http://www.suarapembaruan.com/News/2008/09/24/Utama/ut03.htm


SUARA PEMBARUAN DAILY 
--------------------------------------------------------------------------------
 
SP/Luther Ulag 

Seorang kakek mengais sampah plastik yang terbawa arus di Kali Ciliwung, 
Jatinegara, Jakarta Tmur. Rakyat miskin kota di DKI Jakarta meningkat karena 
dampak kenaikkan berbagai kebutuhan pokok. 



Ecah Mengurai Kemiskinan

Senin (22/9) malam di salah satu sudut Stadion Si Jalak Harupat, Bandung, Ecah 
(53) dan Sani (13) tampak sibuk melayani pembeli yang datang ke jongkonya. 
Setiap kali ada pertandingan sepakbola yang digelar di stadion terbesar dalam 
lingkup Provinsi Jawa Barat (Jabar), ibu dari enam orang anak ini selalu 
berjualan di sana. Dia dibantu putri bungsunya. 

Sembari mengasuh cucunya yang paling kecil, Ecah tetap sigap menuangkan air 
panas untuk menyeduh kopi yang dipesan pembelinya. "Hasilnya kalau ada 
pertandingan lumayan," tuturnya kepada SP. 

Untuk merebus air di jongkonya, dia masih menggunakan kompor minyak tanah. 
Setiap dua hari sekali, warga Kampung Cikundul, Desa Kopo, Kecamatan Soreang, 
Kabupaten Bandung ini menghabiskan tiga liter minyak tanah. Sekarang, kata 
Ecah, harga satu liter minyak tanah sudah Rp 9.000. 

Solehudin (56), suami Ecah juga ikut berjualan dalam pertandingan sepakbola 
antara Persib dan PSIS Semarang yang dihadiri 22 ribu penonton, malam itu. 
Bersama A'id, putra kelimanya, Solehudin masuk ke dalam stadion sembari membawa 
termos berisi air panas untuk menyeduh kopi langsung jadi. 

Beberapa hari sebelumnya, Ecah sudah membeli air minum dalam kemasan, kopi 
langsung jadi, dan juga berbungkus-bungkus rokok untuk dijadikannya modal 
berjualan. "Semua dari sisa uang BLT (bantuan langsung tunai) yang sebelumnya 
sudah dipotong untuk dibagi sama warga lain yang tidak kebagian," terangnya. 


Di tengah-tengah percakapan, Ecah menuangkan air panas ke dalam termos milik 
menantunya. Ya, dua menantu yang lelaki ikut berjualan. "Cuma ikut merebus air 
saja. Untungnya buat mereka sendiri." 

Perempuan yang sampai sekarang tidak pernah menabung ini mengungkapkan kalau 
sedang tidak ada pertandingan, A'id menjadi buruh tani. Sedangkan suaminya, 
sudah tujuh tahun ini tidak lagi menjadi buruh tani karena sakit-sakitan. 

Dalam pandangan Ecah, keberlanjutan pendidikan untuk putri bungsunya, Sani 
tidak lagi menjadi prioritas. Memenuhi kebutuhan makan sehari-hari merupakan 
hal yang lebih penting. "Anak sudah sebesar itu, sekolah?" jawab Ecah ketika 
ditanya soal pendidikan anaknya. 

Sani yang hanya lulusan sekolah dasar itu sekarang bekerja di sebuah pabrik 
bolu di daerah Cilampeni. Tugasnya di pabrik bolu bermerek 'Padi Mas' itu hanya 
membungkus bolu yang sudah jadi. Jarak pabrik itu sekitar lima kilometer dari 
rumahnya. "Kalau naik ojek satu hari habis Rp 4.000," tuturnya. 

Untuk pekerjaannya ini, Sani mendapatkan bayaran setiap dua minggu sekali. 
"Dapatnya bisa Rp 200.000 sampai Rp 300.000, tergantung dari banyaknya 
produksi. Uangnya langsung dikasih ke ibu," kata Sani yang hanya bisa tertunduk 
saat ditanya apakah dirinya ingin melanjutkan sekolah atau tidak. 

Ecah menuturkan, uang dari hasil berjualan kaki lima ditambah dari anaknya itu 
dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika ditanya berapakah 
pendapatannya dalam sebulan, Ecah tak bisa menjawab. Dia hanya ingat kalau 
dirinya menghabiskan 1,5 liter beras per hari untuk makan keluarganya dan 
membayar listrik Rp 30.000 tiap bulan. 

Meski tidak tahu berapa pendapatannya setiap bulan, nasib Ecah masih terbilang 
beruntung. Bandingkan dengan Memen dan Sunardi, yang setiap harinya harus 
menanti panggilan orang untuk mendapatkan uang di pinggir Jalan Dago, Bandung. 
"Namanya juga kuli," kata Memen. 

Dua pria asal Kadipaten, Kabupaten Sumedang ini mengaku penghasilan yang 
diterima tidak tetap. "Kadang bisa satu minggu ada kerja, lalu dua minggu tidak 
ada kerja. Kita siap kerja apa saja, bersihkan halaman orang, gali jalan, 
sampai bantu-bantu di bangunan," terang Memen. 

Sunardi mengaku tidak ada jaminan dalam pekerjaan ini untuk mendapatkan uang 
setiap hari. "Dapatnya beda-beda, bisa Rp 50.000 sehari, bisa Rp 75.000, tapi 
bisa juga tidak dapat apa-apa. Susah dirata-rata juga," ungkapnya. 


Menertawakan Standar BPS 

Meski demikian, baik Ecah, Memen, dan Sunardi sepakat mengenai satu hal. Mereka 
bertiga tidak setuju kalau pemerintah menetapkan standar garis kemiskinan Rp 
182.636 per kapita per bulan atau sekitar Rp 6.000 per orang per hari. 

Memen dan Sunardi malah tertawa saat SP menginformasikan standar Badan Pusat 
Statistik (BPS) soal garis kemiskinan itu. "Bagaimana cara menghitungnya? Tidak 
bisa dimengerti." 

Ecah mengungkapkan, dirinya berserah pada pemerintah sepenuhnya soal definisi 
miskin itu. Yang pasti, dia berharap agar ke depannya masih bisa mendapatkan 
BLT tanpa ada pemotongan. 

Meski demikian, Kepala BPS Jabar Lukman Ismail dalam berita resmi statistik 
Provinsi Jabar No 22/07/32/th X, 1 Juli 2008 mengatakan, jumlah penduduk miskin 
(penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) sudah berkurang. 

Setidaknya, angka pada bulan Maret 2008 sebesar 5,32 juta (13,01 persen), 
menunjukkan adanya penurunan dibandingkan bulan yang sama pada tahun 
sebelumnya, yang berjumlah 5,46 juta (13,55 persen). "Jumlah penduduk miskin 
kondisi 2008 mengalami penurunan sebesar 0,14 juta orang," katanya. 

Tapi, berdasarkan data dari situs www.kompensasi.info yang dikelola oleh PT Pos 
Indonesia, jumlah penerima BLT di Jabar mencapai 2.897.807 rumah tangga 
sasaran. Jumlah ini tidak berubah dari pengucuran BLT tahap I ke BLT tahap II. 

Secara logika, kalau memang angka kemiskinan berkurang, sudah seharusnya 
penerima BLT juga berkurang. "Saya tidak mengerti bagaimana pemerintah 
membagi-bagi orang miskin. Karena buat saya, semua harga kebutuhan malah makin 
mahal," tukas Ecah seraya membereskan gelas kopi yang sudah kosong. [SP/Adi 
Marsiela] 




--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 24/9/08 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke