Catatan Di Meja Nusa Dua & Café Bandar:
TENTANG 'BANGSA KLIEN'DAN SOAL-SOAL LAINNYA. 7. 4.3. Penyingkiran Antar Dan Di Kalangan Seniman: Tentang masalah ini, Gola Gong, dalam artikelnya 'ODE KAMPUNG 2006: Temu Penyair se-kampung Nusantara"[lihat: http://halamanganjil. blogspot.com ] antara lain menulis sebagai berikut: "Kubu-kubuan mencuat. Kubu barat, kubu timur. Kubu utara, kubu selatan. Siapa yang tak berkubu, maka tak mendapat giliran atau bagian. Kongres Dewan Kesenian Daerah di Papua yang merekomendasikan DKI (Dewan Kesenian Indonesia) diprotes oleh mereka juga. Ada pro dan kontra. Semua sepakat, Ya, semoga pro dan kontra soal organisasi, terbawa juga dalam hal kekaryaan mereka. Ada karya kota, karya kampung, karya pinggiran, karya tengahan, karya atas, karya bawah, dan karya samping". Titik [point] penting yang ingin saya garisbawahi dari kutipan pendapat Gola Gong di atas yaitu "bahwa perbedaan pendapat adalah berkah. Keberagaman adalah bagian dari demokratisasi. Semoga juga dalam kekaryaan, mereka tidak memaksa yang lain untuk mengikuti satu ganre saja , karena dalam kekaryaan juga terjadi keberagaman". Semangat begini kukira sesuai dengan "ruh kampung" sebagaimana telah saya contohkan dan jelaskan di atas. Bahkan ingin saya tambahkan bahwa keragaman itu indah dan perbedaan pendapat memungkinkan kita melihat suatu hal-ikhwal dari berbagai segi sehingga mendekatkan kita pada kebenaran sementara atau relatif, betapa pun sementara atau relatifnya.Sedangkan ketunggalan atau penyeragaman mengandung bahaya. Mendorong dan mengembangkan keragaman ini berarti sekaligus mendorong laju berkembangnya kuantitas darimana kemudian muncul suatu kualitas baru yang kemudian memunculkan kuantitas baru lagi lalu melahirkan kualitas berikut.Yang saya khawatirkan ketika melihat keadaan Indonesia sekarang "ruh kampung" yang "religius" dipahami dan dipraktekkan secara menyempit sehingga menjurus ke arah penunggalan atau penyeragaman yang mengandung bahaya. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Gola Gong bukanlah barang baru di negeri ini. Para pendiri Republik Indonesia ini sejak awal sudah melihat bahwa bangsa ini memang beragam karena itu di bawah lambang Garuda tercantum kata-kata 'bhinneka tunggal ika'. Yang terjadi, hanyalah kita sering melupakan hakekat ini ditopang oleh sistem sentralistik baik dalam politik dan sistem kenegaraan atau pun dalam sistem nilai seperti yang terjadi bias dalam merumuskan apa yang disebut kebudayaan nasional [lihat: UUD 1945].Lebih menonjol lagi dengan penetapan 'asas tunggal' serta penafsiran Pancasila yang lebih menitikberatkan pada sila pertamanya sehingga Pancasila menjelma menjadi alat penindas keragaman. Berdasarkan penerimaan Gola Gong sebagai salah seorang organisator "Pertemuan ODE KAMPUNG 2006: Temu Penyair se-kampung Nusantara" akan keragaman dan perbedaan, tentunya ia juga tidak lupa bersolidaritas pada seniman-seniman yang disingkirkan karena alasan politik dan bukan sebatas bicara tentang penyingkiran oleh adanya kubu-kubu sekarang di dunia kesenian. Kalau soal ini tidak disentuh barangkali bisa dikatakan keragaman demikian adalah keragaman tanggung, setengah-setengah atau malu-malu? Ataukah sudah tidak dianggap aktual dan kadaluwarsa sekalipun secara nyata masih tidak sedikit mereka yang disingkirkan karena diskriminasi politik. Atau barangkali soal ini soal politik dan bukan urusan seniman karena seni adalah seni dan tak ada kaitannya dengan politik? Hanya saja Gola Gong dalam artikelnya menyentuh soal korupsi, kemiskinan, kampung dan kota, kubu-kubu yang hakekatnya, kukira, tak lepas dari politik dan sikap politik. Keragaman seperti halnya pelarangan yang belum dicabut itu sendiri bukankah menyangkut soal politik? Politik kebudayaan! Soal ini saya angkat karena pertemuan yang dirancang mengenakan nama "ODE KAMPUNG 2006: Temu Penyair se-kampung Nusantara".'Nusantara' yang tentunya jadi milik bersama. Di mana 'ruh kampung'nya jika soal ini tidak disentuh dan hanya menyentuh dominasi lembaga ini dan itu serta hegemoni kota, khususnya Jakarta? Pertanyaan ini juga muncul setelah membaca tema-tema yang dibahas oleh Pertemuan yaitu: "1) Pembelajaran Sastra di Sekolah,2) Kontekstualisme Sastra Masih Perlukah?,3) Sastra Kanon dan Sastra Kampung, dan 4) Mencari sastra kampung yang mendunia". Barangkali bisa dikatakan sebatas tema-tema praktis yang jauh dari soal-soal strategi pembangunan kebudayaan Nusantara. Jika demikian, harapan strategis apa yang bisa digantungkan untuk Indonesia dari pertemuan begini kecuali lebih mengakrabkan hubungan antar beberapa individu dan komunitas? Betapa pun demikian, pertemuan ini tetap berguna dalam usaha menjcari jalan keluar dari krisis sekarang. Keinginan inilah yang jelas kubara dari semangat Gola Gong. Semangat yang layak dinilai secara tersendiri. Berdasarkan semua siaran yang diedarkan di berbagai milis, sesuai dengan semangat tersebut, mengapa tidak kita 'berdiri di kampunghalaman memandang tanahair merangkul bumi'. Dengan berdiri di kampunghalaman, kita bisa berdialog dengan keragaman budaya tanahair dan dunia serta secara visi kita keluar dari kecupetan langit kampunghalaman tapi memasuki cakrawala luas bernama dunia.Kukira keadaan beginilah yang dirumuskan oleh Paul Ricoer bahwa kebudayaan itu majemuk dan kemanusiaan itu tunggal di mana terjabar sekaligus visi dan misi sastrawan.Sekedar pendapat seorang sahabat yang tidak lain pelajar awal sastra-seni.Selamat berdiskusi, Bung Gola Gong dkk. *** Paris, Januari 2006. JJ. Kusni [Selesai] Lampiran Acuan: ODE KAMPUNG 2006: Temu Penyair se-kampung Nusantara --------------------------------------------------- Gola Gong [EMAIL PROTECTED] Saya mendengar cerita tentang komunitas Mendut pimpinan Sutanto, pada sekitar 1995 mengadakan hajat besar dengan tema refleksi emas negeri ini, yang saat itu berulangtahun ke-50. Para seniman dan budayawan di seantero negeri berdatangan ke Mendut, Yogyakarta. Mereka bertebaran di rumah-rumah penduduk. Untuk urusan MCK, mereka memanfaatkan sungai. Toto ST Radik yang hadir di perhelatan akbar itu mengenang, "Tidak perlu dana besar untuk pergi ke pesta seniman dan budayawan di Mendut. Sutanto membuat denah kampung Mendut, dimana kami bisa menginap yang murah-meriah, makan alakadarnya, dan beli rokok." Tambah Toto, semua penyair diberi kesempatan berorasi, mengeluarkan uneg-uneg, bahkan sumpah serapahnya. Lalah-lahan terbuka di perkampungan dijadikan tempat berdiskusi dan berekspresi. KOTA MODERN Sepuluh tahun kemudian. Apa yang digemakan oleh para penyair di komunitas Mendut, terkikis zaman dan perubahan waktu. Kampung tak lagi jadi idaman. Kampung disimpan dalam toples kaca atau album foto. Negeri ini tidak mengalami perubahan apa pun. Soeharto lengser, Habibi naik tidak merubah apa-apa. Gusur naik dan dilengserkan, giliran Megawati berkuasa, juga tidak merubah apa-apa. Kini SBY belum genap setahun, koruptor banyak yang terbongkar tapi uang tidak bisa kembali. Tumbalnya lagi-lagi rakyat. Harga-harga membumbung. BBM dinaikkan, agar si kaya mensubsidi si miskin. Semua dibebankan ke rakyat. Sementara para petinggi negara dan anggota dewan ongkang-ongkang kaki di restoran sambil mencari-cari slilit di antara gigi. Semua orang di negeri ini - siapapun dia - terseret arus globalisasi; hedonis dan konsumtif. Revolusi fashion, food, dan film menghajar semua kalangan. Semua orang silau dengan yang berbau modernisasi. Kampung ditinggalkan. Kota jadi acuan. Pulau jadi loncatan, negeri seberang jadi harapan. Padahal orang-orang kampung yang menyerbu kota itu belum juga bisa meninggalkan budaya kampungnya. Di rumah-rumah yang sempit di perumahan menengah ataupun sederhana, mereka masih saja memelihara kambing, ayam, atau burung. Mereka bersembunyi dalam status sosial, bahwa burung atau ayam bukan untuk diternakkan, tapi sekedar dikoleksi untuk melepas kepenatan. Di ruang-ruang resepsi yang wah, mereka masih saja membuang abu rokok sembarangan dan menyisakan makan malam padahal di jalanan banyak yang kelaparan. Sementara orang-orang kampung miskin yang berjejalan di gang-gang kumuh, di kolong jembatan, mengotori sungai dan selokan dengan sampah atau air kencing mereka. Ya, semua orang lupa pada kampung kelahiran mereka sendiri. Atau orang yang mengaku kota, juga mengabaikan saudara-saudara mereka di kampung. Mereka lebih suka belanja dengan merek palsu yang penting gaya dan seminar dengan bahasa yang aneh-aneh atau bersilaturahim di kota dengan tema intelektual, bahkan berkunjung ke luar negeri adalah maha segala. Segala macam kegiatan dirancang, untuk mengelabui saudara sendiri yang tersisa di kampung. Studi banding ke luar negeri. Kongres ini-itu. Semua kalangan jadi genit dan kebarat-baratan. Siapa yang tidak bersinggungan dengan liberalisme, maka dia bukan manusia. PRO-KONTRA Tidak terkecuali para seniman dan budayawan. Mereka tidak percaya satu sama lainnya, sehingga merasa perlu membuat organisasi untuk mengatur sesama teman sendiri dengan alasan agar bisa terkontrol dan saling mengontrol. Dewan-dewan dibentuk dan prilakunya jadi seperti anggota dewan sungguhan, karena selalu minta disubsidi. Ya tidak apa. Minta disubsidi, itu bukan sesuatu yang hina. Tapi tiba-tiba saja... Di media massa para seniman dan budayawan mencuri perhatian di tengah krisis multidimensi negeri ini. Kasus-kasus korupsi belum lagi terselesaikan, masyarakat yang tercekik kemiskinan di kampung disuguhkan fenomena seniman dan budayawan yang imejnya tidak mau diatur itu, kini ricuh sendiri. Saling usung poster dan rame-rame bikin konprensi pers. Kubu-kubuan mencuat. Kubu barat, kubu timur. Kubu utara, kubu selatan. Siapa yang tak berkubu, maka tak mendapat giliran atau bagian. Kongres Dewan Kesenian Daerah di Papua yang merekomendasikan DKI (Dewan Kesenian Indonesia) diprotes oleh mereka juga. Ada pro dan kontra. Semua sepakat, bahwa perbedaan pendapat adalah berkah. Keberagaman adalah bagian dari demokratisasi. Semoga juga dalam kekaryaan, mereka tidak memaksa yang lain untuk mengikuti satu ganre saja, karena dalam kekaryaan juga terjadi keberagaman. Ya, semoga pro dan kontra soal organisasi, terbawa juga dalam hal kekaryaan mereka. Ada karya kota, karya kampung, karya pinggiran, karya tengahan, karya atas, karya bawah, dan karya samping. Tapi Iman Soleh, raja monolog dari Bandung, yang pro DKI berpesan, "Sebaiknya seniman harus bersatu. Jika bersatu, tidak ada yang bisa mengalahkan!" Iman memang menginginkan seniman bersatu padu. Kini Kongres Kesenian Indonesia (KKI) 2 yang baru saja usai akhir September lalu, merekomendasikan kerja kesenian harus disubsidi pemerintah lewat APBN atau APBD. Apakah itu berarti, jika seniman bersatu maka pemerintah akan mengongkosi kerja kesenian? Kalau tidak bersatu, apakah seniman bisa mensubsidi sendiri kegiatannya? TEMA Adalah Rumah Dunia, komunitas nirlaba di Komplek Hegar Alam 40, kampung Ciloang Serang, yang mencoba meneruskan semangat komunitas Mendut. Mencoba menembus batas. Mencoba membentuk kembali kebersamaan antara seniman dan masyarakat, yang jadi sumber inspirasi bagi karya-karyanya. Menjadikan kembali masyarakat yang tinggal di kampung sebagai saudara sekandung, yang sudah lama ditinggalkan, dengan cara menghapuskan lagi jarak. Bukankah penyair juga adalah manusia? Bermula dari obrolan santai antara saya, Toto ST Radik dan teman- teman sukarelawan di Rumah Dunia. Bermula dari harga beras yang menaik, karena Toto selain penyair, jurkam KB, juga juragan beras. Kemudian menukik ke peta kepenyairan di Banten, yang carut-marut. Lalu diskusi menembus batas, lewat SMS dengan Gus tf Sakai di Payakumbuh, Chavcay Saefullah di Ciputat, Firman Venayaksa (PJ Program Rumah Dunia) yang sedang jadi pembicara di KKI 2, Wan Anwar di Serang dan Soni Farid Maulana di Bandung. Maka tercetuslah ide membuat kegiatan "Ode Kampung: Temu Seniman se-Kampung Nusantara", yang insya Allah akan digelar pada Februari 2006. Titik utamanya adalah pada para penyair. Tapi, para pembicaranya bisa lintas seni; perupa, pemusik, pelakon.... Ini masih bisa didikusikan. Haya penamaan "Ode Kampung" adalah mengibaratkan kampung yang bersenandung sedih menunggu kematiannya. Tapi yang lebih penting sebagai stimulus bagi para pelajar dan mahasiswa di Banten. Juga bagi para penyair se-kampung nusantara yang selama ini terpinggirkan. Semangat yang diusung sejalan dengan Rumah Dunia; mencerdaskan dan membentuk generasi baru yang kritis serta mandiri. Yang siap memerangi kebatilan dengan pena. Kegiatan Ode Kampung mengangkat tema besar "Sastra(wan) di tengah persoalan kampungnya". Atau "Seniman di tengah persoalan kampungya. Beberapa topik diskusi akan digelar pada Sabtu dan Minggu. Topik-topik yang diusung adalah: 1) Pembelajaran Sastra di Sekolah, 2) Kontekstualisme Sastra Masih Perlukah?, 3) Sastra Kanon dan Sastra Kampung, dan 4) Mencari sastra kampung yang mendunia. Keempat topik diskusi itu akan digelar masing-masing dua sesi setiap harinya; Sabtu pagi dan siang, serta keesokan harinya, Minggu. Tapi, Ode Kampung tidak hanya diisi diskusi antar penyair saja. Pelajar, mahasiswa, guru, dosen, bahkan orang kampung boleh ikut. Juga ada pembacaan puisi dan proses kreatif para penyair, serta pelatihan puisi. Para volunteer Rumah dunia sudah bersiap-siap menyebarkan undangan kepada para pelajar dan mahasiswa, serta guru bahasa dan sastra Indonesia di Banten. "Ini anggap saja kegiatan klab diskusi atau kelas menulis Rumah Dunia, yang sudah rutin diadakan setiap Sabtu dan Minggu," kata Rimba Alangalang, PJ Sekretariat Rumah Dunia. Andi Suhud Sentra Utama, donatur tetap Rumah Dunia, siap mencetak poster sebanyak 500 eksemplar seusai lebaran untuk sosialisasi kegiatan. Bahkan Gus tf Sakai lewat SMS menanggapi dengan serius, "Saya siap jadi pemandu pembelajaran puisi!" Begitu pula Soni Farid Maulana, "Saya akan datang!" Firman Venayaksa tidak tinggal diam. Firman menyebarkan informasi Ode Kampung dari mulut ke kuping di KKI 2. Hasilnya dia sampaikan lewat SMS, "Jamal D Rahman, Dyah Hadaning, Sihar Ramses, dan komunitas Mnemonic di Badung siap menyerbu Rumah Dunia!" DANA PESERTA Darimana datangnya dana? Apakah dari mata turun ke dompet? Sementara ini Rumah Dunia sudah menyiapkan dana awal sebesar Rp. 2 juta. Itu dari uang kas, hasil keuntungan "Gramedia Book Fair". Selebihnya, kami akan meminta dukungan dari Gramedia, Mizan, Gema Insani, Mujahid Press, Senayan badi, Akoer. Tidak akan banyak, paling sekitar Rp. 500 ribu saja. Konpensasi buat mereka adalah pemuatan logo di leaflet dan spanduk. Juga kami akan bergerilya secara perseorangan. Galang seratus ribu pasti akan moncer. Uangnya untuk apa? Tentu bukan untuk kami. Uang itu nanti dipakai untuk konsumsi dan promosi/publikasi. Menyewa sound system dan tenda perlu, karena Februari pas musim hujan mencapai puncaknya. Juga untuk pembuatan antoloji puisi "Ode Kampung Nusantara". Lantas siapa boleh ikut di kegiatan Ode Kampung? Siapa saja boleh ikut. Ini terbuka. Dari Banten dan luar Banten. Bahkan luar Jawa. Penyair pemula, penyair bukan pemula, pintu kami buka lebar-lebar. Silahkan datang. Hanya saja, perlu mengongkosi sendiri. Karena kegiatan Sabtu dan Minggu, berarti harus menginap 1 atau dua malam. Tentang penginapan, ternyata warga kampung Ciloang dan Komplek Hegar Alam menyambut gembira kegiatan Rumah Dunia. Mereka dengan suka cita siap menyewakan kamar-kamar di rumahnya. "Pokoknya, kami akan mendukung setiap kegiatan Rumah Dunia," Ayubi, pengojek, mengomentari. Dia bercerita, saat "Gramedia Book Fair" Agustus 2005 lalu panen besar. Banyak penumpang hilir-mudik menyewa mootrnya. Pak RT dan Pak RW kampung Ciloang serta Pak RT Komplek Hegar Alam seia sekata, menyambut baik kegiatan Ode Kampung. "Di rumah saya ada 3 kamar," Pak Mutholib, Ketua RW Ciloang bersemangat. Juga Mang Romli, pengojek Ciloang, "Saya juga ada 3 kamar." "Di saya 2 kamar," Bik Piah, rumahnya yang bersebelahan dengan Rumah Dunia, nimbrung. "Saya satu rumah," kata Pak Pendi, warga komplek Hegar Alam. "Saya sekeluarga ngungsi dulu ke orangtua." Satu kamar bisa diisi rame-rame. Paling banyak 3 atau empat orang. Seorang kena ongkos menginap Rp. 25 ribu/malam. Jika Minggu malam masih betah, tambah 25 ribu rupiah lagi. Konon, akan ada minuman teh atau kopi panas saat sarapan. Kalau makan, banyak warung nasi bertebaran. Ada nasi uduk, ketupat sayur, nasi pecel, mie ayam, dan jajanan kampung lainnya. Jadi, siapkn untuk menabung dari sekarang. PUISI-PEMBICARA Tentu antoloji puisi tidak akan dilewatkan. Kepada semua yang berkeinginan mengikuti Ode Kampung, mengirimkan 5 puisi terbaiknya, yang bertemakan kampung halaman. Rumah Dunia akan bekreja keras dengan segala kekurangan, menyaring puisi untuk diikutkan di antoloji puisi "Ode Kampung Nusantara". Pada malam Minggu, mulai dari jam 19.30 hingga 22.00 ada pemutaran film, pertunjukan seni, dan peluncuran antoloji puisi. Siapa saja boleh mementaskan karya seninya. Hal lainnya adalah mendatangkan pembicara para penyair kampung dengan reputasi karya intenasional, diyakini akan memberi semangat baru bagi perkembangan kepenyairan di Banten khususnya dan Indonesia umumnya. Ini sangat penting. Kami sedang mengupayakan mendatangkan penyair lainnya seperti Isbedy (Lampung), Halim HD (Solo), Saut Situmorang (Yogya), Acep Zamzam Noor (Tasik), Alwy (Cirebon), dan Wayan Sunarta. Nama-nama itu sudah melanglan buana dari kota ke kota di Nusantara. Diharapkan kehadiran mereka bisa memberi wawasan bagi para penyair se-kampung nusantara. Topik-topik diskusi Ode Kampung diusung mereka. Ini baru wacana dan akan terus didikusikan. Semoga rekan sesama penyair memberi masukan dan terus menggulirkan Ode Kampung ini. Semuanya tentu dengan harapan, mimpi, dan doa bersama. Saya jadi teringat omongan Garin Nugroho, bahwa orang gunung (kampung) lebih peka dan lebih canggih menangkap fenomena seni dan budaya yang terjadi di sekelilingnya. Mereka dapat langsung merespon dan menggabungkannya dengan khazanah kesenian yang telah dimilikinya." Garin mencontohkan Ismanto, seniman dari komunitas Merapi, yang merespons kesenian modern dan memadukan dengan tradisional." Siapa tahu warga kampung Ciloang yang agamis, setelah mengikuti kegiatan Ode Kampung, melihat dan mnedengarkan para pnyair berdiskusi dan membacakan sajak-sajaknya, jadi terinspirasi membuat karya yang dinamis dan baru. Setidak-tidaknya akan suasana perubahan di sini. Maka mari kita segerakan saja niat bersama ini! Jangan tunda-tunda lagi! Serang, 30 September 2005 Salam dari Rumah Dunia Gola Gong --------------------- Komplek Hegar Alam 40 Kampung Ciloang, Serang 42118 Tlp: 0254 - 202861 Email: [EMAIL PROTECTED] http://www.rumahdunia.net ----- Original Message ----- From: ayeye To: WM Sent: Monday, January 23, 2006 1:30 PM Subject: [wanita-muslimah] Re: ATM Kondom, Perlukah? (resend) Mas Sutiyoso, mungkin di Mc Donald's kita harus membayar lebih dulu, sedangkan di warung kita baru membayar sesudah selesai makan, karena ada perbedaan dalam sistim organisasi. Meskipun demikian, saya belum mengerti link antara perbedaan organisasi di rumah makan dan cara berdiskusi dengan saya. Tentunya Mas Sutiyoso bebas untuk mengucapkan maaf sebanyak-banyak yang dianggap perlu sebelum berdiskusi dengan saya :-) Soal pengunaan istilah-istilah seperti "Barat","Selatan", "Timur" dan "Utara" guna mempermudah diskusi saya setuju saja selema kita ingat bahwa tujuan adalah untuk mempermudah dan tidak dianggap mutlak. Itu pragmatis saja supaya tidak selalu harus menulis tanggapan yang panjang seperti buku tebal untuk menjelaskan semua variasi :-) Menolak benturan budaya bukan berarti otomatis menolak adanya perbedaan. Kalau saya pribadi mengakui dan bahkan bersyukur adanya perbedaan, baik di tingkat budaya, di tingkat individual, dst. Mas Sutiyoso menganut salah satu keyakinan dan itu tidak perlu dipermasalahkan. Demikian juga apabila orang lain mempunyai keyakinan lain atau tidak mempunyai keyakinan sama sekali. Semua itu ada di "Timur", begitupun ada di "Barat". Perbedaan proporsi mungkin lebih besar di antara negara / bagian negara daripada di antara "Timur" dan "Barat". Maka dari situ, saya dari dulu menolak teori benturan ala "Timur" versus "Barat" setelah merasakan sendiri banyak perbedaan sebatas di Timur maupun sebatas di Barat, Utara, Selatan, dst. Tentu Mas Sutiyoso boleh mengritik Darwin, Freud, Marx atau Nietsche. Cuma kalau Mas Sutiyoso bilang bahwa Nietsche misalnya mengangkat dirinya sebagai "Tuhan" kecil karena tidak percaya keberadaan Tuhan, itu kayanya tidak klop tuh, karena tidak ada keterikatan emosional antara seorang yang tidak percaya Tuhan dan Tuhan. Selanjutnya tidak ada keinginan untuk mengambil ahli kekuasaan ala Tuhan karena hal-hal seperti itu tidak pernah dipercayai. Kemudian Mas Sutiyoso bilang bahwa insan-insan Timur pada takut kepada Tuhan dan takut melanggar aturan dari agama yang dianutnya, salah satunya adalah takut berzina karena takut dosa karena melanggar aturan agama atau kepercayaan yang dianut, takut kepada TUHAN, akibatnya insan-insan Timur ini jadi bereaksi terhadap akan adanya " ATM Kondom" ( yang sebenarnya sudah ada dibeberapa tempat di Indonesia ). Memang sebagian adanya demikian, baik di Timur maupun di Barat. Tetapi seperti juga di Barat, di Timur pun ada perbedaan. Adapula masrakyat di Timur yang tidak takut berdosa atau tidak menganggapnya sebagai dosa dilihat dari perilakunya dan fakta di lapangan bisa diobservasikan. Maka strategi Kondom untuk golongan seperti itu. Sedangkan untuk golongan lain mungkin strategi A (Abstinence) dan B (Be faithfull). Tadi kita kan membahas perbedaan dan perbedaan ada dimana-mana, termasuk di Timur dan di Indonesia, suatu solusi terhadap HIV/AIDS akan semakin efektif apabila memiliki berbagai cara yang bisa mengakomodasikan situasi semua lapisan masrakyat. Dengan kata lain, apa yang dianut oleh Mas Sutiyoso mungkin representatip untuk sebagian masrakyat di Indonesia, tetapi tidak mewakili semuanya. Seandainya semua orang Indonesia sepert Mas Sutiyoso, tidak akan ada kasus HIV/AIDS, tidak akan ada korupsi dan tidak akan ada tindakan kriminal lainnya di Indonesia. Ya kan? Tetapi belum tentu juga, sebab apa yang diklaim orang belum tentu dijalankan sendiri. Ada juga yang lebih takut dari sanksi sosial masrakyat daripada takut dari Tuhan dalam masalah keyakinan :-) Masalahnya, harus bisa mengakui perbedaan-perbedaan yang ada di Timur. Bukan hanya satu diakui dan yang lain-lain disembunyikan. Oh ya, dalam kebutuhan dasar ala Maslow terdapat juga cinta dan seks. Salam, ayeye **************** Yth.. Mas Ayeye, Tadi malam anak-anak saya ngoyak-oyak / mengajak saya ke Mc Donald, tadi malem saya sibuk jadi baru hari ini saya bisa mengantar mereka ke MC. Donald.Saya jadi inget perbedaan sistim pembayaran di Mc Donald dan di Warong, kalau di Mc. Donald kita harus membayar dulu baru menyantap makanan yang kita pesan, kalau di "Warong" kita makan dulu baru setelah selesai makan lalu membayar makanan yang kita konsumsi. Diskusi dengan Mas Ayeye, saya harus menerapkan ilmu diatas, yaitu saya harus sesering mungkin mengucapkan permintaan maaf sebelum diskusi :) , siapa tahu saya membuat hati Mas Ayeye gundah karena diskusi-diskusi yang kita lakukan. Masalah " Benturan Budaya " tersebut mungkin, sekali lagi mungkin, sebagai "wacana" , saya bisa memikirkankannya, tapi sebagai realitas saya harus menolak keras adanya kemungkinan "Benturan Budaya " antara Barat dan Timur atau Antara Utara dan Selatan., saya harus menolak konsep benturan tersebut karena konsep hidup saya yang Universal dan Realitas "way of life" saya yang harus berperikemanusiaan. Sekali saya percaya dengan " Benturan Budaya" tersebut, berarti saya mengingkari "kesatuan eksistensi" yang saya yakini dan yang saya hayati Mungkin lebih tepat kalau saya menggunakan istilah "SALAH PAHAM BUDAYA",istilahnya cukup panjang tapi lebih manusiawi. ...And kalau boleh curhat, saya termasuk orang Islam yang berkesatuan eksistensi ( bahasa langit) serta mengamalkan faham percaya kepada kemampuan diri sendiri atau eksistensialisme ( bahasa bumi), jadi soal ada tidaknya benturan budaya, antara budaya Barat dan Timur tergantung kita, kita mau merealisasikan benturan itu atau kita menolak benturan itu, saya memutuskan untuk membuang jauh - jauh pemikiran dan keyakinan kemungkinan adanya benturan budaya Barat dan Timur itu, saya tidak percaya dan tidak meyakini adanya benturan itu dan saya dengan kemampuan yang saya punyai akan mencoba "urun" dan memberikan kontribusi untuk terciptanya perdamaian universal. Saya menggunakan Barat, Timur, Utara dan Selatan insya Allah hanya untuk mempermudah diskusi, karena kalau kita kembali kepada konsep yang saya anut bahwa manusia itu " UMAT YANG SATU" dan Tuhan itu ada dimana-mana, maka konsep Barat, Timur, Utara dan Selatan sebenarnya tidak ada, tapi....kenyataannya...kalau kita baca Al Qur'an, Allah berfirman menciptakan manusia berbangsa-bangsa untuk saling mengenal dan belajar, oleh karena itu saya harus menghormati perbedaan ini, makanya saya mengatakan pada posting yang terdahulu bahwa " perbedaan" itu adalah rahmat, ilmu dan pencerahan. Kadang-kadang saya berfikir, kalau manusia itu sama semua, homogen maksud saya, maka yang terjadi adalah " Korupsi" besar-besar-an yang mana justru akan menghancurkan eksistensi manusia itu sendiri secara keseluruhan. Saya tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kalau saudara-saudara saya di dunia barat banyak yang tepengaruh oleh pemikiran dari Pak Charles Darwin, Sigmund Freud, Karl Max ATAU Nietzsche yang pada intinya bapak-bapak tersebut kurang begitu menerima keberadaan Tuhan pencipta Alam semesta dan Mahluk hidup, Pak Sigmund Freud sendiri mengatakan GOD itu hanyalah "ilusi" beliau juga mengatakan bahwa AGAMA ADALAH REAKSI MANUSIA ATAS KETAKUTANNYA SENDIRI, otomotis beliau tentu saja juga secara tidak langsung mengatakan bahwa ajaran-ajaran yang dari tuhan itu juga cuma ilusi, dengan kata lain "intinya" beliau tidak mengenal "dosa" dan "pahala". Karena GOD hanyalah ilusi maka para pengikut Pak Sigmund Freud menafsirkan ajaran Pak Freud bahwa manusia tidak perlu takut dengan GOD dan ajaran-ajarannya yang berujud " Agama ".Tadi setidak-tidaknya setelah kita membaca pendapat Pak Sigmund Freud kita akan mengetahui bahwa RASA TAKUT itu adalah ' nyata dan ada " Kalau boleh mengritik Bapak-bapak tersebut diatas,dengan mengatakan bahwa GOD hanyalah ilusi, sebenarnya bapak-bapak tersebut sebenarnya percaya dengan " god " , yaitu percaya dengan "god" yang ujudnya manusia,yaitu diri mereka masing-masing. Nietzsche mengatakan GOD sudah mati,dengan kata lain dia mengangkat dirinya menjadi "god" kecil. Forget it. Intermezooo.. Dilanjut....disinilah perbedaan antara insan-insan dari Barat dan Timur yang perlu didialogkan, kalau insan Timur ( tidak semuanya)biasanya percaya sekali dengan eksistensi dan keberadaan Tuhan mereka serta ajaran-ajarannya yang berujud Agama atau Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa atau percaya kepada Allah. Perbedaan cara pandang antara insan Barat dan Timur ini begitu besar berpengaruh kepada cara berfikir dan bertingkah laku baik bagi insan Barat dan Timur.. Terlalu panjang ya Mas, ok, pointnya bahwa Tuhan dan ajaran atau firmannya itu adalah nyata dan eksis didalam mind, body, soul-nya insan Timur maka insan-insan Timur ini pada takut kepada Tuhan dan takut melanggar aturan dari agama yang dianutnya, salah satunya adalah takut berzina karena takut dosa karena melanggar aturan agama atau kepercayaan yang dianutnya, takut kepada TUHAN, akibatnya insan-insan timur ini jadi bereaksi terhadap akan adanya " ATM Kondom" ( yang sebenarnya sudah ada dibeberapa tempat di Indonesia ) Ijinkan saya mengingatkan Mas Ayeye tentang pandangan Abraham H Maslow tentang kebutuhan manusia, bahwa kebutuhan manusia selain makan dan minum adalah rasa aman dan kasih sayang. Kombinasi pendapat Pak Sigmund Freud dan Abraham H Maslow yang mengakui nyatanya rasa takut ( kepada Tuhan ) dan rasa aman maka jadi kloplah jadi landasan insan timur untuk menolak kebebasan sex dalam bentuk ATM kondom yang ditujukan kepada para remaja. Wassalam. Paris, Januari 2006. JJ. Kusni [Bersambung...] [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/