http://www.gusdur.net/indonesia/index.php?option=com_content&task=view&id=2673&Itemid=1

     Diskriminasi Hukum di Serambi Makkah

     Oleh Nurul Huda Maarif*

     Diceritakan, pada masa Nabi Muhammad Saw, seorang perempuan dari
keluarga bangsawan Suku al-Makhzumiyah yang bernama Fatimah
al-Makhzumiyah ketahuan mencuri bokor emas. Pencurian ini sontak
membuat jajaran Suku al-Makhzumiyah gempar dan sangat malu. Apalagi,
jerat hukum saat itu mustahil dihindarkan, karena Nabi Muhammad Saw
sendiri yang menjadi hakimnya.

     Bayang-bayang Fatimah al-Makhzumiyah akan menerima hukum potong
tangan terus menghantui mereka. Dan, jika hukum potong tangan ini
benar-benar diterapkan, mereka akan menanggung aib maha dahsyat,
karena dalam pandangan mereka seorang keluarga bangsawan tidak layak
memiliki cacat fisik apapun. Upaya lobi-lobi politis pun digalakkan
dengan tujuan supaya hukum potong tangan itu bisa diringankan atau
bahkan diloloskan sama sekali dari Fatimah al-Makhzumiyah. Uang
berdinar-dinar emas pun 'dihamburkan' untuk upaya itu.

     Puncaknya, Usamah bin Zaid, cucu angkat Nabi Muhammad Saw dari
anak angkatnya yang bernama Zaid bin Haritsah, lantas dinobatkan
sebagai 'pelobi' oleh Suku al-Makzumiyah. Kenapa Usamah bin Zaid?
Karena Usamah adalah cucu yang sangat disayangi Nabi Muhammad Saw.
Melalui orang kesayangan Nabi Muhammad Saw ini, diharapkan lobi itu
akan menemui jalan mulus tanpa rintangan apapun, sehingga upaya
meloloskan Fatimah al-Makhzumiyah dari jerat hukun bisa tercapai.

     Namun apa yang terjadi? Upaya lobi Usamah bin Zaid, itu justru
mendulang 'dampratan' keras dari Nabi Muhammad Saw, bukannya simpati
atau belas kasihan. Ketegasan Nabi Muhammad Saw dalam menetapkan
hukuman tak dapat ditawar sedikitpun, hatta oleh orang terdekat dan
kesayangannya. Untuk itu, Nabi Muhammad Saw lantas berkata lantang:
"Rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika yang mencuri adalah
orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari jerat hukum. Tapi
ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka menjeratnya dengan
hukuman. Saksikanlah! Andai Fatimah bint Muhammad mencuri, niscaya aku
sendiri yang akan memotong tangannya."

     Itulah cermin ketegasan Nabi Muhammad Saw dalam menegakkan hukum,
hatta pada orang yang paling disayanginya sekalipun. Hukum adalah
hukum, yang harus ditegakkan pada siapapun atas dasar keadilan, tanpa
pandang kedekatan maupun kehormatan. Namun seiring berjalannya waktu,
semangat dan ketegasan penegakan hukum a la Nabi Muhammad Saw itu kian
hari kian memudar bahkan hilang dari kehidupan kita.

     Para penegak hukum sebaliknya lebih gemar menjalankan praktik
kroniisme. Penjahat yang dekat dengan kekuasaan atau hakim misalnya,
akan diloloskan dari jerat hukum dengan cara apapun, kendati
kejahatannya nyata-nyata merugikan jutaan jiwa orang. Tapi pencuri
sandal jepit yang tidak dekat dengan kekuasaan atau hakim, tak bisa
berkelit sedikitpun dan niscaya akan merasakan 'nikmat'nya jeratan
hukum, padahal kejahatannya hanya merugikan satu orang. Penjahat yang
bisa menyuap dalam jumlah besar juga akan diloloskan, sedang penjahat
kere akan dihukum seberat-beratnya. Itulah ironisme penegakan hukum di
negeri ini, karena ketidakadilan hukum kadung menjadi "tradisi"
sekaligus "momok" mengerikan di negeri ini.

     Ironisnya lagi, realitas ini terus kita saksikan tiada henti,
hatta di bumi Serambi Makkah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang
masyarakatnya sedang giat-giatnya menegakkan Syariah Islam, hukum yang
konon dirujukkan secara benar pada tuntunan al-Qur'an dan Sunnah Nabi
Saw. Ironi ini tentu saja akan mencoreng wajah "mulia" Syariah Islam
itu sendiri.

     Seperti diberitakan, Kamis, 19 April 2007, seorang polisi Syariah
Nanggroe Aceh Darussalam, RL (33), tertangkap basah tengah ber-khalwat
dengan gadis tetangganya LN (17) di MCK umum. Namun bukannya dicambuk,
keduanya, yang warga Desa Iee Masen Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda
Aceh, itu malah akan segera dinikahkan. Komandan Polisi Syariah Kota
Banda Aceh, Bahagia, menyatakan, ini sesuai permintaan masyarakat desa
dan hukum adat. Padahal, dalam qanun (peraturan daerah) Syariat Islam,
pelaku khalwat harus dikenai sanksi cambuk. Tapi, mana cambuk - yang
konon hukum Islam itu - untuk sang polisi Syariah (Wilayatul Hisbah)?

     Kenyataan ini berbeda 180 derajat dengan yang dialami sepasang
mahasiswa yang tertangkap warga saat ber-khalwat di Lorong Flamboyan
Desa Tungkop, 6 Februari 2007 lalu. Jumat, 20 April 2007 silam,
keduanya - mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah asal Kota Lhokseumawe dan
pasangan wanitanya mahasiswi Fakultas Pertanian Unsyiah asal Bireuen -
menjalani hukuman cambuk di halaman masjid Tungkop, sesuai surat
putusan Mahkamah Syariah Aceh Besar No. 02/Put.JN/04-2007/MSY JTH,
tentang pelaksanaan vonis hukuman cambuk masing-masing empat kali bagi
kedua pelaku yang terbukti melanggar Qanun No. 14 Tahun 2003.

     Pertanyaannya kemudian; kenapa kedua pihak ini diperlakukan tidak
sama padahal melanggar qanun yang sama? Sang polisi Syariah dan
pasangannya disuruh nikah dengan alasan hukum adat, sementara sang
mahasiswa dan pasangannya dicambuk masing-masing empat kali?
Mungkinkah kedekatan sang polisi Syariah dengan kekuasaan menjadi
alasannya?

     Jika ini yang terjadi, maka hati-hatilah dengan kebenaran sabda
Nabi Muhammad Saw; "Rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika
yang mencuri adalah orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari
jerat hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka
menjeratnya dengan hukuman."

     Akhirnya, siapa memainkan Syariah Islam, dia akan kena getahnya!
Dan, ternyata, kendati berlabel Syariah Islam, mencari keadilan hukum
di sana tetap saja laksana mencari jarum dalam tumpukan jerami. Wa
Allah a'lam.[]

     *Penulis adalah editor the WAHID Institute

Kirim email ke