Aku Bahagia, Benarkah?

Di balik kebanggaan orang tua, sebenarnya saya menahan penderitaan 
yang sangat berat.  Suami saya hanya "wajar" dalam kehidupan suami 
isteri sekitar satu tahun pertama. Tahun ke dua hingga ke empat, 
sudah "kurang wajar". Tahun ke lima, ketika di Irian Jaya, sudah 
menjadi "tidak wajar". Ketika di Kalimantan, ketidakwajaran itu 
bahkan meningkat. Suami saya ternyata seorang gay. Ia sangat dingin 
kepada wanita, tetapi justeru tertarik kepada sesama jenis.  Di 
Kalimantan, suami saya terkadang berani membawa "pacar" sejenisnya 
menginap di rumah. Ketika di Jakarta, peluang itu menjadi semakin 
besar karena tempat bekerja kami tidak lagi se kota. Saya di Jakarta, 
dan suami saya di Cilegon. Sabtu Minggu memang suami saya pulang 
menengok "isteri" dan "anak-anak", tetapi di Banten ia tinggal 
bersama "pacar sejenisnya". Lama-kelamaan, separoh gaji suami 
diberikan sebagai "nafkah" "pacar se­jenisnya", dan akhirnya saya 
harus menanggung sendiri seluruh biaya hidup rumah dan "anak-anak" 
saya.  Secara berkala kami masih suka nengok kakek nenek "anak-anak" 
kami, satu hal yang menyuburkan kebanggaan orang tua kami berdua.

Di satu sisi, kami berdua ingin tetap memelihara pe­rasaan kebanggaan 
orang tua, tetapi beban berat "dalam negeri" nyaris tak 
tertanggungkan. Suami saya relatif ringan bebannya, karena `naluri 
seksual menyimpangnya" terpenuhi, sementara status berumah tangga 
dengan saya tetap memberikan perlindungan sosial sebagai suami yang 
baik. Tetapi bagi saya kepengapan rumah tangga ini bagai­kan bom yang 
siap meledak, tetapi lagi-lagi, kasih sayang kepada orang tua dan 
kasih sayang yang terlanjur men­dalam untuk "anak-anak" saya selalu 
menahan ledakan itu. Secara ekonomi kebetulan saya sudah tidak 
membutuh­kan gaji suami, karena penghasilan saya jauh lebih besar di­
banding penghasilan suami. Kelonggaran materi itulah akhirnya yang 
membantu saya mengatasi persoalan, yaitu dengan ikut aktip semua 
paket program yang ditawarkan orang, yang saya perkirakan bisa 
menjadi obat penawar bagi derita saya, katanya.  Saya ikuti pengajian 
di Parama­dina, pengajian tasauf di beberapa tempat, ikut program 
paket zikir, dan paket apa saja yang saya dengar. Memang kegiatan itu 
sedikit menghibur, tetapi setiap Sabtu Minggu suami saya pulang 
dengan polos seperti tidak punya beban apa-apa, dada saya nyaris 
pecah. Akhirnya, setelah melalui pembicaraan yang emosionil, kami 
sepakat bercerai secara resmi di pengadilan Agama, tetapi dengan 
perjanjian bahwa perceraian itu tetap dirahasiakan kepada tetangga, 
kepada "anak-anak' dan terutama kepada orang tua kami masing-masing.

Jatuhnya talak resmi sedikit meringankan beban, tetapi beban memikul 
rahasia masih tetap berat. Saya sudah tidak lagi datang bersama ke 
orang tua, tetapi alasannya tetap masuk akal, karena "suami" kerja di 
luar kota. 

Aktifitas di berbagai paket program ternyata berhasil menumbuhkan 
konsep diri positif pada diri saya, katanya. Saya bukan hanya rajin 
mengikuti program, tetapi rajin juga membuka program. Program-program 
yang saya tawarkan ternyata menarik masyarakat, terutama masya­rakat 
di lingkungan tempat tinggal. Tanpa saya sadari, aktifitas yang saya 
lakukan telah menempatkan diri saya pada posisi yang sangat terhormat 
di mata masyarakat, terutama kaum ibu. Banyak orang bermasalah datang 
ke­pada saya, dan kata mereka nasehat saya "ces-pleng".  Lebih celaka 
lagi, ibu-ibu di sekitar rumah  dan di perkum­pulan pengajian, 
mempersepsi rumah tangga saya sebagai rumah tangga teladan. Anak dua, 
penghasilan cukup, suami ganteng, dan banyak amal.

Usia perceraian saya sudah masuk tahun ke tiga, tetapi hingga hari 
ini, tetangga kiri kanan tidak tahu, orang tua tidak tahu, "anak-
anak" juga tidak tahu. Bahkan hinga kini tak seorangpun tahu, bahwa 
anak-anak saya itu anak pungut. Sekali waktu, tanpa kusadari, "beban" 
berat ini saya utarakan kepada seorang tokoh agama, yang saya anggap 
dapat jadi jendela hati. Tak tahunya, tokoh agama itupun orang yang 
sedang mengalami problem dalam hubungan­nya dengan isteri, sehingga 
bagaikan gayung bersambut.  Saya menjadi semakin terjepit; takut 
kepada orang tua, takut  kepada masyarakat sekitar, takut 
kepada "anak-anak", takut kepada sang tokoh, takut kepada diri 
sendiri, dan saya kira juga takut kepada Tuhan. Saya tidak tahu, 
apakah saya ini es yang membeku, atau api yang siap membakar, atau 
bom yang siap meledak.

Konseling Yang Diberikan
Anda ternyata melilit diri anda dengan berlapis-lapis selimut 
kebohongan. Semakin tebal  anda  tutupi diri anda  dengan selimut 
kebohongan, maka semakin jauh dari penyelesaian, dan salah-salah 
dapat meledak berkeping-keping menghancurkan semua yang anda 
lindungi, orang tua, anak-anak, masyarakat dan diri anda. Kebenaran 
itu pahit, tetapi akan mengantar pada solusi yang benar. Sebelum anda 
terjerat lagi oleh selimut kebohongan baru, katakanlah yang benar, 
meskipun  pahit didengar dan pahit mengucapkannya. Subhanalloh, berat 
memang untuk memulai, tetapi riak gelombang setelah anda berkata 
benar  akan usai dengan sendirinya, semua benang kusut akan terurai,  
semua pihak akan dapat menerima kebenaran itu, dan anda masih punya 
cukup waktu untuk membuka lembaran baru, atsmosfir baru, menghirup 
udara segar di tengah alam luas dibawah ridla Allah, Insya Alllah.

Wassalam,
agussyafii



Reply via email to