tidak akan terjadi 
lagi di masa yang akan datang. Semoga.***

Oleh Bonnie Triyana
Penulis adalah sejarawan. Bekerja sebagai redaktur pada koran Jurnal Nasional, 
Jakarta

Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 






       
---------------------------------
Sick sense of humor? Visit Yahoo! TV's Comedy with an Edge to see what's on, 
when. 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke