Asma Nadia dan Rohana Koeddoes
   
  Benarkah kehidupan perempuan hanya berputar pada make-up, resep masakan, dan 
fashion? Adakah perempuan yang lebih mementingkan tersebarnya gagasan dan 
perannya untuk masyarakat lebih luas? 
   
  Menurut riwayat terciptanya modernitas. Apalagi setelah revolusi industri 
meletus, perempuan memang kerap menjadi aset kapitalisme. Secara fungsional, 
perempuan tak luput hanya dipandang dari kecantikan dan kemolekan tubuhnya. 
Sulit sekali menemukan perempuan yang secara tegas lebih mengedepankan 
intelektualitas dan perjuangan kaumnya. Tidak memandang tubuh dan kecantikan 
sebagai simbol status eksistensinya. 
   
  Dalam sebuah wawancara, Karen Armstrong, penulis The History of God, pernah 
kecewa secara personal berkaitan dengan pandangan dunia terhadap perempuan. Ia 
kecewa karena penghargaan terhadap perempuan dan daya tarik terhadap perempuan 
hanya pada kecantikan dan kemolekan tubuhnya. Tidak berdasarkan kadar 
intelektualitas dan peran sosialnya. Disebabkan dari hal itulah, Karen 
Armstrong bersikap skeptis terhadap pernikahan. Karena secara fisikal, ia sama 
sekali tidak cantik. Meskipun, secara intelektual, tak ada yang meragukan akan 
setiap ceramahnya tentang sejarah-sejarah agama samawi di dunia ini.   
   
  Pada masa kehidupannya, Karen Armstrong benar-benar menampik semua paradigma 
tentang eksistensi wanita tersebut dengan karya-karya spektakularnya untuk 
peradaban dunia ini. Dari hasil pemikiran dan kerja keras perempuan inilah 
daras pengetahuan tentang sejarah-sejarah agama, sufisme, dan akar historis 
penyebab terjadinya konflik antar agama bisa kita ikhtiarkan pendalamannya. 
   
  Di tanah air ini, sebenarnya juga banyak perempuan yang lebih dikenal karena 
peran intelektualitasnya. Kartini merupakan legenda yang selalu dirujuk. Namun, 
pernahkah kita mengenal Rohana Koeddoes, jurnalis perempuan pertama di 
Indonesia yang mendirikan Koran perempuan pertama di Indonesia. Sunting Melayu, 
Koran yang dirintisnya merupakan Koran yang dikelola seratus persen oleh 
perempuan melayu, tepatnya wanita-wanita Sumatera Barat, dan konsisten memuat 
isu-isu seputar kehidupan perempuan. Baik itu aktivisme perempuan dibidang 
politik, tradisi, sosial, keagamaan, pendidikan, maupun kebudayaan.
   
  Kemudian, pada masa sekarang ini, sejak wafatnya Rohana Koeddoes pada tahun 
1973, adakah perempuan yang melakukan gerakan literasi untuk kaumnya. Tentu 
saja, ada. Bukankah di dalam setiap generasi akan lahir pembaharu kehidupan 
ini. 
   
  Pada generasi digital ini, perempuan itu adalah Asma Nadia. Meskipun, secara 
“gaya”, masa, dan ruang,  konsentrasi perjuanga keduanya itu berbeda. Pada masa 
sekarang ini, sesuai zamannya, perjuangan Asma Nadia lebih popular. Bukan untuk 
terlepas dari penjajahan.
   
  Namun, gerakan Perempuan Indonesia Menulis yang dikampanyekan oleh Asma Nadia 
ini cukup mampu memberikan kontribusi positif dan konkret terhadap gerakan 
literasi di Indonesia. Melalui maliling list yang diasuhnya, ia telah 
menyemangati perempuan Indonesia untuk menyuarakan kehidupan domestiknya 
ataupun kehidupan publiknya. Secara konkret, gerakan Perempuan Indonesia 
Menulis yang diusung oleh Asma Nadia ini telah melahirkan dua buku yang cukup 
fenomenal, Catatan Hati di Setiap Sujudku dan La Tahzan for Broken Hearted.  
   
  Sungguh, bila saja semakin banyak perempuan Indonesia yang berani mengembil 
peran dalam kehidupan sosial ini. Maka, umat ini pun akan lebih cepat 
tercerahkan. Bukankah salah satu tegaknya kehidupan yang bermartabat dinilai 
dari kehidupan perempuannya.  
   
  Selamat Hari Kartini.     
   
  Ratno Fadillah 
   
   
  Lingkar Pena Publishing
  Jl. Merdeka Raya Blok IV No. 5 Depok 16411
  Telp. 021-7712100 Fax : 021-7700456 
  e-mail : [EMAIL PROTECTED] 
                           
   

       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke