http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

[ Sabtu, 13 Maret 2010 ] 

Belajar dari Australia 
Oleh: P.M. Erza Killian


KUNJUNGAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Australia sejak 9 Maret lalu, 
tampaknya, mendapat apresiasi yang cukup tinggi dari pemerintah dan rakyat 
setempat. Tidak saja SBY menjadi presiden pertama RI yang mendapat kehormatan 
untuk berpidato di depan parlemen Australia. Dalam kunjungan kali ini, SBY juga 
dianugerahi medali kehormatan Honorary Companion of the Order of Australia atas 
jasa-jasanya mempererat hubungan kedua negara.

Sayangnya, di tengah penyambutan yang tergolong luar biasa itu, isu sensitif 
mengenai hak asasi manusia di Indonesia kembali diusulkan oleh media Australia 
untuk dibicarakan dalam kunjungan SBY kali ini. 

Isu HAM 

Australia merupakan negara yang tergolong cukup ''peduli'' terhadap isu HAM di 
Indonesia. Mengingat, banyak warganya yang menjadi korban di Indonesia. Kasus 
Balibo Five yang melibatkan jurnalis Australia, hukuman mati bagi beberapa 
pelaku kejahatan asal Australia di Indonesia, hingga pengeboman kedutaan 
Australia merupakan beberapa isu yang menjadi perhatian utama negara tersebut. 

Selain itu, kasus-kasus domestik seperti pelanggaran HAM di Papua dan eks Timor 
Timur cukup mendapat perhatian dari pemerintah Australia. Kepedulian itulah 
yang beberapa kali memunculkan tudingan bahwa Australia kerap melewati batas 
dan tidak menghormati kedaulatan Indonesia.

Dalam kunjungan kali ini, radio ABC Australia melaporkan bahwa beberapa 
keluarga korban Balibo Five kembali meminta Indonesia menyelesaikan kasus 
tersebut dengan adil dan meminta para pelakunya diadili di Australia. Kendati 
belum ada kepastian mengenai apakah isu tersebut akan dibawa dalam pembicaraan 
formal antara kedua negara, media Australia merasa bahwa kasus HAM yang terjadi 
lebih dari 30 tahun lalu itu harus mendapat kejelasan dan sikap yang tegas, 
baik dari pemerintah Indonesia maupun Australia.

Pemerintah Indonesia melalui pernyataan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu 
ketika diwawancarai menyatakan bahwa isu HAM di Indonesia merupakan sebuah 
proses. Jika dilihat dalam minimal kurun waktu 10 tahun terakhir, sejatinya 
Indonesia telah mengalami peningkatan dalam upaya memperbaiki rapor HAM yang 
tergolong kurang baik di mata internasional. Kendati hal itu bisa dianggap 
pembelaan yang cukup baik, masalah HAM adalah masalah sensitif yang terkadang 
meninggalkan luka yang cukup mendalam dan sulit dihapus bahkan hingga 
bertahun-tahun kemudian. Untuk hal ini, Indonesia mungkin bisa sedikit belajar 
dari Australia. 

Belajar Meminta Maaf 

Australia bukanlah negara yang bebas dari pelanggaran HAM. Peristiwa 
pelanggaran HAM yang paling mencoreng negara tersebut adalah tragedi The Stolen 
Generation. Yaitu, pengambilan paksa anak-anak suku Aborigin dan Torres Straits 
Island oleh pemerintah untuk kemudian dididik berdasar budaya kaum kulit putih 
Australia (White Australian).

Tindakan yang oleh sebagian orang dianggap sebagai genosida itu terjadi pada 
1800-1960-an dan banyak meninggalkan luka mendalam bagi para korbannya serta 
mencoreng reputasi Australia di mata internasional. 

Kendati peristiwa tersebut telah terjadi berpuluh-puluh tahun lalu, baru pada 
13 Februari 2008 pemerintah Australia di bawah kepemimpinan Kevid Rudd 
memutuskan meminta maaf secara resmi kepada para korban tragedi itu. Bahkan, 
partai oposisi akhirnya mendukung keputusan itu, meski sebelumnya berkali-kali 
menolak.

Budaya meminta maaf atas kesalahan pemerintah, tampaknya, mulai menjadi sesuatu 
yang lumrah di beberapa negara. Selain Australia yang meminta maaf atas tragedi 
Stolen Generation, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown pada akhir Februari 
lalu meminta maaf atas dampak buruk Child Migrants Program yang banyak 
melanggar HAM.

Pada 2000, PBB juga meminta maaf atas kegagalan mengatasi masalah genosida di 
Rwanda yang memakan korban lebih dari 250.000 orang. Meminta maaf bukanlah 
dilihat sebagai upaya kekalahan atau kegagalan, tapi seharusnya dilihat sebagai 
awal baru untuk memperbaiki kesalahan yang lama. Tentu permintaan maaf saja 
tidak akan menyelesaikan permasalahan yang telah terjadi, tapi setidaknya bisa 
menjadi titik balik yang dapat memperbaiki hubungan buruk antara dua pihak, 
sebelum memulai proses perbaikan yang sesungguhnya.

Sejarah kelam Indonesia terkait isu HAM sebaiknya tidak hanya dianggap sebagai 
catatan masa lalu yang telah selesai begitu performa HAM kita membaik. Ada 
banyak luka yang tersisa dalam kasus HAM yang terkadang sulit sembuh. 
Contohnya, masalah rumit Papua di Indonesia. Kesalahan pemerintah masa lalu 
telah meninggalkan luka mendalam, sehingga proses perdamaian sangat sulit 
dijalankan. 

Kerendahhatian pemerintah untuk mau memulai tradisi meminta maaf mungkin akan 
menjadi awal yang baik untuk proses negosiasi dengan kawasan paling timur 
Indonesia tersebut. Mungkin memang sudah saatnya meminta maaf menjadi tradisi 
dalam sistem perpolitikan kita dan bukan hanya melancarkan upaya permisif untuk 
meminta pengertian rakyat. 

Jika seorang pemimpin sudah mampu mengaku bertanggung jawab atas sebuah 
kesalahan, bukankah akan sangat mudah untuk selanjutnya meminta maaf atas 
kesalahan tersebut? Sebagai bangsa timur yang sangat mengagungkan budaya 
santun, seharusnya meminta maaf telah menjadi tradisi kita dan bukan menunggu 
bangsa lain mengajari kita akan hal itu. (*)

*) P.M. Erza Killian , dosen Program Studi Hubungan Internasional, FISIP, 
Universitas Brawijaya, Malang

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke