http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2008/09/03/ 00363852/ mpower.dan. 
rokok

MPOWER dan Rokok

KOMPAS, Rabu, 3 September 2008

IRWAN JULIANTO

Tanggal 12 Mei 1994, sebuah paket berisi 4.000 halaman dokumen 
internal rahasia industri rokok tiba di kantor Prof Stanton Glantz di 
Institut Pengkajian Kebijakan Kesehatan Departemen Kedokteran 
Universitas California, San Francisco. Pengirimnya anonim.

Dokumen yang dikirim itu ternyata amat mengejutkan karena membeberkan 
aktivitas dan kebohongan publik perusahaan rokok Brown & Williamson, 
anak perusahaan British American Tobacco (BAT). Tahun 1996, Prof 
Glantz dan timnya memublikasikan buku The Cigarette Papers, yang 
menawarkan intipan lewat lubang kunci bagaimana industri rokok 
bekerja. Buku ini tidak hanya mengubah secara mendasar persepsi 
masyarakat Amerika Serikat tentang industri rokok dan
bagaimana mengubah kebijakan publik untuk meregulasi dan melitigasi 
industri rokok.

Pada dekade 1980-an industri rokok sudah terpojok ketika Surgeon 
General dijabat C Everett Koop pada 1981-1989, yang dengan laporannya 
Nicotine Addiction (1988) menyatakan nikotin adalah bahan aktif yang 
menimbulkan kecanduan mirip heroin dan kokain. Koop makin membuat 
industri rokok kelabakan dengan tudingan "perokok pasif" yang 
disebabkan asap lingkungan tembakau (environmental tobacco
smoke/ETS) terancam kanker paru.

Menurut Koop dalam pengantar buku The Cigarette Papers, buku itu 
memastikan bahwa para ilmuwan dan eksekutif perusahaan rokok B&W dan 
BAT sejak awal 1960-an sudah tahu sifat dan efek biologis nikotin, 
bahkan mengeksploitasinya untuk membuat para perokok makin 
kecanduan. "Buku ini adalah senjata vital untuk perang melawan 
rokok," tulisnya.

Indonesia patut malu

Bagai gelindingan bola salju, dokumen-dokumen rahasia B&W dan enam 
perusahaan rokok AS lainnya tahun 1998 diperintahkan oleh pengadilan 
untuk diungkapkan kepada umum. Demikian Mardiyah Chamim, wartawati 
Tempo dalam buku Kemunafikan dan Mitos di Balik Kedigdayaan- 
Penelusuran Dokumen Industri Rokok (2007). Di antaranya terdapat memo 
internal PT BAT Indonesia tentang upaya melobi pejabat, legislator, 
ilmuwan, hingga wartawan.

Acara "Media Briefing on Smoking Issues" bulan September 1992 di Nusa 
Dua, Bali, yang dihadiri wartawan Asia Pasifik adalah salah satu 
contoh kegiatan untuk menyatakan bahwa rokok tidak seberbahaya yang 
digembar-gemborkan media AS. Liputan Kompas (13/9/1992)
berjudul "Industri Rokok Mulai Lancarkan Kampanye Tandingan" 
dipelintir dengan terjemahan "Cigarette Industries Begin to Launch
Equal Campaign" dilaporkan dalam salah satu memo laporan Humas BAT 
Indonesia kepada markas besarnya. Jika tak hati-hati membaca dokumen 
semacam ini, bisa ditafsirkan bahwa semua wartawan sudah "terbeli" 
oleh industri rokok.

Liputan Kompas (31/8) tentang kehidupan petani tembakau di Temanggung 
yang mempersoalkan upaya Komnas Perlindungan Anak meminta MUI 
mengeluarkan fatwa haram bagi rokok juga telah disalahpahami sebagai 
tidak mendukung kampanye antirokok. Seorang guru besar ilmu politik 
yang belakangan menjadi aktivis antirokok mengirimkan >small 
2<sms>small 0< ke mana- mana karena liputan Kompas itu.

Ada lagi beberapa LSM, termasuk YLKI, yang melakukan litigasi kepada 
Presiden dan DPR yang hingga kini belum menandatangani dan 
meratifikasi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework 
Convention on Tobacco Control/FCTC), padahal 168 negara lain sudah 
melakukannya. FCTC yang disepakati dalam Dewan Kesehatan Dunia (WHA) 
tahun 2003 merupakan traktat internasional pengendalian tembakau.

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, Menkes Achmad 
Sujudi berkali-kali mengusulkan agar Indonesia mendukung FCTC, tetapi 
ditentang oleh menteri-menteri yang membidangi pertanian, tenaga 
kerja, industri, dan keuangan. Tak jelas bagaimana upaya Menkes Siti 
Fadilah Supari empat tahun terakhir, tetapi yang jelas Indonesia 
patut malu karena dinilai dunia tidak serius mengendalikan rokok 
sehingga posisinya sejajar dengan negara-negara gurem, seperti 
Andorra, Eritrea, dan Guinea Bissau.

Padahal, Dirjen WHO Margaret Chan dalam buku WHO Report on the Global 
Tobacco Epidemic, 2008 mengingatkan, pada abad ke-20, epidemi 
tembakau telah membunuh 100 juta penduduk dunia dan pada abad ke-21 
ini jika tak ada upaya serius dapat membunuh 1 miliar orang! Tahun 
ini diperkirakan ada 5,4 juta kematian akibat rokok, lebih banyak 
dibandingkan gabungan kematian akibat TBC, HIV/AIDS, dan malaria. 
Menurut Suwarta Kosen (2007), biaya kesehatan akibat rokok yang
dikeluarkan Indonesia pada tahun 2006 sebesar 18,1 miliar dollar AS 
atau sekitar 5,1 kali pendapatan negara dari cukai tembakau pada 
tahun yang sama.

Sayang sekali, kegiatan kampanye antirokok di Indonesia berjalan 
sendiri-sendiri dan tidak terkoordinasi/ bersinergi. Seyogianya 
pemerintah dan masyarakat menggunakan strategi pengendalian dampak 
tembakau yang dilancarkan WHO tahun ini, yaitu enam kebijakan 
disingkat MPOWER: (M)onitor penggunaan tembakau dan kebijakan 
pencegahannya; (P)erlindungan terhadap asap rokok; (O)ptimalkan
dukungan untuk berhenti merokok; (W)aspadakan masyarakat akan bahaya 
tembakau;(E)liminasi iklan, promosi dan sponsor rokok; (R)aih 
kenaikan cukai rokok.

Pengendalian epidemi akibat merokok memang tak cukup hanya dengan 
upaya mengharamkan rokok yang malah kontroversial dan tak produktif. 
Iklan rokok harus ditandingi dengan iklan layanan masyarakat 
dan "gerilya media" yang cerdas dengan biaya murah, yang terbukti 
efektif, seperti dilakukan Tony Schwartz di AS. Juga tak cukup dengan 
desakan kenaikan cukai rokok atau perda larangan merokok di tempat 
umum, yang di Jakarta ternyata cuma jadi "macan kertas".





Kirim email ke